Acara pernikahan, lebih tepatnya resepsi pernikahan yang Nanay dan Bubu hadiri, ada di hotel pusat keluarga mereka. Hotel Veanso Grup Pusat.
Jangan tanyakan suasana di sana, karena semua acara yang digelar di hotel Veanso Grup Pusat, sudah bisa dipastikan mewah sekaligus glamor. Tentunya, segi keamanan juga menjadi salah satu hal yang terbilang mencolok di acara.
Setelah melalui pengawalan ketat berikut mendaftar di tempat pendaftaran tamu undangan, Bubu yang sampai menggandeng Nanay, justru mendapati pemandangan yang refleks membuatnya tersipu.
“Nay, Rean juga datang.” Bubu masih menatap lurus ke seberang. Di antara kerumunan sana, di dekat jejeran meja tamu VIP, pria bertubuh tinggi sekaligus berberewok tipis, tengah menjadi pusat perhatian beberapa pria paruh baya bersetelan jas hitam, dan masing-masing menggandeng pasangan.
Segera, Nanay yang penasaran bersama perasaan hangat yang menghinggapi dadanya dan refleks membuat senyum indah menghiasi wajah cantiknya, memastikan apa yang Bubu maksud. Rean, benar pria itu datang. Rean datang bersama Hans yang ditemani Viona. Sedangkan wanita berhijab biru muda yang ada di sisi Rean, tak lain Gemintang, adik angkat Rean (Gemintang merupakan anak dari Tari dan Sam, selaku tokoh utama n****+ : Istri yang (Tak) Diharapkan)
Bubu dapati, Nanay yang menjadi sibuk senyum sendiri.
“Yuk, kita ke sana dulu,” ucap Bubu sambil membimbing, menuntun sang adik menuju keberadaan Rean. Jarak mereka dengan Rean sekitar sepuluh meter.
Bubu dan Nanay melalui beberapa tamu undangan lain. Suasana di sana sendiri terbilang ramai dipenuhi tamu undangan. Itu juga yang membuat Nanay takjub pada ketelitian Bubu yang sampai bisa menemukan Rean. Pantas, Rafael begitu tenang meninggalkan perusahaan selama masih ada Bubu yang mengambil alih.
“Oh … namanya Rean? Terus yang di sebelahnya siapa? Cantik benget ....”
“Yang di sebelah ini calon istrinya Rean. Namanya Gemintang Elia Adam. Gemintang seorang dokter bedah saraf di rumah sakit … dan dalam waktu dekat, mereka akan segera menikah. Tinggal tunggu hari H saja,” jelas Hans selaku papah Rean, dengan bangganya.
Apa yang baru saja Hans sampaikan sukses mematahkan keantusiasan Nanay maupun Bubu yang seketika berhenti melangkah. Bubu dan Nanay menatap tak percaya kenyataan tersebut.
Hati berikut jantung Nanay terasa sangat sakit. Bersamaan dengan itu, Nanay juga merasa sendi-sendi tubuhnya seolah mengendur, terasa sangat ngilu.
Sadar Bubu nyaris melanjutkan langkah dan Nanay yakini akan menghampiri kebersamaan Rean yang tinggal dua meter lagi dari keberadaan mereka, Nanay segera menahan.
Nanay tak hentinya menggeleng, menatap Bubu dengan sangat memohon. Sedangkan melihat Nanay yang sampai berkaca-kaca bahkan perlahan berlinang air mata, Bubu merasa hancur. Marah bahkan sedih Bubu rasakan dalam waktu yang sama, bersama rasa panas yang seketika menguasai dirinya, tanpa terkecuali kedua matanya yang sampai basah.
“Satu minggu lalu, Rean baru melamar kamu, Nay. Rean bilang itu di depan keluarga besar kita. Dia izin taaruf, karena dia ingin serius sama kamu!” protes Bubu jengkel tak lama setelah Nanay membawanya meninggalkan kebersamaan Rean.
Nanay menunduk dan terisak-isak. Mereka masih ada di acara resepsi, tapi Bubu yang tidak tahan, memilih untuk membawa sang adik dari sana. Bubu merangkul Nanay. Wanita muda yang kali ini mengenakan hijab merah hati itu tampak begitu terluka.
****
Nanay dan Bubu sudah sampai di rumah, tapi Bubu belum berani dan memang tak tega bertanya apa yang sebenarnya terjadi dengan hubungan Nanay dan Rean, kepada Nanay. Bubu yakin, ada yang tidak beres. Kenapa Rean justru dikata Hans akan menikah dengan Gemintang, dalam waktu dekat, padahal satu minggu lalu, Rean baru saja mengajak Nanay bertaaruf?
“Jangan bahas apa-apa dulu, Mas. Aku mau nenangin diri dulu,” ucap Nanay yang masih menunduk. Kedua jemari tangannya sibuk menyeka air matanya.
Tak lama kemudian, pintu sebelah Nanay dibuka dari luar oleh sopir mereka. Nanay bergegas keluar tanpa basa-basi lagi kepada Bubu, layaknya biasa. Sedangkan Bubu yang menyaksikannya, semakin tak habis pikir kepada Rean.
****
Malam ini, setelah terjaga dan mondar-mandir di depan tempat tidur, Bubu yang tidak tahan, nekat menghubungi Rean. Bubu menelepon kontak Rean dengan emosi yang sangat sulit Bubu redam.
“Assalamualaikum, Mas?” Suara Rean dari seberang, terdengar menahan kekhawatiran.
Bubu yang bahkan masih mengenakan kemeja lengan panjang warna merah hati, kemeja yang masih sama dengan kemeja saat ia mengunjungi resepsi pernikahan tadi, langsung mendengkus kesal.
“Semuanya baik-baik saja, kan, Mas? Nanay, … baik-baik saja, kan?”
Bubu memaklumi kekhawatiran Rean, apalagi kini memang sudah lewat pukul dua belas malam.
“Kapan kamu ada waktu? Besok, kamu ada waktu? Aku ingin bertemu,” tanya Bubu tegas tanpa bisa menyembunyikan kemarahannya.
“B-besok, Mas? O-oke, Mas. Di mana?”
Acara pertemuan langsung dijadwalkan dan seketika disepakati baik oleh Bubu maupun Rean.
Setelah kembali mondar-mandir sambil menghela napas pelan, Bubu masih belum bisa mengontrol dirinya. Ia tak bisa mengakhiri kekesalannya terhadap Rean, terlepas dari Bubu yang tak bisa berhenti mengkhawatirkan Nanay.
Setelah sampai terpejam pasrah sambil mengembuskan napas panjang, Bubu melempar asal ponselnya ke tengah-tengah tempat tidurnya. Dan dengan langkah tergesa, ia keluar dari kamar. Bubu sampai membiarkan pintu kamarnya terbuka begitu saja. Tentunya, yang menjadi tujuannya tak lain pintu kamar di sudut seberang selaku pintu kamar Nanay. Tanpa mengetuk pintu lebih dulu, Bubu langsung memutar knop pintu.
Rasa perih mendadak memilin ulu hati Bubu, dikarenakan tak seperti biasa, Nanay sampai mengunci pintu kamarnya. Jantung Bubu seolah mencelis karenanya. Dan setelah sempat terdiam cukup lama, Bubu nekat mengetuk pintu kamar Nanay.
“Nay, … kamu belum tidur, kan? Nay, tolong buka pintunya. Mas mau ngobrol bentar,” tutur Bubu sambil mengetuk pelan pintu kamar Nanay.
****
Di dalam kamarnya, di atas sajadah yang masih tergelar di sebelah tempat tidur, mengenakan mukena warna putih, Nanay masih terisak-isak. Tampak beberapa bagian sajadah yang basah oleh air mata Nanay.
Nanay yang sampai gemetaran menahan tangis memang mendengar suara ketukan pintu berikut suara Bubu yang menyertai, tapi seperti keputusannya, Nanay tidak mau memperpanjang apalagi memperkeruh keadaan.
Nanay sungguh menyerahkan semuanya kepada Sang Pemilik Kehidupan, tanpa terkecuali mengenai hubungannya dengan Rean. Karena meski ia dan Rean yang sudah memutuskan untuk bertaaruf memang jarang bertemu, Nanay percaya, seandainya ia dan Rean berjodoh, bagaimanapun caranya, Tuhan pasti akan menyatukannya dengan Rean. Tuhan akan merestui hubungannya dan Rean.
“Jika Mas Rean jodohku, dekatkanlah kami apa pun yang terjadi. Namun jika kami memang tidak berjodoh, berikanlah kami jodoh terbaik tanpa harus saling melukai,” batin Nanay yang kemudian terpejam pasrah hingga air matanya berlinang secara bersamaan.
Kedua tangan Nanay menahan erat dadanya. Di sana, masih terasa sangat sesak, sangat sakit.
****
Di depan pintu kamar Nanay, Bubu masih terjaga. Namun lama-lama, Bubu menjadi menunduk loyo. Punggungnya menyandar di tembok sebelah pintu.
“Ya Alloh … aku gagal. Aku kecolongan.” Bubu terpejam pasrah. “Aku benar-benar gagal jadi kakak yang baik untuk Nanay.” Dan Bubu yang masih berbicara dalam hati, refleks mendelik seiring aroma maskulin yang ia dapati dari anak tangga di sebelahnya.
Persis seperti dugaan Bubu seiring jantungnya yang berdetak lebih kencang bersama kemarahan yang kembali menyala. Iya, Chen. Mengenakan jaket kulit warna hitam dan agak kedodoran, pria muda itu kebingungan dan nyaris kabur kembali turun.
“Kamu beneran nekat balap liar lagi, Chen?” tegas Bubu lirih. Rasanya, dari ubun-ubunnya mendadak mengeluarkan banyak asap seiring emosinya yang seketika tersulut.
Chen yang sudah memunggungi Bubu, meringis, kemudian menatap Bubu sambil tersenyum tak berdosa. “Dikit, Mas.”
“Dikit apanya?” tegas Bubu masih menggunakan suara lirih.
Sembari melangkah tergesa, Bubu mengamati Chen yang kali ini mengenakan pakaian serba hitam, dari ujung kaki hingga ujung kepala. Kaki kanan Chen yang tetap tertekuk, membuat Bubu menaruh perhatian lebih. Segera tangan kanannya meraih salah satu tangan Chen. Bubu membimbing Chen untuk meninggalkan anak tangga. Kembali, seperti yang Bubu curigai, kaki kanan Chen memang bermasalah. Chen tak hanya melangkah dengan terseok, melainkan pincang.
“Ini kenapa lagi?” lirih Bubu mulai merasa frustrasi.
Dunia Bubu memang selalu mendadak jungkir balik di setiap ia menghadapi kenakalan Chen. Chen yang begitu menyukai kehidupan bebas tanpa terkecuali dunia balap liar yang selalu membuat Fina nyaris jantungan. Padahal, usia Bubu dan Chen hanya terpaut sekitar dua tahun. Namun, mendidik sekaligus mengarahkan Chen untuk menjadi pria yang lebih bertanggung jawab, sangatlah sulit.
“T-tadi kan aku menang … menang lagi … tapi anak-anak sebelah enggak terima, dan pas di perjalanan pulang, mereka mengeroyokk aku,” ucap Chen sambil menunduk menyesal.
Mendengar itu, Bubu langsung kebas. Napasnya memburu seiring ia yang menjadi mundur dengan loyo. “Kerroyok? Chen … di-keroyok?” batin Bubu merasa semakin syok.
Setelah menjadi sibuk mengatur napas sambil menunduk, Bubu mendapat teguran dari Chen.
“Mas, enggak apa-apa, kan?” ulang Chen sambil melongok, menatap wajah Bubu dengan wajah tak berdosa.
“Enggak apa-apa gimana? Mas bahkan sampai gemetaran lemas begini apalagi besok, papah mamah pulang. Sedangkan kakimu …?” balas Bubu yang memang sulit untuk benar-benar marah kepada Chen maupun adik-adiknya yang lain.
“Ya sudah, Mas ambil es dulu buat kompres kaki kamu!” sergah Bubu sambil buru-buru berlalu.
Menjadi anak tertua, membuat Bubu merasa bertanggung jawab terhadap masa depan keluarganya. Ibaratnya, Bubu merasa menjadi kepala keluarga menggantikan peran Rafael papahnya. Dan Bubu akan melakukan yang terbaik dalam menjalankan tugasnya.
“Ini yang ada di depan mata, enggak tahu yang jauh di sana. Semoga, Edel baik-baik saja.” Bubu terus berjalan tergesa dan segera mengambil baskom berukuran besar untuk menampung es batu, dari kulkas.
Bersambung ....