Irawan menyerah juga dengan tawaran Andi untuk mencari tahu langsung tentang keberadaan Fawnia. Dari pada hanya berdiam diri, menebak-nebak tanpa pasti atau bahkan sampai tak fokus dengan segala sesuatu yang dikerjakannya seperti kemarin.
"Cukup kasih gue waktu dua hari, gue bakal kasih informasi lengkap tentang gadis ini." seru Andi dengan nada serius.
"Ya udah sana kerjakan nggak pake lama." Irawan mengibaskan tangan kanannya mengisyaratkan agar Andi segera melaksanakan tugasnya.
"Kerjaan gue?"
"Nanti biar dikerjakan sama Sherly."
Sherly adalah nama asisten baru yang diperbantukan untuk mengerjakan pekerjaan Andi secara umum. Sedangkan Andi lebih merujuk pada jadwal Irawan yang berhubungan dengan perusahaan lain.
"Oke gue cabut dulu kalau gitu, Bos." pamit Andi lantas melesat di balik pintu ruang kerja Irawan.
Hanya melirik sekilas ke arah pintu yang kembali tertutup. Irawan kembali menatap tumpukan berkas yang harus ia periksa dan tandatangani. Namun pikiran pria itu menerawang jauh untuk menerka di mana keberadaan Fawnia.
Acara keluarga yang seperti apa hingga membuat perempuan cantik berambut panjang itu lama tak muncul di salon. Bepergian ke mana kah Fawnia? Atau mungkin ... jatuh sakit kah dia? Semua pertanyaan-pertanyaan itu hanya mampu berkelebat di benak Irawan tanpa berani ia ajukan lebih lanjut. Bahkan terhadap sang mama yang sepertinya menyadari perubahan suasana hati sang putra, Irawan tak sedikitpun bercerita. Pria itu terlalu lelah jika l0 dihadapkan dengan rentetan pertanyaan dari mamanya yang dijamin akan berlangsung lama.
Dua hari yang diminta Andi, Irawan habiskan dengan menyibukkan diri dalam tumpukan pekerjaan. Pertemuan berbalut bisnis ia datangi seorang diri tanpa mengajak Sherly, sekretaris keduanya yang tak terlalu dekat dengan Irawan. Panggilan dari Hanami tetap ia penuhi, dengan harapan bisa mencuri sedikit informasi tentang gadis yang ia cari.
"Bos," panggil Andi begitu melihat sang atasan membukakan pintu apartmentnya.
"Masuk sendiri kan bisa, sok nggak tau pin smartlocknya aja. Ckk, manja!" tukas Irawan setelah membiarkan Andi mengekor di belakangnya.
Hampir jam sepuluh malam ketika Andi mengabarkan pada Irawan bahwa ia sudah mendapatkan semua informasi valid tentang sosok perempuan yang dicarinya, Fawnia. Namun, karena rasa penasaran sang atasan yang semakin tak tertahan, Andi harus rela jam malamnya terganggu lantaran IRawan memerintahkannya untuk datang ke apartmennya sesegera mungkin.
“Bukannya manja, Bos. takutnya kalau malam-malam langsung nyelonong masuk, dikira maling nyasar. Gimana sih?” gerutu Andi.
“Jadi gimana?” Irawan tanpa basa basi langsung menyerukan ketidaksabarannya, saat duduk di ruang tengah apartment.
Menghela napas pelan, Andi nampak ragu untuk menyampaikan hasil temuannya selama dua hari ini. Bukan karena takut, melainkan khawatir akan membuat kecewa sang atasan yang selama ini terlanjur menggenggam harapan terlalu tinggi.
“Kenapa malah diem? Lo nggak berhasil dapetin info soal Fawnia?” ulang Irawan menegakkan posisi duduknya.
“Bukan.” jawab Andi singkat.
“Terus?”
“Janji satu hal dulu, sebelum gue kasih tau semuanya?”
“Janji apa?”
“Jangan patah hati berkepanjangan setelah denger kabar yang mau gue sampaikan.” seru Andi dengan nada serius.
Irawan mengernyitkan keningnya bingung. Namun sedetik kemudian ia menyadari sesuatu. Satu hal di luar kuasanya yang selama ini terlewatkan begitu saja saat ia mulai goyah karena terpesona dengan aura Fawnia.
“Kenapa harus gitu?”
“Janji dulu, Bos!” desak Andi.
“Ya, ya, ya. Gue janji. Ckk, kek anak kecil aja.” geram Irawan namun akhirnya setuju juga dengan permintaan aneh sekretarisnya. “Kenapa Fawnia belakangan ini jarang ke salon? beberapa kali gue lewat bahkan berhenti di lama di sana di hari lain. Dia juga gak kelihatan sama sekali.”
“Karena memang nggak memungkinkan seorang pengantin wanita, bekerja di hari pernikahannya.” jawab Andi lantas mengulurkan ponsel pintarnya. Di mana layar gawai tersebut memperlihatkan foto Fawnia dalam balutan kebaya berwarna putih gading yang sangat anggun. Wanita cantik itu tengah tersenyum sangat cantik didampingi beberapa teman wanitanya yang menjadi bridesmaid.
“Pengantin?” ulang Irawan lirih lantas mengambil ponsel Andi yang diletakkan di depannya. “Menikah.”
Memberi satu anggukan mantap, Andi lantas mengamati perubahan eksprei di wajah atasannya. Dari yang sebelumnya menunjukkan raut wajah tak sabar penasaran, kini berubah menjadi pias bahkan cenderung pucat lantaran dirundung kekecewaan. Gadis manis yang mampu menggetarkan hatinya lagi, ternyata sudah dimiliki oleh orang lain.
“Betul. Fawnia Afsheen, pemilik Dimaya Salon and Spa itu, baru melangsungkan pernikahannya tiga hari yang lalu. Dan sekarang ia sedang berada di Labuan Bajo untuk menghabiskan waktu bulan madu dengan suamianya.” jelas Andi mendetail tanpa diminta.
Mengeratkan genggaman tangannya di ponsel sang sekretaris. Irawan menunduk dalam lantas menggeleng seolah tak percaya. Benih-benih perasaan menyenangkan itu baru saja tumbuh subur di dalam relung hatinya, namun malam ini? Semuanya hancur tak bersisa.
“Dan, kalau lo butuh tau siapa suami dari Fawnia, pria itu tak lain adalah Di—”
“Cukup!!” Irawan melemparkan asal ponsel Andi ke atas meja. “Gue nggak mau tau soal pria itu. Jangan sampai gue tau.” tegas Irawan sambil mengusap kasar wajahnya dengan kedua telapak tangan.
“Tapi, Bos ….”
“Gue cuma mau tau info tentang Fawnia. Bukan orang lain yang berhasil menikahinya.”
“Tapi pria itu—”
“Lo boleh pulang, Ndi. Sudah terlalu malam.” pungkas Irawan lantas bangkit berdiri menuju kamar pribadinya. Langkahnya gontai, hatinya remuk, harapannya runtuh, pikirannya bercabang kemana-mana. Dan hal yang ia butuhkan saat ini adalah … sendirian.
Menatap iba pada atasan sekaligus sahabatnya, Andi tak punya pilihan lain selain menuruti perintah lelaki jangkung yang hampir tiba di depan pintu kamarnya itu.
“Oke, gue pulang kalau gitu. Elo istirahat aja dulu Bos. Tenangin diri.” seru Andi saat mengambil lagi ponselnya yang teronggok di atas meja.
“Handle kerjaan di kantor Ndi, besok dan beberapa hari ke depan gue nggak masuk.” sambung Irawan sebelum menutup pintu kamarnya kasar.
***
Padahal Irawan tak pernah kenal dengan Fawnia sebelumnya. Jangankan kenal, melihatnya pun baru beberapa kali saat mengantarkan sang mama untuk perawatan di salonnya. Berbincangpun baru hitungan jari, itu pun hanya perbincangan singkat yang sarat dengan basa-basi semata. Tak pernah dekat, tak pernah saling tahu kehidupan masing-masing. Tapi entah kenapa bayangan perempuan cantik itu sampai saat ini masih terus saja menganggu pikiran Irawan.
Rasanya susah sekali menghilangkan bayangan wajah cantik Fawnia yang tersenyum manis di hari pernikahannya yang entah dengan siapa. Irawan benar-benar tak peduli dan tak mau tahu siapa lelaki beruntung itu. Cukup sudah ia merasa tumbang karena perasaannya hanya bertepuk sebelah tangan. Ia tak ingin remuk karena cemburu lagi setelah tahu siapa lelaki yang berhasil mempersunting gadis pujaannya itu.
Mengurung diri selama lebih dari satu minggu di dalam kamar apartmentnya nyatanya tak mampu membuat Irawan kembali bersemangat seperti semula. Bahkan Hanami dan Andi sampai dibuat kelimpungan saat tiba-tiba tak bisa memasuki unit Irawan lantaran pria itu sengaja mengganti pin smartlock unitnya.
“Bos, apa perlu saya pergi ke Banyuwangi?” tanya Andi pada suatu siang saat berada di ruang kerja Irawan. Sudah satu bulan ini Irawan kembali bekerja, namun sinar matanya masih belum kembali bersemangat seperti semula.
“Ngapain ke Banyuwangi? Rasanya kita nggak ada kepentingan bisnis di sana.” jawab Irawan setelah beberapa detik memaku tatapan penuh tanya pada sekretarisnya.
“Bukan untuk perjalanan bisnis, Bos. Maksudnya … hmm, denger-denger dari si Lufti anak marketing, dia punya kenalan tukang pelet yang terkenal dan handal banget di kampungnya. Haruskah saya ke sana buat minta jampi-jampi biar si Fawnia itu kepincut sama Bos dan ninggalin suaminya.”
Map berisi berkas yang tadinya baru selesai ditutup Irawan, langsung melayang di udara. Tepat mengenai wajah sekretarisnya yang malah meringis seolah tanpa dosa.
“Ngawur banget isi otak lo, Ndi. Idenya bener-bener di luar nalar orang waras, tau nggak!!” gertak Irawan menggelengkan kepala tak percaya.
“Habisnya sih … masih kayak robot sejak satu bulan ini. Di kantor bener-bener kayak mesin tanda tangan. Nggak pernah ngomong banyak kayak dulu selain pas rapat direksi. Emang patah hati banget ya Bos, ditinggal nikah pas sayang-sayangnya gitu?” sindir Andi sengaja agar bosnya yang satu ini sedikit tersadar.
“Ckk, pake diingetin segala deh. Gimana gue bisa lupa kalau sedikit-sedikit elo ingetin tentang hari itu, bahlul!!”
Dari tempatnya berdiri, Andi langsung mundur beberapa langkah dan mengkeret. Memasang ancang-ancang siapa tau Irawan akan melempar wajahnya dengan benda-benda lain di atas mejanya.
“Bukan bermaksud ngingetin Bos, cuma pengen bikin Bos sadar aja, kalau perempuan di muka bumi ini bukan dia seorang. Seorang Irawan Dwisastro gitu loh, sekali saja Bos sebut nama, cewek mana sih yang nggak bakalan takluk.”
“Sok tau banget, kalau gue maunya cuma sama dia gimana?”
Andi memicingnya mata curiga. “Bos nggak berencana jadi pebinor kan?”
“Pebinor apaan? kalo ngomong pake bahasa manusia aja, please.”
“Ckk, nasib punya Bos kurang gaul ya gini nih,” gumam Andi lirih. “taunya berkas bisnis sama meeting doang!”
“Pardon?” Irawan balik melirik sinis dan menajamkan telinga.
“Pebinor itu, perebut bini orang, Pak Bos.”
Mengerutkan keningnya sempurna, Irawan butuh sepersekian detik untuk memahami maksud dari sahabat sekaligus rekan kerjanya ini.
“Ngaco banget!! Sehancur-hancurnya gue karena patah hati, nggak ada istilah merebut pasangan orang lain dalam kamus hidup gue, Andi.”
“Good lah, mending tunggu jandanya aja kalau begitu ya.” sambung Andi mulai melebar kemana-mana. “Pasti pernah denger istilah, janda lebih menggoda kan? ya ... siapa tau nanti rejekinya Pak Bos, dapet Fawnia versi janda yang lebih ....”
Kali ini bukan hanya map tipis yang melayang ke udara, namun mouse wireless berwarna hitam keperakan yang berada di sebelah laptop Irawan, terbang tepat mengenai d**a sekretarisnya.
“Dijaga mulutnya kalau ngomong, Ndi. Lo doain Fawnia jadi janda? hah?”
“Ampun bos, khilaf!!” pungkas Andi lantas berjalan cepat menuju pintu keluar dengan seringai jahil yang masih menghias wajahnya. “Tapi yaa … kali aja ide saya jadi kenyataan!” sambung pria itu masih sempat berkelakar sebelum menutup pintu.
“Ide sesattt!!” pekik Irawan sampai bangkit berkacak pinggang.
***