Bab 1

1286 Kata
Sebagai wanita yang masih berusia 25 tahun, rasanya belum menikah bukanlah sesuatu yang patut dikhawatirkan. Sayangnya, Ratih tidak sependapat. Kalau sudah begini salah siapa? Bahkan, Ibu Susi Pudjiastuti saja tidak memerintahkan untuk menenggelamkan wanita yang belum menikah di usia itu, tapi Ratih dengan ribetnya selalu berbicara masalah pernikahan pada putrinya, belum lagi ancaman tentang perjodohan. Ya Tuhan, hal itu berhasil membuat telinga Listya panas setiap hari. Selesai mandi, Listya mengambil ponselnya yang hanya ada notifikasi dari platform membaca favoritnya. Itu sudah biasa karena baginya ponsel dengan kuburan tidak berbeda jauh, alias sama-sama sunyi dan sepi. Kalaupun ada notifikasi lain, pasti hanya w******p Group atau Line Today. Listya kemudian menghubungi sahabatnya, siapa tahu saja mereka bisa jalan-jalan bersama hari ini. Sahabatnya itu bernama Mia, lengkapnya adalah Mia Mallen. Bukan, jangan berpikiran dia adalah penyanyi dangdut yang sedang naik daun. Mia mana bisa nyanyi dangdut? Lagi pula beda huruf! "Halo Lis, tumben jam segini udah bangun, nelepon gue lagi. Ada apa?" Suara cempreng seorang Mia mulai terdengar. "Ada acara nggak? Keluar, yuk!" "Nggak ada angin, nggak ada hujan, tumben banget ngajak keluar? Biasanya lo tidur dari Sabtu sore sampai Senin pagi. Dalam kamus lo, kan, nggak ada jalan-jalan di hari Minggu." "Duh, panjang ceritanya. Jadi lo mau temenin gue, kan?" "Sayangnya gue ada acara, Lis." "Emang nggak bisa cancel, ya? Demi gue." "Sori banget, Lis. Lo lupa ya? Hari ini, kan, mau pertemuan dua keluarga." "Apa?!" Listya tampak terkejut. "Demi apa lo pernah bilang tahun depan nikahnya, tega lo. Jangan bilang sebentar lagi sosmed bakalan penuh sama postingan lo tentang hari ini." "Ya emang nggak boleh silaturahmi? Lagian pihak sana malah pengen dipercepat tahu." "Sama cowok yang mana, by the way?" "Ya ampun, Lis. Dari dulu cowok gue cuma satu, dan nggak pernah ganti. Jangankan ganti, hubungan kami bahkan nggak pernah diterpa gosip miring apa pun. Pokoknya langgeng." "Langgeng?" tanya Listya memastikan. "Lo tahu nggak, kenapa hubungan kalian awet gitu?" "Ya karena gue sama Novan sama-sama setia." "Salah." "Terus apa dong?" tanya Mia. "Alasan hubungan awet itu karena PHO masih di garis start, coba kalo udah mulai beraksi ... kelar hubungan lo!" "Punya sahabat kok doanya jahat banget, sih?" Listya terkekeh. "Ya udah terserah, kalau gitu gue jalan sendiri." "Ya lo kayak nggak biasanya aja. Ini yang kesekian kalinya lo jalan sendiri. Jomlo itu nggak boleh manja." "Please deh ah, jujur banget lo. Kalau ada yang dengar, kan, gue bisa dicap jomlo ngenes." "Itu fakta." "Ya ampun, dengar ya. Semua orang yang udah punya pacar atau pasangan sah, pasti berawal dari single dulu. Saking aja jadi kacang lupa kulitnya. Jadinya malah nge-bully yang belum punya pasangan. Apa faedahnya coba?" Mia malah tertawa. "Mia Mallen doain deh biar Listya menemukan jodohnya. Kalau bisa, sih, lo teriak pake toa ... oh jodoh, kamu di mana?" Kalau sudah seperti ini Listya jadi malas, kadang ia berpikir kenapa harus selalu jodoh yang menjadi topik pembicaraan orang-orang di sekitarnya? Kenapa bukan yang lain saja? Ya Tuhan. "Mia, Mia, bentar deh," ucap Listya yang langsung membuat Mia berhenti tertawa. "Barusan lo denger nggak, sih? Kayak ada suara klakson gitu. Gue rasa rombongan pacar lo udah datang, deh." "Masa sih? Gue belum siap-siap. Ya udah neleponnya nanti lagi. Pokoknya have a nice day. Gue kutuk lo ketemu jodoh hari ini." *** Listya melirik jam tangan menunjukan pukul 14.00, dengan sangat terpaksa ia menghabiskan hari Minggu di luar dan yang pasti sendirian. Karena bosan bermain Timezone, akhirnya Listya menuju bioskop. Kakinya mendekat melihat jadwal tayang pada layar besar di samping bagian pembelian tiket, ada beberapa orang yang juga sedang melihat jadwal. Setelah memastikan film yang ingin ditonton, Listya bergegas mengantre di bagian pembelian. Sebenarnya ia biasa membeli tiket via online lalu mencetaknya melalui self ticketing machine, hanya saja kali ini saldo tanggal tuanya tidak memungkinkan untuk bertransaksi. Akhirnya dengan sangat terpaksa Listya sabar menunggu sampai tiba gilirannya untuk membeli terlebih Minggu seperti ini bioskop benar-benar ramai. Berselang lima belas menit akhirnya kini giliran Listya, wanita itu menyebutkan salah satu judul film bergenre romance. "Untuk berapa orang, Mbak?" Ini adalah salah satu pertanyaan yang membuat Listya kesal. Bagaimana tidak, saat menjawab satu pasti akan ditatap dengan penuh kebingungan dan rasa heran, juga muka-muka mengejek seolah wajah petugas tersebut berbicara : Jones banget, sih. "Satu." Benar, kan, dugaan Listya. Wanita yang menjaga tempat pembelian tiket itu menunjukkan ekspresi terkejut, memangnya ada yang salah kalau pesan satu? "Saya konfirmasi lagi, Mbak pesan satu tiket?" "Iya, Mbak." "Baik, silakan pilih mau duduk di mana? Pilih yang berwarna hijau, ya." "Di sini," jawab Listya dengan menunjuk bagian paling ujung belakang, yakni A1. Sebenarnya kursi itu bukan benar-benar paling belakang, tentu saja di belakangnya ada seat couple yang harga tiketnya pun berbeda. "Bagaimana dengan makanan dan minumannya?" "Cold millo sama large salty single." "Oh yang single?" tanya wanita itu memastikan. Astaga. Pertanyaannya kenapa harus itu, jujur Listya sedikit tersindir. Harus banget ya nanya single? Meskipun tentang popcorn. "Jadi totalnya delapan puluh tiga ribu." Listya kemudian memberikan dua lembar uang lima puluhan. Jujur saja, di dompetnya kini tersisa dua ratus tujuh belas ribu, itu pun sudah berkurang karena barusan ia membeli tiket nonton dan makanan. "Terima kasih, filmnya pukul dua lewat dua puluh menit. Kebetulan pintu teater tiga sudah dibuka jadi kalau Mbak mau langsung masuk boleh," jelas petugas itu sambil memberikan uang kembalian. Jujur, Listya ingin berteriak kalau dirinya sudah tahu tanpa dijelaskan. Entah kenapa Listya malah sewot pada wanita itu, padahal memang tugasnya begitu. Mungkin kesendirian yang membuatnya jadi lebih sensitif. Beberapa saat kemudian, Listya melangkah memasuki teater tiga. Ia berjalan menuju kursi A1 yang terletak paling ujung. Ia sengaja memilihnya agar bisa lebih tenang sendirian. Jujur saja ada sedih yang tak bisa dijelaskan saat mendengar pertanyaan tadi, 'ini cuma satu seat?' Meletakkan cold millo dan popcorn pada tempatnya, Listya lalu mengambil ponsel dalam tas. Ada enam pesan, tumben sekali pikirnya. Listya melihat deretan 6 pesan masuk semuanya dari operator. Ya ampun, se-mengenaskan itukah? Apa single memang tidak pernah ada yang mencari? Tidak ada juga yang khawatir? Listya pun kembali meletakkan ponselnya dalam tas, rasanya mengenaskan sekali sekadar bolak-balik menu. Membuka sosial media pun akan membuatnya semakin kesal saat melihat postingan pernikahan. Beberapa saat kemudian, matanya fokus melihat layar yang sedang menampilkan trailer-trailer untuk film yang masih coming soon. Bersamaan dengan itu, beberapa orang mulai masuk dan duduk di tempatnya masing-masing. Tiba-tiba seorang pria duduk tepat di samping Listya. Listya sempat menoleh sebentar, ternyata pria itu sendirian. Apa-apaan ini? Apa tidak ada kursi lain sehingga pria itu memilih tempat di sampingnya? Tanpa diduga, pria itu bertanya, "Sendirian aja?" Kenapa semua orang harus banget nanya tentang sendiri, sih? Ya ampun. "Emangnya kenapa?" Listya balik bertanya. Entahlah, pertanyaan tentang sendiri selalu membuatnya jadi lebih sensitif. Tentu saja pria itu terkejut dengan respons Listya, tapi kemudian ia tersenyum. "Cuma nanya aja, sih. Soalnya jarang ada orang nonton sendirian, perempuan lagi." "Berarti mainnya kurang jauh, di luaran sana banyak yang nonton sendiri, kok." Pria itu hanya tertawa ringan. "Apa ada yang lucu?" Alih-alih menjawab, pria itu malah tersenyum sambil mengulurkan tangannya. "Mahesa." Apa-apaan ini? Kenapa tiba-tiba ngajak kenalan? batin Listya. Listya tentu tidak langsung menggubris, selama beberapa detik mereka saling terdiam. Rasanya Listya belum pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya sehingga menurutnya ini aneh. "Mahesa." Pria itu masih belum menyerah. Pandangan Listya kemudian beralih menatap wajah Mahesa, meski kenyataannya pria itu sangat tampan, tapi Listya tidak mau sampai terpesona. "Nama kamu siapa?" tanya Mahesa kemudian. Listya ingat, ia pernah membaca artikel di internet tentang kejahatan dan entah mengapa firasatnya buruk. Ya, ia mendeteksi adanya kejahatan yang akan Mahesa lakukan. Jadi, ia tak boleh sembarangan menyebutkan informasi dan data diri pada orang asing seperti Mahesa. "Nengsih," jawab Listya. Ia rasa lebih baik menggunakan nama itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN