“Biasanya, ya … ini sih, biasanya. Menurut survei di lapangan, nasib asmara dari pria lurus yang hidupnya cuma buat kerja sama urus keluarga, kayak si Bubu, hanya ada dua. Mendadak nikah karena terpaksa, atau malah jadi bujang tua.” Mumu bertutur dengan santainya.
Di sofa kebersamaan mereka, Chen, Nanay, berikut Pansy yang sedang bertamu, terbengong-bengong menyimak. Chen yang duduk di tangan sofa panjang keberadaan Nanay, mengerutkan bibir, meragukan penjelasan Mumu yang biasanya akan berlangsung panjang lebar tak ubahnya ceramah.
“Kan … kan. Kalian yang memulai, kalian juga yang bertanya, aku disuruh jawab, ujung-ujungnya gini. Contohnya kan ada. Itu, Pak Gede Rafael. Bapak kalian juga nikahnya lewat tiga puluh tahunan. Ya kurang lebih, pasti Bubu juga begitu.” Mumu masih berusaha meyakinkan sambil sesekali membenarkan posisi duduknya di sofa panjang menghadap Nanay dan Pansy yang juga disertai Chen. Tentunya, Chen tak sampai berani dekat apalagi menempel kepada wanita lain, kecuali Nanay saudaranya sendiri.
“Menikah di usia tiga puluh tahunan bagi pria mapan mah biasa. Standar. Lah, bapakmu apa kabar? Nikah di usia empat puluh tahunan? Ini, ...a aku takut dosa tapi udah ketawa ….” Chen terpingkal-pingkal. Kedua tangannya refleks memukul asal sebelah pahaa Nanay.
Nanay sendiri langsung tertawa, tapi tak beda dengan Pansy, Nanay menggunakan kedua tangannya untuk menekap mulut guna meredam tawanya.
“Kebiasaan kamu, Chen. Awas saja nanti kamu yah. Aku laporin ke Bu Gede Fina. Abis-abis kamu!” Mumu menatap jengkel Chen. Pria bermata sipit tak mau diam yang kadang bersikap aneh sekaligus sulit ditebak tak ubahnya V BTS itu sungguh menyulut kekesalannya.
“Abis apa? Ini kan fakta. Alkisah … di salah satu desa pelosok yang ada di Cilacap Jawa Tengah, hiduplah bujang lapuk bernama Den Bagus Saeful. Dengan kesibukannya yang tak lain seorang pengasuh sekaligus baby boy kambing …” Dengan jailnya, Chen sengaja meledek Mumu yang seketika semakin marah.
Begitulah Mumu, paling anti kalau keluarga khususnya sang bapak menjadi bahan ledekan. Bahkan sekalipun apa yang dijabarkan mengenai sang bapak merupakan kebenaran.
Dua bantal sofa telah melayang dan ditangkap dengan sigap oleh Chen atas ulah Mumu.
“Eh, Pansy, diem, kamu! Ingat, bapakmu sudah jahat ke Bu Gede Fina! Si Bian itu … huh, harusnya dipites!” semprot Mumu sambil menunjuk-nunjuk Pansy yang seketika terdiam.
Kemudian, Mumu mengamati Pansy melalui lirikan meledek. “Cie … ciee … yang masih usaha dapetin cinta Bubu!”
Pansy kebingungan seiring wajah kuning langsat berpoles rias tipisnya yang seketika bersemu. Sedangkan Nanay dan Chen yang mendapati itu, menjadi saling tatap, berkode mata. Dari tatapan keduanya seolah menuangkan maksud “Pansy beneran suka Mas Bubu?”
“Tapi kalau mengenai kriteria Bubu, aku mah tahu! Yang pastinya berhijab, alim, manis-manis gitu kayak Bu Gede Fina. Tapi bukan kamu yah, Pansy … cie … cie ....” Mumu kembali meledek Pansy.
Seketika, Pansy menatap jengkel Mumu.
“Mengenai kriteria Mas Bubu, kami sih enggak bermaksud sok tahu kayak Mumu, yah, Nay?” timpal Chen sambil menatap Nanay.
Nanay mengangguk sambil tersenyum santai. “Apalagi kita sama-sama tahu, sesempurna apa pun kriteria kita, kalau kita sudah menemukan orang yang bikin kita nyaman, yo wis, lanjut, jalani saja! Intinya, cinta itu enggak memandang kriteria. Sebab yang cinta butuhkan itu rasa nyaman. Sayang! Dan tentunya, jodoh itu enggak memandang usia. Mau menikah di usia berapa pun, itu sudah jadi keputusan setiap yang menjalani. Urusan kita sama pasangan sekaligus Alloh, intinya!” lanjut Chen yakin.
Nanay dan Pansy langsung mesem, membenarkan anggapan Chen. Tidak dengan Mumu yang seketika istighfar sambil tiarap.
“Alhamdullilah, Chen tobat!”
“Tobat apaan? Memangnya kapan aku jadi orang maksiat apalagi ikut golongan sesat? Lama-lama bener Ray, deh. Jadi emosi kalau keseringan sama kamu!” omel Chen yang kemudian melemparkan bantal sofa ke Mumu dan kebetulan masih tiarap.
Dari belakang Mumu, Ray yang masih memiliki tubuh segar--semok, berjalan mengendap-ngendap sebelum akhirnya duduk di punggung Mumu.
“Ya Alloh, ini pasti si gembrot Ray! Ya Alloh, Ray! Punggungku retak!”
“Jalan, Mu. Jalan. Anggap saja kamu lagi jadi cempe! Dapat pahala lho, kalau nyenengin orang apalagi saudara sendiri!” Ray tak mau turun dari punggung Mumu, meski Mumu sudah nyaris sekarat bahkan tiarap.
“Cempe? Sembarangan! Kalau aku cempe, berarti orang tuaku kambing alias wedus? Bu Gede … Bu Gede ….” Mumu terus meraung-raung.
“Ray … Ray, udah, Ray,” tegur Nanay yang sampai menuntun Ray untuk meninggalkan Mumu.
“Iya, Ray. Sudah. Nanti kalau Mumu tewas terus jadi arwah penasaran alias temannya setan, susahlah kita!” timpal Chen.
“Kurang aajar, kamu, Chen! Durhaka kamu sama orang tua!” semprot Mumu.
Meninggalkan kesibukan kebersamaan ke empatnya, sosok yang sedang dibahas justru datang.
Mengenakan kemeja lengan panjang warna putih, Bubu melangkah agak loyo dan terlihat jelas kelelahan. Tangan kanan menempelkan ponsel ke telinga, sedangkan tangan kiri menenteng ransel gendong warna hitam.
“Tuh contoh nyata pria sukses! Bukan pria kelebihan lambe kayak kamu, Mu! Tukang nggosip! Enggak kaleng-kaleng, pokoknya!” cibir Ray.
“Iya, aku yang salah! Aku terus yang salah! Puas!” balas Mumu yang teramat gemas kepada Ray. Ia bahkan nekat menikam erat Ray, hingga kemudian terjadi pergulatan di karpet sekitar.
Bubu yang terusik dengan seruan Mumu, langsung syok ketika mendapati Mumu dan Ray sibuk asal hantam.
Setelah sampai menjauhkan ponsel dari mulutnya, Bubu berseru, “Chen! Pisahin, itu bantuin Nanay. Ya ampun kamu … ada orang ribut kok justru diadu!”
Pansy yang sampai gerogi hanya karena ada Bubu, bergegas, turut membantu. Dan ketika semuanya berada di pihak Ray, Bubu yang sengaja mengakhiri obrolan di ponselnya, segera berdiri di sebelah Mumu.
“Sebenarnya kalian ini kenapa?” Bubu menatap tegas wajah-wajah di sana.
Semuanya kompak menunduk takut tanpa terkecuali Mumu.
“Sebenarnya awalnya kami lagi bahas kamu. Apalagi akhir-akhir ini, kamu sibuk keluar kota,” ucap Mumu sengaja mengadu.
“Jangan ngadi-ngadi, jangan nambahin, jangan ngurangin loh, kamu, Mu!” timpal Ray.
Bubu menghela napas dalam. “Kalau boleh ngeluh, harusnya aku marah, lho,” ucapnya sambil menggeleng tak habis pikir. “Aku tuh capek, tapi kalian … malah gini.”
“Mas, mau aku ambilin minum?” tawar Pansy yang menatap cemas Bubu.
Apa yang Pansy lakukan sukses mengusik kebersamaan. Semuanya tanpa terkecuali Ray, kompak menoleh dan menatap Pansy yang berdiri di sebelah Nanay. Dan seperti dugaan mereka, Bubu langsung menolak. Bubu menggeleng tak bersemangat bersama penolakan yang terucap.
Begitulah Bubu, selalu menolak cinta yang mendekat. Namun, hingga detik ini, sebenarnya mereka belum tahu mengenai hubungan Bubu dan Edelwais. Termasuk kesibukan Bubu keluar kota yang sebenarnya untuk menemui sekaligus menjaga Edelwais yang masih menjalani pengobatan di Singapura. Hanya orang tua Bubu dan Edelwais saja yang tahu, dikarenakan Bubu sengaja meminta untuk merahasiakannya. Bukan tanpa alasan, sebab Bubu hanya berusaha menjaga nama baik Edelwais berikut nama baik keluarga mereka, mengingat hubungan mereka belum resmi.
“Kenapa kalian bahas aku?” tanya Bubu dan langsung mengalihkan perhatian di sana.
Semuanya terdiam tanpa terkecuali Mumu yang biasanya banyak bicara. Mereka sadar suasana hati Bubu sedang kurang baik. Bubu sedang banyak pikiran bahkan lelah.
“Ya sudah, lima menit. Ayo, tanya,” ucap Bubu kemudian sengaja memberikan kesempatan lantaran keempat orang di sana, masih kompak diam.
“Nay …?” lirih Bubu sambil menatap teduh Nanay.
Nanay menatap sungkan sang kakak. “Sebaiknya Mas istirahat saja. Semuanya baik-baik saja, kok. Biasa, sih. Kalau lagi ngumpul kan memang gini.”
Bubu mengangguk-angguk paham. “Ya sudah. Aku istirahat dulu. Apalagi dua jam lagi, aku harus pergi ke acara gantiin papah sama mamah. Kamu temenin Mas, ya?”
Nanay mengangguk paham sambil mengulas senyum menatap Bubu. “Siap, Mas.”
“Ya sudah. Sekarang kalian istirahat.” Bubu menatap wajah-wajah di sana dengan jauh lebih santai.
“Bu, si Chen mau balap liar lagi!” sergah Mumu yang seketika kabur dengan langkah andalan; lari.
Bubu langsung mendelik menatap Chen. Sedangkan Chen yang menjadi tujuan, langsung sibuk menggeleng ketakutan.
“Serius, Mas. Enggak!” bantah Chen.
“Enggak salah?” tepis Bubu sambil menatap Chen penuh curiga.
Wajah Chen langsung pias. Segera Bubu mengalihkan tatapannya kepada Pansy. “Kamu habis benerin motor atau mobil Chen?”
Mendapati itu, Pansy yang notabene seorang montir tak ubahnya sang ayah, refleks menahan napas dan perlahan menunduk.
“Malam ini, kamu enggak boleh ke mana-mana!” tegas Bubu sambil menatap Chen.
Chen menggeragap. “Lumrah, lah, Mas. Cowok mainnya balap-balap!”
Bubu tak menerima bantahan. Ia berlalu begitu saja bersama kekesalan yang ia tahan.
“Denger, Mas Chen. Kamu enggak boleh pergi. Dan kalau Mas mau, salahin saja Mumu si biang kerok itu!” ujar Ray yang seketika kabur.
Hanya tinggal Pansy dan Nanay yang terjaga di sisi Chen. Nanay yang menatap Chen penuh keteduhan dengan tangan kanan yang mengusap punggung Chen, juga Pansy yang menatap Chen penuh sesal sekaligus rasa bersalah.
“Maaf, yah, Chen?” ucap Pansy akhirnya.
****
“Jadi, tadi itu kalian lagi bahas Mas? Mengenai kriteria idaman, … Mas?” Di tempat duduk penumpang, Bubu masih menyandarkan punggungnya di sandaran tempatnya duduk. Ia tengah berusaha sesantai mungkin.
Nanay mengangguk-angguk sambil tersenyum kecil membalas Bubu. Seperti agenda yang sudah Bubu jelaskan, malam ini, mereka akan menghadiri acara undangan pernikahan dari salah satu klien penting, menggantikan orang tua mereka yang sedang menjenguk sekaligus menjaga Edelwais.
“Kriteria …?” Bubu terdiam dan mendongak, membuatnya mendapati kerut yang menghiasi keningnya.
Nanay yakin, pria muda berusia dua puluh lima tahun di sebelahnya sedang merenung. “Enggak ada, … Mas enggak punya kriteria!” Nanay mengulumm senyumnya.
Bubu mesem bahkan tersipu. “Mas ini pria, masa Mas harus punya kriteria khusus? Di mana-mana kan pria apalagi suami yang bakalan menjadi penentu masa depan? Buat apa Mas muluk-muluk? Mas mau istri yang seperti apa, cukup Mas yang setir istri Mas. Cantik, sopan, bahkan alimnya seorang istri kan tergantung suami. Istri itu ibarat cerminan dari seorang suami. Santai saja, sih.”
Mendengar balasan Bubu, Nanay seolah mendapatkan angin segar. Ia tak hentinya menatap wajah tampan sang Kakak dengan wajah berbinar-binar. “Mas memang yang terbaik!” Nanay menyodorkan ke dua jempol tangannya kepada Bubu.
“Logikanya, Mas ini laki-laki, ngapain cari yang sempurna, sedangkan yang sempurna versi Mas cuma ada kalau Mas yang ‘nyetir’? Sesederhana itu, sih. Bahkan Mas kadang suka bingung, kenapa sampai ada laki-laki yang mikir, cari istri yang mau diajak hidup susah, padahal sebelum jadi istrinya, tuh orang tua si wanita besarin anak perempuannya susah payah?”
Semakin nyaman, itulah yang Nanay rasakan di setiap ia bertukar pikiran dengan Bubu. Bahkan andai ada Bubu lain yang tidak terikat hubungan saudara dengan Nanay, Nanay mau satu untuk dijadikan imam dunia akhiratnya.
“Oh, iya, Mas?” ucap Nanay.
Bubu kembali menatap Nanay dengan tatapan yang kelewat teduh. “Apa?”
“Mas kapan mau jenguk Mbak Edel? Aku ikut sekalian, ya?”
Ketika nama Edelwais disebut, seketika itu pula Bubu terbatuk-batuk efek tersedak ludahnya sendiri.
“Kemarin si Raga juga sempat kontek aku, lho, Mas?”
Dan ketika nama Raga disebut, detik itu juga Bubu langsung emosi. “Ngapain dia kontek-kontek kamu?”
“Nanya-naya Mbak Edel, Mas. Tapi aku balas enggak tahu. Tapi si Raga maksa, jadinya Mas Rean yang emosi dan jawab telepon Raga.”
Raga, pemuda itu memang tidak berubah. Keras kepala dan tidak mau belajar dari kesalahan sebelumnya. Dan Bubu merasa kecolongan, dikarenakan ia baru tahu jika Raga sampai berusaha mencari informasi mengenai Edelwais, ke adik-adiknya.
“Kalau Raga kontek-kontek kamu lagi, apa pun tujuannya, kamu biarin saja. Seperlunya saja jawabnya,” ucap Bubu.
Nanay mengangguk mengerti. “Iya, Mas. Aku juga gitu.”
Bersambung ….