"Alisa lagi, Alisa lagi, sebenarnya yang istrimu itu aku atau anak Babu itu, hah?"
Jeritan kerasku serasa merobek kerongkonganku. Seumur hidup tidak pernah aku berteriak sekeras ini untuk meluapkan rasa muakku kepadanya. Aku istrinya, seharusnya aku yang menjadi prioritasnya lebih dari siapapun, tapi lihatlah, selama tiga tahun kami bersama dalam ikatan pernikahan dia hanya memandangku tidak lebih dari seorang sahabat yang rakus dan menginginkan dirinya secara berlebihan. Dan sekarang adalah puncak dari rasa muak dan lelahku.
Aku kesakitan di tempat kerja, aku memohonnya untuk menjemputku pulang, tapi apa, dia tidak mengangkat teleponnya dan saat aku setengah mati merangkak kembali ke rumah dinasnya yang sudah seperti neraka untukku, pria b******k ini justru membawa anak pembantu itu datang.
Katakan, katakan jika kalian di posisiku apa kalian tidak menangis darah karena ulahnya. Aku mengemis perhatian darinya, aku memohon kewajibannya sebagai suamiku, namun apa yang aku dapatkan? Dia tidak mengangkat teleponku hanya karena dia sibuk dengan anak pembantu yang kini duduk diam di ruang tamu kami!
"Jangan menyebut Alisa seperti itu, Ran. Tidak sepantasnya kamu menghinanya, kamu boleh memakiku, tapi jangan membawa dia dalam masalah kita. Alisa sudah banyak terjebak masalah! Aku hanya membantunya, jangan pernah berlebihan." Bisa aku lihat kedua tangan Saka terkepal menahan emosi saat aku memaki perempuan sialan yang menjadi benalu di rumah tanggaku, sungguh, hal yang sangat menggelikan mendengarnya melarangku memakinya dan tidak mengizinkanku membawa wanita sialan itu dalam pertengkaran. Dia, Alisa si anak pembantu itu yang sejak awal menjadi masalah diantara aku dan Saka, alasan terbesar kenapa Saka tidak pernah bisa mencintaiku lebih besar dari sahabat.
Kesal, geram, marah, semua rasa itu bergejolak di dalam dadaku hingga aku mendorongnya dengan keras, "kenapa? Nggak terima hah aku hina selingkuhanmu itu? Aku akan menghinanya sepuas hatiku, Saka Aryaatmaja. Aku akan memaki anak babu itu sesuka hatiku, selama ini kamu melupakan kewajibanmu sebagai suami karena sibuk dengannya. Katakan, apa aku harus bermanis-manis terhadap perempuan yang dengan lancangnya memonopoli suamiku sementara aku harus mengemis perhatianmu? Tidak, aku tidak akan sudi untuk menurutimu! Aku muak, aku benci dengan kalian berdua......"
Persetan dengan teriakanku yang akan tembus ke rumah tetangga aku tidak peduli sama semua hal yang akan membuat Saka dalam masalah.
"Aku tidak berselingkuh, Rania! Berhentilah membuat asumsi sendiri! Kamu tahu sendiri kan kalau Alisa sudah seperti saudaraku sendiri?! Aku sudah menikahimu, kurang apalagi, hah? Aku tidak boleh membantu orang lain?" Suara geraman keras terdengar darinya, frustrasi karena aku yang terus menangis sejak dia datang ke rumah. Segala hal yang Saka katakan sudah tidak mau aku dengarkan lagi. Aku benci mendengar pembelaannya atas wanita sialan yang selalu merebut perhatiannya.
Selalu seperti ini. Penyangkalan, hubungan yang disebutnya persaudaraan, dan bantuan!" Suamiku terlalu sibuk menjelaskan hingga dia lupa untuk sekedar menyusut air mataku.
"Kenapa kamu harus bantuin dia hah?" Dan inilah puncaknya, aku tidak bisa menangis lagi, aku tidak punya kekuatan untuk marah lagi. Tidak, aku sudah tidak lagi berteriak, aku hanya bisa terduduk di ranjang dingin ini sembari menatapnya, sebagian hatiku mati mendapati pembelaannya untuk wanita yang sama berkali-kali. "Aku sakit kalau kamu mau tahu, Ka! Seminggu ini aku sakit dan kamu nggak pernah nanya kondisiku, hari ini aku benar-benar nggak sanggup lagi, aku hanya memintamu untuk menjemputku, sesusah itukah aku meminta pertolongan suamiku sendiri? Sesusah apa wanita sialan itu sampai selalu kamu utamakan lebih dari apapun! Kamu sukses membuatku seperti sampah, Ka!"
Orangtuaku, kehidupanku, semua hal yang ada di dalam hidupku sebelum menikah, mereka tidak pernah membuatku meneteskan air mata, tapi lihatlah, pria di hadapanku ini menghancurkan segalanya dalam sekejap.
"Kenapa kamu menerima perjodohan ini jika kamu tidak menginginkannya, Ka? Kenapa kamu tidak menikahi saja wanita sialan itu jika memang dia yang terpenting untukmu?"
"Rania......."
"Aku capek, aku muak, aku menyerah, aku sudah tidak sanggup lagi......"
Kususut air mataku yang dengan lancangnya turun dengan derasnya, selama ini aku selalu bisa menahan diriku untuk tidak menangis di hadapannya namun kini aku justru meneteskan air mataku dengan sangat menyedihkan. Sungguh aku benci melihat tatapannya sekarang ini kepadaku. Disaat seharusnya dia mendekat kepadaku, membawaku ke dalam dekapannya dan membisikkan permintaan maaf yang akan membuatku segera berubah pikiran, dia justru membisu ditempatnya menyaksikan tanpa ekspresi bagaimana kehancuranku atas semua hal yang dia lakukan.
"Aku menyerah, Ka." Kuraih cincin pernikahan kami, dan aku letakkan di atas meja di dekat gulai kepala ikan yang sangat aku benci kehadirannya di rumah ini. "Aku sudah tidak sanggup lagi bersamamu. Kamu bahkan tidak pernah mau aku ajak makan keluar dengan berbagai alasan, kamu tidak pernah menjemputku selain ada acara keluarga. Kamu tahu, segala hal yang kamu lakukan dengan wanita sialan itu adalah segala hal yang aku inginkan. Kamu bisa melakukannya dengannya, tapi kamu tidak pernah melakukannya denganku. Seminggu ini aku tidak bisa makan, aku sakit, tapi kamu tidak peduli, dan sekarang, kamu kembali ke rumah orangtuamu, membawa makanan sialan itu untuk wanita sialan yang selalu memonopolimu. Sudah cukup, aku tidak tahan lagi. Sekarang, aku bebaskan kamu dari ikatan pernikahan ini, silahkan jalani hidup bebasmu dengannya, aku tidak akan mengganggu dan mengeluh lagi."
Aku berusaha keras untuk tetap tegar menghadapi pria yang bahkan tidak menganggapku sebagai istrinya. Entah apa artinya aku dimatanya hingga dia tega memperlakukanku seperti orang asing, namun nyatanya aku gagal, hatiku pedih, dadaku sesak penuh dengan gemuruh yang membuatku kesulitan untuk sekedar bernafas lagi.
"Aku mau kita bercerai, Ka. Perpisahan lebih baik untuk kita berdua, capek loh berjuang sendirian di hubungan ini, aku capek berjuang buat dapatin cinta kamu. Cintaku ke kamu udah sampai di titik penghabisan."
Rasa sakit yang aku rasakan dihatiku lebih daripada rasa sakit fisikku, tiga tahun penuh aku menahannya, berpura-pura di hadapan dunia jika pernikahan kami baik-baik saja dan bahagia, kini aku kehilangan semua energiku. Persis seperti mengejar matahari, tidak pernah sampai dan hanya membuat terluka. Perlahan aku berjalan mundur, meninggalkannya yang mematung tidak berbicara apapun.
Aku tidak sekedar mengancamnya dengan omong kosong, aku menjauh menuju kamar untuk membereskan semua barang-barangku ke dalam koper. Tidak menunggu besok, aku akan pergi sekarang, semakin lama aku berada di satu ruangan bersama dengan Saka dan wanita sialan yang menjadi benalu dalam kehidupan pernikahanku itu, semakin aku merasa gila dibuatnya.
"Jangan bertingkah konyol seperti ini, Ran!" Dengan kasar Saka membuka kembali setiap pakaian yang sudah aku kemasi, sedari tadi dia hanya diam membisu seolah tidak memiliki mulut dan sekarang dia menatapku nyalang seolah apa yang aku lakukan hanyalah rajukan yang tidak semestinya aku lakukan.
"Aku? Konyol?! Kamu yang konyol! Kamu tidak memperhatikan istrimu, tapi justru memerhatikan wanita lain! Kamu konyol, gila, dan sinting!"
Kepedihanku kini menjelma menjadi kemarahan yang mengganas, "kembalikan pakaianku, atau kamu juga ingin mengambilnya untuk kamu berikan pada anak babu itu, hah?! Jika iya, silahkan! Silahkan ambil! Hatimu saja kamu berikan kepadanya apalagi cuma secarik kain! Silahkan, aku akan pergi dengan tangan kosong."
"Rania!!!"
"Aku muak denganmu!"