Listya melemparkan tubuhnya sendiri ke sofa yang ada di ruang tamu, lumayan lelah juga hari ini padahal tidak melakukan aktivitas berat. Ia hanya jalan-jalan saja, tapi rasanya seperti orang yang seharian memanggul semen puluhan sak.
"Udah pulang?" tanya Ratih yang sontak membuat Listya menoleh, wanita itu sedang sibuk dengan tablet dan buku orderan.
Listya bahkan baru menyadari kalau Mamanya ada di ruang tamu juga. Bisa dipastikan kalau Ratih sedang mengurusi berbagai pesanan. Maklum saja, Ratih memiliki usaha kue kecil-kecilan. Dari birthday cake, cup cake, mini cake, anniversary cake, berbagai jenis roti dan lain-lain.
Usaha kecil-kecilan ini patut mereka syukuri karena Ratih bisa mengelolanya sehingga mampu membiayai segala kebutuhan Listya dan Tio semenjak Papa mereka pergi untuk selamanya empat tahun silam.
"Udah, Ma," jawab Listya. Ia sebenarnya sedang waspada. Mungkinkah di saat sibuk seperti itu Mamanya masih membombardirnya tentang jodoh.
Ratih meletakkan tablet di atas buku orderan yang masih terbuka, ia kemudian menghampiri putrinya. "Pulang diantar siapa? Mama nggak lihat kamu bawa motor."
Dalam hitungan detik, Ratih sudah ada di sofa yang sama dengan Listya. Listya pun langsung bangkit dan duduk di samping sang mama. Rasa waspadanya naik level ke arah bahaya dan siaga, ia yakin sebentar lagi Ratih akan menceramahi tentang topik yang sama.
"Sama Abang Ojol, Ma."
"Kok naik ojol, sih?"
"Terus aku harus jalan gitu, Ma?"
"Emangnya kamu nggak ketemu siapa-siapa? Maksud Mama, jodoh atau minimalnya teman laki-laki, gitu."
Listya menggeleng.
"Lis...." Ada sedikit nada kekecewaan dalam ucapan Ratih. "Mama itu—"
"Mama itu pengen aku cepat nikah. Iya, kan?" Listya memotong kalimat Mamanya. "Ma, dengar aku. Harus berapa kali aku bilang kalau jodoh itu udah diatur, jadi Mama tenang aja. Aku pasti nikah ya walaupun aku sendiri nggak tahu kapan."
"Mama ngerti, tapi kasih Mama kesempatan buat ngenalin kamu sama seseorang."
"Juragan itu? Tunggu, Mama serius pengen aku jadi istri keempat?"
"Bukan, Mama nggak sejahat itu," balas Ratih. "Lis, Mama tahu yang terbaik buat kamu."
"Apa yang terbaik menurut Mama, belum tentu buat aku. Jadi, yang harus Mama lakukan adalah sabar. Kasih aku waktu seenggaknya satu tahun, kalau aku benar-benar nggak menemukan pilihan aku sendiri ... aku bakal pasrah."
"Mama ngerti, Lis. Tapi jodoh itu...."
Lagi-lagi Listya memotong ucapan Mamanya. "Jodoh lagi, jodoh lagi. Mama please, bisa nggak sehari aja nggak bahas tentang jodoh?"
"Bisa. Sehari aja, nih? Berarti besok Mama boleh bahas lagi dong?"
"Ih, Mama." Listya merutuki dirinya yang malah salah bicara, yang ia inginkan selamanya tidak membahas jodoh juga tak apa-apa.
Ratih terkekeh. "Asyik, sehari aja. Besok udah boleh bahas dong."
"Mama, lama-lama aku bisa pindah rumah karena stres nih."
"Pindah ke mana memangnya?"
"Ke mana ajalah, yang penting nggak ditanya-tanya tentang jodoh terus."
"Kamu itu, ada aja alasannya."
"Kalau begitu aku mandi dulu, ya," pamit Listya. Ia memang butuh mandi, biasanya guyuran air ke seluruh tubuh bisa membantu menghilangkan rasa lelah yang ia rasa.
***
Anda memiliki 2 panggilan tak terjawab.
Tentu saja panggilan tak terjawab dari Mia. Sejak dulu nomor nyasar sekalipun tak pernah ada yang mampir ke ponsel Listya. Oke fix ponsel jomlo adalah kembaran kuburan!
Listya pun menelepon balik Mia, kalau sahabatnya sudah menghubunginya sampai dua kali, pasti ada sesuatu yang penting.
"Halo, Lis?" jawab Mia di ujung telepon sana.
"Tadi kenapa nelepon? Rajin banget sampai dua kali."
"Oh itu, lagian lo sok sibuk banget, sih. Pasti pura-pura sibuk biar nggak dianggap ngenes. Aslinya mah, kan, gabut lo tuh, Lis."
"Aduh ini kenapa ya, gue baru kelar mandi udah di judge yang nggak-nggak?!"
"Mandi? Lo baru mandi? Ini jam setengah delapan malam. Jangan bilang baru bangun tidur. Enggak jadi keluar lo?"
"Gue baru pulang. Puas lo?!"
Mia tampak kegirangan. "Jadi gimana sama kutukan gue tadi pagi?"
"Enggak penting, sekarang gue tanya ... lo nelepon sampai dua kali ada apa?"
"Ya itu, mau nanya kutukan."
Tunggu, Listya berusaha mengingat sesuatu. Tadi pagi Mia memang mengatakan tentang kutukan. Itu artinya Mahesa. Ah, tidak. Sebaiknya Listya tidak berpikir sekonyol itu dan ia juga tidak perlu menceritakannya pada Mia.
"Lis? Lo molor?" Mia meninggikan nada bicaranya.
"Ada. Ini Listya yang cantik masih dengar, kok."
"Jadi gimana?"
"Gue rasa lo mesti narik kata-kata lo deh, soalnya gue nggak ketemu sama siapa-siapa. Itu artinya kutukan lo gagal. Lagian apa-apaan ya, pakai acara kutukan segala. Unfaedah banget."
"Yakin lo nggak ketemu siapa-siapa? Gelagatnya kayak lagi dusta, nih. Gue mencium bau-bau kebohongan."
"Ya itu, sih, terserah mau percaya atau nggak. Lagian ngapain bahas beginian kayak orang pacaran kehabisan topik aja. Segala yang nggak penting diomongin."
"Duh, omongannya kayak orang pernah pacaran aja." Mia terkekeh.
"Forget it! Gue mau tanya, gimana acara lo hari ini?"
"Lancar banget kayak jalan tol. Intinya gue bahagia."
"Jalan tol nggak selamanya lancar kali ah, kalau musim mudik sama liburan pasti macet."
"Ih, sirik aja lo. Serius gue bahagia banget. Acara berjalan lancar. Tadi tuker cincin sama nentuin tanggal. Gue udah posting di i********:, sih, dan lo pasti belum buka medsos ... iya, kan? Atau nggak mau buka medsos karena takut baper soalnya banyak dua insan yang bersatu alias nikah."
"Jadi kapan kawinnya? To the point aja ya, Mia."
"Hush, nikah. Bukan kawin!"
"Udah, sama aja."
"Beda Lis. Kalau kawin mah langsung indehoy di ranjang."
"Frontal banget lo, jadi kapan nikahnya?"
"Sabar, tarik napas dulu biar nggak kaget. Lo itu sensitif banget tahu."
"Kenapa harus kaget? Tinggal jawab aja, ih."
"Gue nikah Minggu depan."
"Apa?!" Listya terkejut bukan main.
"Tuh kan, kaget. Dibilangin tarik napas dulu, malah nggak nurut, sih."
"Lo udah hamidun, ya?
"Enak aja. Sama sahabat sendiri bisa-bisanya berpikiran buruk."
"Kok bisa mendadak banget padahal sebelumnya bilang tahun depan. Gue curiga wajar, kan?"
"Serius, pihak Novan-nya emang pengen dipercepat."
"Lo tega banget, gue makin di-bully di kantor dong."
"Nah, kalau nggak mau di-bully ... buruan nikah juga. Ya, minimalnya punya pacarlah."
"Omongan lo nggak beda jauh sama nyokap. Janjian ya? Lo kira nemuin cowok yang tepat itu gampang?"
"Kapan sih lo sadar, Lis? Punya pasangan itu enak tahu. Ya ... lo berusahalah. Gimana nggak susah kalau kenyataannya lo nggak pernah nyari?"
"Gue udah sadar. Lo pikir gue pingsan? Ya ampun Mia, gue udah malas bahas pasangan, jodoh, pacar, gebetan, suami ... jadi mulai sekarang nggak usah sebut kata-kata itu lagi, oke?"
"Capek deh, gue berharap ada cowok yang bisa mengubah pandangan lo. Kalau lo begitu terus, bisa-bisw jadi perawan tua."
"Whatever, Mia. Gue mau istirahat dulu deh. Besok Senin, mau upacara bendera." Tentu saja bukan upacara bendera sungguhan, itu hanya kalimat yang sengaja dibuatnya agar pembahasan terhenti.
"Ya udah iya. Bye, Lis."
Setelah sambungan telepon terputus. Listya meletakkan ponselnya di atas nakas lalu membaringkan diri di kasur. Matanya menatap ke langit-langit kamar.
Tiba-tiba Listya jadi ingat Mahesa, ia sendiri bingung kenapa harus memikirkan pria yang bahkan baru dikenalnya.
Ada apa dengan Mahesa?