Delapan

1446 Kata
❤❤❤ Lagi-lagi terdengar suara ringisan yang membuat Andrea terpaksa menoleh. Lelaki itu menghela napas panjang, kemudian berbalik dan menghampiri istrinya yang kelihatan kesulitan berjalan akibat gaun panjang yang ia kenakan malam ini. Ia menatap istrinya itu dengan tatapan datar, dan dibalas oleh tatapan kesal Vania. "Kan kamu yang nyuruh aku pakai gaun yang panjang, jangan salahin aku dong!" protes Vania yang cukup peka dengan maksud tatapan suaminya. Padahal, Andrea belum sempat mengeluarkan sepatah katapun, apalagi menyalahkan perempuan itu. Andrea masih berusaha sabar dan memilih tidak menanggapi kekesalan Vania. "Jalan tuh pelan-pelan! Udah tahu istrinya pakai gaun sepanjang ini, mana sepatu tinggi banget lagi, lakinya malah ngacir aja kayak nggak punya tanggungan. Kayak ditungguin gebetan aja di dalam sana," Vania menjeda ucapannya. Namun, matanya segera melebar dan menatap tajam ke arah suaminya. "Ada apa sih di dalam sana kok kayak nggak sabar banget pengen masuk sampai lupa kalau ngajakin istri juga? Jangan-jangan ada cewek kecengan kamu ya?" Andrea memutar bola matanya malas. Tapi ia sedang malas berdebat dengan istrinya itu. Andrea memilih meraih tangan Vania lalu mengaitkannya di lengannya. Lalu, ia mengapit tangan mungil istrinya itu, membuat Vania melongo dibuatnya. "Tidak usah berspekulasi aneh-aneh! Mulut kamu itu suka kelewat ngaco, perlu disaring pakai saringan teh dulu kalau mau ngomong," ujarnya dengan nada santai. Vania masih tidak dapat mengkondisikan keterkejutannya. Ia menatap tangannya yang diapit lengan Andrea, dan wajah pria itu secara bergantian. "Tap.. tap.. tapi-" "Ssstt.. kalau gini nggak bakal ketinggalan kan?" potong Andrea dengan nada lembut. Berhasil membuat Vania hanyut dan leleh akan sikap manis pria di sampingnya itu. 'Kapan lagi tangannya diapit gini sama cogan (cowok ganteng) ? Mana cogannya udah sah lagi, udah enak, pahala pula,' batin Vania kegirangan. Akhirnya, Vania pun hanya dapat menutup rapat mulutnya. Ia juga pasrah ketika Andrea mulai menariknya untuk berjalan memasuki ballroom yang sudah dipenuhi banyak orang. Sepertinya pestanya sudah dimulai. 'Akhirnya aku tahu juga cara bikin dia diam dan nurut,' batin Andrea sembari tersenyum. Sesekali, Vania melirik ke arah suaminya. Dan ia ikut tersenyum melihat senyuman lelaki itu. 'Manis banget Mas Suami akuuu.. Pantes aja aku jadi bucin gini. Hihi.. kelihatannya dia juga seneng banget bisa gandengan gini sama aku. Ya iyalah, emang siapa yang nggak senang gandeng cewek secanrik aku?' batin Vania membanggakan dirinya sendiri. Seperti yang Vania dan Andrea duga, pestanya memang sudah dimulai. Itu artinya mereka sedikit terlambat datang malam ini. "Sshh... Kamu bertingkah apa lagi sih, sampai ke pesta pernikahan sahabat kamu aja terlambat?" Vania melepaskan tangannya dari lengan suaminya. Ia menoleh ke belakang, dan seketika wajahnya jadi suram. "Aku nggak bertingkah, Ma. Memang kami tadi pulangnya telat. Aku ada operasi mendadak, pasien rujukan dari Bogor. Mas Andrea ada rapat sama Dokter dari Jepang," terang Vania pada seorang wanita yang sebagian besar rambutnya sudah memutih. Di samping wanita itu, berdiri seorang lelaki beralis tebal, dan perempuan cantik yang tak lain adalah kakak Vania. "Alasan, Ma. Pasti dandannya lama dia, makanya telat," sambung lelaki beralis tebal yang tak lain adalah kakak kandung Vania, Rafael Renandi. "Tuh, si tukang adu domba mulai lagi mulutnya. Memang kayaknya Mama pas hamil Kak Rafael dulu kurang sedekah. Makanya itu mulut bisa licin banget kalau ngomong kayak belut, kelihatan nggak pernah disedekahin," kesal Vania. "Ssstt!" Vania berdecak mendengar teguran suaminya. "Istrinya dipojokin bukannya dibelain malah dilihat-lihatin kalau ada di pihak mereka," gumam Vania makin jengkel. "Kak Rafael dan Kak Litha kapan sampai Jakarta?" tanya Andrea pada saudara iparnya sopan, tanpa mempedulikan omongan istrinya. "Baru tadi siang, Ndre. Gimana kabar kamu? Sehat?" tanya Rafael balik. Andrea menjawabnya dengan anggukan. "Sabar-sabar ya, Ndre, ngadepin manusia kayak Dev! Kalau dia berulah, sentil aja otaknya, memang sering geser soalnya," sambung Mawar, ibu Vania dan Rafael. "Maa.." protes Vania yang tak terima dengan ejekan mamanya. Padahal kata mendiang papanya dulu, Vania itu cerdas. Sikap Vania aneh karena saking cerdasnya saja, sampai-sampai cara berpikirnya terkadang susah dimengerti orang lain. Tak ada yang menghiraukan kekesalan Vania. Empat orang dewasa itu memilih membicarakan hal yang lebih berbobot, membuat Vania mulai bosan mendengar obrolan mereka. "Mas, aku haus," bisik Vania. "Itu di pojok ada kran." balas Andrea yang tampaknya malas dipusingkan oleh tingkah manja istrinya. "Makasih loh ya," balas Vania kesal. Vania pun memilih beranjak setelah melihat respon suaminya yang tampaknya memang kurang peka dengan keinginannya. Pada dasarnya, perempuan itu memang benar-benar haus. Jadi ia memutuskan untuk mengambil minum meski sendirian. Saat mendekati meja, tak sengaja tatapan matanya bertemu dengan mata Daniel yang kini tengah sibuk menyapa para tamu yang datang. Vania melambaikan tangannya, seperti baru saja bertemu seseorang yang sudah bertahun-tahun berpisah dengannya. Padahal minggu lalu Daniel baru saja mampir ke rumahnya. Daniel membuat gerakan jika ia akan segera menemui Vania, dan Vania pun mengangguk. Vania kembali melangkahkan kakinya ke arah sebuah meja panjang. Lalu ia meraih segelas minuman berwarna oranye dari atas meja itu. "Ck, nggak enaknya standing party ya gini, mau cari tempat duduk aja susah. Kursinya dikit. Dasar, Daniel pelit. Orang kaya tapi nyewa kursinya dikit doang," keluh Vania. "Dokter Vania," Vania pun refleks menoleh. Ia tersenyum saat melihat direktur rumah sakitnya yang ternyata baru saja menyapanya. "Eh, Pak Haical. Udah dari tadi, Pak?" tanya Vania basa-basi. Haical tertawa kecil sembari mengangguk. "Dokter Andrea dimana? Kok kamu sendirian?" "Itu, lagi ngobrol sama komplotannya," jawab Vania seenaknya. Haical menyerit bingung. Namun akhirnya ia memilih tak mengambil pusing omongan Vania yang memang dasarnya sering ngaco. Haical mengajak Vania duduk di sebuah bangku yang tak jauh dari panggung utama. Dan akhirnya, Vania bisa mulai minum dan meredakan kekeringan di tenggorokannya. "Mau makan sesuatu? Biar aku ambilkan," tawar Haical. "Mmmm... Tadi saya lihat Red Velvet cake, kayaknya enak juga, Pak. Hehe.." ujar Vania yang memiliki makna terselunbung. Haical tersenyum mendengar ucapan polos perempuan itu. "Biar aku ambilkan sebentar ya?" ujarnya. Vania menjawabnya dengan anggukan kepala. Setelah kepergian Haical, Vania mendengar seseorang memanggil namanya, dan bersiul-siul aneh. Vania menoleh kesana-kemari, namun tak menemukan orang yang memanggilnya itu. "Mungkin aku cuma halu kali ya?" gumam Vania. Akhirnya, Vania memilih tak acuh dengan panggilan itu. Toh bisa saja jika orang itu memanggil 'Dev' yang lain, belum tentu dirinya. Lagian sapaan 'Dev' kan banyak. Devina dan Deva misalnya. Sementara itu, di atas panggung, tampak dua orang yang hanya dapat menghela napas panjang. Kedua orang itu adalah Daniel dan Nadien. Saat ini mereka tengah sibuk bersalam-salaman dengan banyak tamu undangan. "Ck, bisa bahaya itu kalau Andrea lihat, Dan," bisik Nadien. "Iya, aku tahu. Tapi ya gimana? Dev nggak nyahut," keluh Daniel. "Coba deh, kamu samperin aja! Takutnya nanti Andrea lihat pas Vania lagi sama Haical. Nanti malah salah paham dia," saran Nadien. "Nggak bisa, Nad. Masak iya, aku pergi gitu aja di saat kayak gini?" tolak Daniel. Yup. Daniel-lah yang sedari tadi berusaha memanggil Vania. Sebab, ia melihat Vania tampak dekat dengan Haical. Sementara di sisi lain, Nadien sempat melihat jika Andrea tampak mencari sesuatu. Dan bisa Nadien tebak, Vania-Andrea yang sedang Andrea cari. "Lagian kenapa sih, bukannya nyapa pengantin dulu, mereka malah mencar?" keluh Daniel gemas sendiri. Nadien menepuk bahu pria yang baru beberapa jam yang lalu sah menjadi suaminya itu. Lalu ia melemparkan senyum hangat, berniat menenangkan pria itu. "Ini, Dokter Vania," Vania meraih piring kecil yang disodorkan Haical padanya. "Makasih ya, Pak. Baik banget jadi cowok. Hehe.." puji Vania yang dibalas anggukan kepala oleh Haical. "Hmm.. kayaknya kaku banget kalau manggilnya pakai 'Pak'. Ini di pesta loh," ujar Haical. Vania tampak berpikir, lalu mengangguk setuju dengan pendapat Haical. "Untuk malam ini, bagaimana kalau kita sama-sama panggil nama aja?" lanjut Haical. "Eh, memangnya tidak apa-apa?" tanya Vania dengan ekspresi yang berhasil membuat Haical tertawa. "Pak Haical kok malah ketawa sih? Haha.." "Itu kamu juga ketawa. Apa yang kamu ketawain memangnya?" tanya Haical. "Nggak tahu. Habis Pak Haical ganteng sih pas ketawa, jadi bawaannya pengen ikut ketawa aja," jawab Vania dengan polosnya. Haical semakin gemas setelah mendengar ucapan polos Vania. "Jadi bagaimana, langsung panggil nama aja, bisa kan?" tanya Haical memastikan. "Hmm.. boleh deh, Pak. Eh, Haical maksudnya. Maaf ya, aku belum terbiasa," ujar Vania. "Ya sudah, dimakan cake nya! Nanti kalau kamu mau lagi, saya ambilkan. Di sana masih banyak," balas Haical. Vania mengangguk penuh semangat. Ia pun mulai membuka mulutnya dan mengarahkan slice Red Velvet cake itu ke dalam mulutnya. "Tidak perlu!" suara tegas itu berhasil mengurungkan niat Vania. Vania meletakkan kembali slice cake itu ke atas piring kecil, lalu menoleh ke arah sumber suara. "Vania istri saya, jadi untuk menyenangkan dia itu sudah menjadi tugas saya," ❤❤❤ Bersambung .... Jangan lupa follow ig @riskandria06 juga ya, biar tahu update info ceritaku yang lain, termasuk spoiler rencana Devania 2 versi cetak dan spin off nya. Semoga yaa ... doakan aku dapat ide untuk spin offnya. Sebenarnya sudah ada bayangan, tapi belum dibuat outline jadi belum bisa memastikan, akan dipublish atau tidak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN