Emely saat itu menganggukkan kepala, memang tak bisa dipungkiri bahwa memang kami sedang lapar. Aku tak tahu saat itu jam berapa, namun yang kutahu guntur menggelegar, walaupun hujan hanya gerimis.
"Ma, bukan kamar Adik?" Emely bertanya-tanys, sembari menggelengkan kepala.
"Bukan, sayang. Kita jalan-jalan, ya. Mama, ajak Kakak dan Adik ke rumah, Nenek. Tapi sayangnya hujan dan ada petir, Mama jadi takut, deh. Kita bobok sini dulu, ya?" ujar mama memberikan alasan ke Emely.
Aku melihat Emely yang saat ini tersenyum, sembari melahap roti yang diberikan kepadanya. Rasa kantuk kembali menderaku, walaupun Emely masih makan, aku memutuskan untuk berpamitan tidur terlebih dahulu.
"Ma, aku ngantuk. Kakak, tidur dulu, ya," ujarku sembari merebahkan badan di atas kasur.
"Iya, Kak. Tidur yang nyenyak," ujar mama.
"Met Bobok, Kakak," ujar Emely.
Aku memejamkan mata, tak perlu waktu lama langsung tertidur.
***
Entah, saat itu sudah pagi atau belum aku juga tak tahu. Aku terbangun kala mendengar mama sedang marah-marah.
"Ma." Aku mencoba memanggilnya, namun tak ada sahutan darinya.
Lalu, menoleh ke sampingku, yang mana Emely sudah tertidur pulas. Aku memutuskan untuk segera turun dari kasur dan menghampiri sumber suara mama. Aku berjalan menuju kamar mandi, sebab terdengar dengan jelas mama berada di sana.
Pintu kamar mandi terbuka, terlihat dengan jelas saat mama marah-marah dengan seseorang yang berada di telepon. Aku menatapnya dari luar kamar mandi.
"Kami yang tega berbohong kepadaku, jangan menyelak dengan dalih salah paham. Muak aku mendengarnya!" ujar mama saat itu sembari berbalik badan ke arahku.
Dengan cepat mama memutuskan panggilannya, lalu menghampiriku.
"Kakak, kok bangun. Ini masih malem, loh. Sekarang pukul 01:35 WIB, tidur lagi, yuk," ajak mama dengan nada yang begitu lembut.
"Mama telepon, papa?" tanyaku.
Mama hanya menjawab dengan tersenyum dan menganggukkan kepala.
"Papa kemarin pagi, sebelum kerja video call denganku, Ma. Mama ingat nggak, saat aku bilang ponselnya berbunyi dan Mama menyuruhku untuk menjawabnya untuk memberitahukan kalau mama sedang sibuk? Itu yang telepon, papa," ceritaku.
"Papa dengan siapa saja, Kak? Apa Kakak, tahu?" tanya mama lagi, sembari mengajakku duduk di sofa.
"Sama teman-temannya, banyak kok, Ma. Kata Papa, kalau pulang kerja, nanti akan memberitahu Mama kalau hari minggu kita diajak papa ke sana," jawabku.
Wajah mama terlihat berubah, tak tahu apa yang sedang dirasakannya.
"Papa, nggak hanya dengan Tante Gita?" tanya mama lagi.
Aku menggelengkan kepala, sembari menjawab, "Nggak, Ma. Papa saja saat telepon sedang duduk santai dengan beberapa temannya, sembari menunggu sarapan itu. Bahkan Papa memintaku, say Halo ke teman-temanya. Ada Om Romi juga, kok."
Setelah mendengarkan jawabanku, mama menghempaskan tubuhnya dengan kasar ke sofa. Lalu, menutup wajahnya dengan telapak tangan seperti sedang menyesali sesuatu.
"Ma, kenapa?" tanyaku.
Mama membuka wajahnya, kemudian melemparkan senyuman yang terlihat begitu terpaksa.
"Nggak apa-apa, sayang. Kita tidur lagi, yuk," ajak mama.
Aku tahu, mama saat ini sedang sedih tetapi hanya tak ingin berbagi denganku yang masih kecil. Aku hanya menuruti ucapan mama untuk segera tidur kembali. Walaupun sebenarnya di dalam hatiku juga terasa sedih, kala melihat kedua orang tuaku sedang bertengkar.
Dalam hatiku berkata, 'Ya Allah, aku takut untuk menjadi dewasa. Terlihat masalah hidup terus-menerus menghampirinya, biarkan aku dan Emely tetap seperti ini. Kami tak ingin tahu, masalah apa yang membuat mereka yang dewasa tiba-tiba bahagia, marah-marah dan sedih tanpa kami ketahui penyebabnya.'
Aku pun berbaring kembali di sebelah Emely, lalu segera kembali memejamkan mata. Walaupun sebenarnya aku tak mengantuk kembali. Namun, tak berselang lama, aku mendengar mama sedang menangis. Walaupun tak terdengar begitu jelas, namun aku tahu itu.
Aku tak bisa berbuat apa-apa, sebab alasan tak ingin mama kembali marah-marah denganku. Cukup lama, aku tak kunjung pergi ke alam mimpiku kembali. Mama pun sama, beliau tak kunjung tidur. Entah, seharian ini beliau sudah tidur apa belum aku juga tak mengerti.
Ponsel mama kembali berdering, seketika mama bangun dengan perlahan sebab takut anaknya bangun. Kali ini mama berbicara lebih lembut dari sebelumnya, namun masih terdengar sesenggukkan.
"Iya, tadi Sisca juga cerita, Pa. Maafkan Mama, iya ini biar Kakak nanti aku bangunin, buat bantu Mama untuk turun," jawab mama.
Aku tetap berpura-pura tidur sebab tak ingin mama tahu aku mencuri dengar perkataannya. Dalam hatiku berkata, 'Alhamdulillah, sepertinya papa dan mama sudah tidak bertengkar lagi.'
"Kak, bangun sayang," ujar mama sembari menggoyangkan badanku.
Aku pura-pura menggeliat dan menguap, lalu menjawab, "Sudah pagi, Ma?"
"Hehehe, belum sayang. Kita pulang, yuk. Papa lagi perjalanan ke sini," ujar mama.
"Benarkah?" tanyaku kegirangan.
"Iya, sayang. Mama gendong Adik lagi, ya. Kamu bantu bawakan barangnya," pinta mama.
Aku hanya tersenyum, sembari meraih kantong kresek yang tadi saat ke sini aku bawa. Aku dengan langkah pasti keluar dari kamar, sebab sudah merasa bahagia papaku akan datang menghampiri kami.
"Ma, jam berapa?" tanyaku.
"Nggak tau, Kak. Mama tadi nggak sempet lihat," ujar mama saat kami di dalam lift. Saat lift mulai terbuka, terlihat dari kejauhan ayah berjalan menuju arah kami.
"Papa!" teriakku, sembari berlari menghampiri papa.
Papa membentangkan tangan, tanda juga ingin memelukku. Lalu, memeluk papa dengan erat, seakan-akan tak ingin terpisahkan.
"Kita pulang, Pa. Aku ikut, Papa," ujarku sembari menatap ke arah mama. Ternyata mama menganggukkan kepala, tanda mengiyakan ucapanku.
***
Mulai hari itu, hubungan mama dan papa normal seperti biasanya. Tak pernah mendengar mereka bertengkar lagi, hingga suatu hari saat aku istirahat sekolah, aku di panggil ke ruang kepala sekolah sebab ada hal penting dan mengharuskanku untuk pulang.
Aku seketika panik, pikiranku melayang pasti ada apa-apa dengan papa atau pun mama.
"Ada apa, Bu?" tanyaku ke guru kelasku, saat mengantarkanku ke ruang kepala sekolah.
"Dijemput, Tantemu. Kurang tahu, ada kepentingan apa, Sisca," jawab bu guru.
Saat aku masuk ke dalam ruangan, betapa terkejut kala melihat Tante Gita sudah menggendong Emely saat menjemputku. Seketika aku berhenti sejenak, dalam hatiku berkata, 'Ini wanita yang membuat mama dan papa bertengkar waktu lalu, kan?'
"Dia bukan Tanteku," ujarku.
"Sayang, kita pulang yuk. Mama masuk rumah sakit, sehingga Tante yang harus menjemputmu," ujar wanita itu.
Seketika jantungku berdegup kencang kala mendengarnya. Aku syok, sehingga terperangah tak bisa mengucapkan satu patah kata apapun. Tak terasa air mataku menetes ke pipi.
"Sisca, yang sabar. Semoga cepat sembuh," ujar bu guru.
"Iya, sayang. Kita cepat ke sana, mama sudah menunggu kalian," ujar Tante Gita dengan lembut.
Aku saat itu, hanya menurut apa kata Tante Gita. Aku berjalan dengan digandeng menuju mobilnya.
"Cepat, masuk," ujar Tante Gita, namun nada bicaranya berubah tak selembut tadi.
Lagi-lagi aku hanya nurut, sebab merasa khawatir dengan kondisi mama dan cepat-cepat ingin mengetahui kondisinya saat ini. Aku tak tahu seberapa jauh perjalanan yang kami tempuh. Yang kuasakan hanya jauh dari sekolah, tetapi tak ada sedikit pun di dalm hati perasaan ingin bertanya sampai kapan? Atau ke mana? Dalam hatiku hanya berpikir bagaimana keadaan mamaku.
Saat aku melihat ke arah Emely pun dia sudah tertidur, mungkin lelah sebab terlalu lama perjalanan kami. Cukup jauh kami mengendarai mobil ini, hingga akhirnya berhenti di suatu rumah lumayan besar tetapi lingkungannya tergolong sepi.
"Di mana, Tante?" tanyaku.
"Nggak usah banyak tanya, ayo ikut," ajak wanita itu sembari menggendong Emely dan menarik tanganku dengan kasar.
Aku pun lagi-lagi hanya nurut perkataannya. Rumah ini, bangunannya besar, berlantai dua namun tak ada penghuninya. Tante Gita membawa kami ke atas menuju satu kamar, yang tak tahu ada apa di sana. Dalam hatiku berharap ada mama di sana. Namun, saat pintu terbuka, hanya hamparan ruangan kosong tak ada barang apa pun.
"Masuk!" ujar Tante Gita sembari mendorongku.
Lalu beliau meletakkan Emely di lantai.
"Kalian diam di sini, sampai benar-benar ada yang menjemputmu," ujar Tante Gita.
Brak!!
Pintu ditutup dengan keras.
"Tante, buka. Mama di mana?" tanyaku sembari menggedor-gedor pintu.
Namun, tak ada respon dari Tante Gita, malah Emely yang terbangun karena mendengar suaraku.
"Kak, kita di mana?" tanya Emely.
Aku menoleh ke arahnya, kemudian bergegas memeluknya.
"Nggak tahu, Dek. Kita di bawa Tante Gita ke sini," jawabku.
"Mama ke mana?" tanya Emely.
Aku hanya bisa menjawabnya dengan menggelengkan kepala, sebab tak tahu mama berada di mana saat ini. Kami hanya bisa berdiam dan sesekali mengintip suasan di luar rumah ini dari jendela.
****
Hingga menjelang sore pun tiba. Emely menatapmu dengan wajah yang layu.
"Kak, aku lapar," ujar Emely.
Aku pun merasakan hal yang sama, tetapi tak ingin mengeluh kala di depan adik kesayanganku ini. Terpaksa aku mengambil air dari wastafel yang ada di kamar ini, kemudian meminta Emely untuk meminumnya.
"Sink, Dek. Minum air ini dulu, ya. Nanti kalau sudah keluar, kita cari makan," ujarku.
Emely hanya nurut apa yang aku katakan, sedangkan aku mau nggak mau harus meminumnya juga. Setelah itu, aku mendengar suara mobil berhenti tetap di pekarangan rumah ini.
Aku berlari menuju jendela lagi, saat itu melihat Tante Gita turun dari mobil sembari membawa kantong kresek lumayan besar. Dalam hatiku berkata, 'Alhamdulillah, akhirnya bisa makan juga.'
Sebenarnya nggak tahu apa yang dibawa wanita itu, hanya berharap ada makanan yang bisa untuk kami makan saat ini. Tanpa kusadari saat serius melihatnya, ada Emely di dekatku yang membuatku terperanjat.
"Ya Allah, Dek. Kaga kaget," ujarku sembari memegang d**a.
"Laper, Kak. Mau makan," ujar Emely dengan memelas.
"Sebentar, ya. Sebentar lagi kita pasti diberi makan," ujarku mencoba menenangkan Emely.
Aku berjalan menuju pintu, lalu berteriak, "Tante, keluarkan kami dari sini. Kami lapar."
Aku berteriak seperti itu berulang kali, hingga akhirnya pintu ini terbuka. Terlihat wanita itu di belakang pintu dengan wajah marahnya, sembari melemparkan bungkusan.
"Diam! Itu, makan. Dasar merepotkan," ujar Tante Gita.
Emely segera berjalan ke arah bungkusan itu, sedangkan aku mencoba melawan wanita ini.
"Kalau nggak mau merepotkan, biarkan kami pulang! Nggak ada yang memintamu untuk menjemput kami!" gertakku.
Plak!!
Tamparan keras mendarat tepat di pipi kananku.
"Dasar! Kalian diam," teriak wanita itu sembari kembali menutup pintunya dengar rapat.
Aku yang merasa kesal berubah jadi terharu, kala melihat Emely makan dengan begitu lahap. Aku ambil posisi duduk di sampingnya.
"Kak, makan," ujar Emely.
"Iya, Dek. Kamu makan dulu, aja. Kalau kamu habiskan nggak apa-apa, Kakak belum begitu lapar," jawabku mencari alasan.
Emely memaksaku untuk ikut makan bersamanya. Akh memutuskan untuk ikut bergabung dengannya, namun saat baru sesuap memakannya malah wanita itu datang langsung menarik rambutku.
"Lepaskan!" teriakku.
Emely hanya menatapku, dengan wajah yang bingung sebab tak tahu harus berbuat apa. Dia menarik rambutku dengan kuat hingga aku terjatuh, tanpa belas kasian tetap melakukan hal yang sama.
"Kakak!" Emely berteriak-teriak memanggil namaku, saat melihatku seperti ini.
"Kenapa? Apa salahku?" tanyaku pada wanita itu.
Wanita itu, seakan-akan dirasuki oleh setan yang membuatnya kalap mata.
"Hahaha, salahmu kalian hadir di dunia ini! Kenapa kalian hidup? Hah!" cecar Tante Gita.
Aku merasa bingung, kenapa dengan kami. Aku tak pernah melakukan hal sesuatu, yang membuat Tante Gita terluka.
"Kenapa? Bingung?" tanya Tante Gita.
Aku hanya menganggukkan kepala, walaupun rambutku masih terasa sakit.
"Mama kamu yang merebut Papamu dari tanganku. Kenapa kalian hadir, membuat aku semakin tak bisa memisahkan mereka berdua! Sudah berkali-kali, aku mencoba membunuh kalian. Kenapa kalian masih bertahan hingga saat ini! Hah!" pengakuan Tante Gita.
Emely berlari dan memeluk kaki, sembari menangis sesenggukkan.
"Kakak, Tante jahat! Lepaskan Kakakku," ujar Emely sembari memukul-mukul ke Tante Gita. Dengan sekali tendang membuat Emely jatuh tersungkur ke lantai.
Seketika, aku sebagai kakaknya tidak terima dengan perbuatannya. Aku mencoba kembali berdiri dan mendorong wanita ini dengan sekuat tenaga.
Brakk!!
Tubuhnya mengenai pintu kamar mandi. Wanita itu bergegas berdiri dan menamparku dengan keras, mencubit, memukul sesuka hatinya. Aku pun tak mau kalah, tetap mencoba meronta-ronta agar terlepas dari wanita itu.
Tanpa banyak kata, dia kembali menarik rambutku dengan keras, dengan hitungan detik membenturkan kepalaku ke temboh hingga beberapa kali. Seketika aku jatuh tersungkur dan kehilangan setengah kesadaranku. Aku masih bisa melihat apa yang diperbuat wanita itu.
Walaupun dengan pandangan kabur, aku melihat wanita itu menarik Emely ke kamar mandi. Dia berteriak-teriak dan menangis sekencang yang dia mampu. Wanita itu mencelupkan kepala Emely ke dalam bak mandi, yang mana dari tempatku tersungkur terlihat jelas.
"E-emely," ujarku tertarih.
Tanpa belas kasihan, Tante Gita tetap mencelupkan kepala Emely ke bak mandi hingga tubuhnya terkulai lemas. Aku tak tahu, adikku sudah meninggal atau hanya pingsan. Tante Gita meletakkan tubuh mungilnya di lantai kamar mandi dan dia kembali berjalan menghampiriku.
Dengan aku yang tak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa meneteskan air mata. Dari keningku terasa ada sesuatu yang mengucur dari sana. Tante Gita yang menyadari aku masih bisa melihat apa yang dia lakukan, bergegas kembali menarik rambutku kembali. Dia benturkan kepalaku, hingga aku tak tahu rasa sakit yang seperti apa saat itu kurasakan.
Berteriak sudah tak mampu, bahkan kesadaranku sudah hampir hilang sepenuhnya. Terakhir kalinya aku bisa mendengar Tante Gita tertawa sembari menghujatku.
"Kalian anak wanita jal*ng, memang pantas untuk mati!" kata Tante Gita.
Saat setelah itu, aku sudah tak tahu apa pun.
****
Pov Keyra.
"Ya Allah, tega banget, sih. Itu orang apa iblis?" tanyaku ke hantu Sisca.
"Kamu buat sebutan sendiri, deh. Sepertinya dia itu, iblis yang menyamar.