"Kak, nanti bisa pinjam mobilnya nggak, ya?" tanya Om Alva.
"Mau ke mana? Pakai motor punya sendiri nggak bisa, ya?" jawabku dengan ketus.
"Mau ke mana, sayang?" tanya Tante Dinar.
"Tadikan aku sudah bilang, mau jemput adikku yang datang hari ini. Dia di bandara, kasihan kalau pakai motor. Kalau nggak boleh, ya nggak apa-apa, sih,' ujar Om Alva.
Aku menyunggingkan senyumku, sebab merasa ada kebusukan yang sedang ia tutupi dengan mulut manisnya itu.
"Nanti pakai mobilku saja, sayang. Punya Kak Andre, mau dipakai nanti," jawab Tante Dinar.
"Makasih, ya sayang," ujar Om Alva.
***
Sesampainya di rumah, Om Alva tak masuk ke rumah. Dia hanya menunggu Tante Dinar memberikan kunci mobilnya ke dia. Kemudian dia pergi entah ke mana.
Kami pun masuk, seperti biasa aku bergegas melangkahkan kaki hendak ke kamar.
"Rara, dibiasakan cuci tangan, cuci kaki dulu," tegur mama.
Aku menoleh dan tersenyum ke mama. Kemudian berjalan menuju kamar mandi. Seperti biasa, aku melihat sosok wanita duduk di atas secara mengambang di kamar mandi ini. Dia berambut panjang menutup sebagian wajahnya yang pucat dan dari sela-sela matanya keluar darah kehitam-hitam.
Aku dengan santainya mencuci tangan di wastafel, sembari mencuci muka. Tiba-tiba suara wanita itu terdengar mengerang.
"Capek turun, jangan berisik!" ujarku sembari melangkahkan kaki keluar kamar mandi, sebab sudah selesai.
Aku memasang wajah yang cemberut, malah membuat Tante Dinar bertanya-tanya.
"Kebiasaankan, tiap keluar kamar mandi selalu saja cemberut. Kenapa?" tanya Tante Dinar.
"Biasa, tuh orang mengerang bikin berisik. Udah tahu capek, nyantol mulu di atas kaga turun," jawabku dengan ketus, sembari melangkahkan kaki menuju kamarku.
Tante Dinar malah tertawa terbahak-bahak, seolah-olah mengejekku.
"Kelahi terus! Sama setan aja marah-marah, dasar bocah!" ujar Tante Dinar, namun tak kuhiraukan.
***
Oh iya, rumahku ini beda dengan rumah lama nenek. Kami pindah ke kota saat kakek memboyong nenek dan mama saat hamil aku. Rumah kami sebenarnya rumah yang lama sudah nggak ditempati dan dijual ke kakek. Kebetulan, rumah ini peninggalan orang tua dari teman kakek itu
Aku di rumah ini tidur sendiri sejak aku usia tiga tahun. Sebab mama dan papa ingin aku menjadi anak yang pemberani, awalnya lihat hantu dua anak kecil yang ada di kamarku bertanya-tanya, sebab tak tahu mereka siapa. Tapi lama-kelamaan sudah menjadi hal biasa buat aku.
***
Saat aku masuk dan duduk di kasur, mereka berdua menatapku.
"Hai Emely, hai sisca," sapaku.
Mereka kakak beradik sekitar usia sembilan dan enam tahun. Tepatnya Sisca adalah kakaknya, sedangkan Emely adiknya.
Mereka yang sebelumnya menunduk, saat ini menatapku secara bersamaan. Mereka layaknya anak pada umumnya, namun terlihat dan pucat.
Bagian tubuh Sisca di bagian tertentu ada luka lebam. Sedangkan Emely mulutnya membiru dan wajahnya terlihat lebih pucat dari ada Sisca.
"Halo, Keyra," sapa Sisca.
"Sini," ujarku.
Kami juga berinteraksi dan bermain layaknya anak seusia kami berdua. Di antara mereka berdua Sisca yang mudah di ajak komunikasi, sedangkan Emely hanya berbicara saat dia mau saja.
"Dari mana?" tanya Sisca terbata-bata.
"Beli cat air. Oh iya, bentar aku ambil dulu," ujarku.
Aku kembali beranjak dari tempat dudukku, berjalan menuju luar hendak mengambil cat air. Kemudian kembali masuk ke dalam kamar dan duduk di sebelah Sisca yang saat ini duduk di sofa di kamarku.
"Kita gambar, yuk," ajakku.
"Gambar apa?" tanya Sisca.
Aku memikirkan sesuatu, mencari hal agar bisa ku gambar.
"Aku," sahut Emely.
"Baiklah, kamu diam di sana. Aku siapkan semua peralatanku," ujarku.
Aku menyiapkan beberapa alat gambarku mulai dari kanvas hingga cat air.
"Main," ujar Emely.
Aku menatapnya bertanya-tanya.
"Maksudnya?" tanyaku.
"Aku main, papa," ujar Emely lagi.
Aku bergantian menatap ke arah Sisca.
"Gambar dia lagi main sama papa seperti dulu," ujar Sisca menjelaskan.
Aku menganggukkan kepala, sembari menjawab, "Bantu aku, ke alam pikiranmu, ya. Aku buat seperti yang kamu mau."
Aku pun saat ini melihat Emely tersenyum. Nggak biasanya dia tersenyum seperti ini. Aku bahagia kala melihat dia tersenyum, sebab selama ini dia tak sebahagia ini.
Dalam pikiranku terlintas, saat Emely sedang duduk di atas tikar bersama Sisca, satu perempuan dan laki-laki. Mungkin laki-laki itulah papanya.
"Papamu?" tanyaku.
Mereka berdua mengangguk secara bersamaan. Perlahan aku mulai membuat sketsa tubuh Emely dan papanya sedang bermain. Wajah Emily yang bulat, berkuncir dua dan berkulit putih mengenakan dress anak-anak seusianya membuat dia terlihat begitu lucu.
"Siapa wanita itu?"
"Mama?" tanya Sisca.
Aku menggelengkan kepala.
"Dimana?" tanya Sisca.
Rumah keluarga Sisca terlihat begitu besar dan halamannya luas. Mereka berdua merupakan anak orang kaya, sehingga tidak mustahil jika penampilannya selalu rapi dan berpakaian bagus.
Aku melukis semua orang yang ada di pikiranku. Terlihat keluarga kecil yang bahagia, namun dari kejauhan terlihat seorang wanita yang sedang mengintai mereka berdua. Wanita itu berdiri di balik pintu pagar rumah keluarga itu, mengenaskan rok hitam pendek selutut dan atasan blouse berwarna oranye.
Terlihat dari raut wajahnya, wanita itu tak suka melihat keluarga ini tersenyum bahagia. Wanita itu, tinggi, putih, berambut lurus, pendek sebahu dan tanpa berponi. Lebih tepatnya, dia terlihat seperti polisi wanita yang berambut pendek seperti itu.
Wanita itu cantik, tapi sayang wajah culasnya membuat aku tak suka kala sekilas melihatnya. Aku mulai melukis secara perlahan wanita itu. Lalu membuat sketsanya dengan detail, agar Emely dan Sisca mengenalinya. Aku pun juga mewarna seperti apa yang terdapat di pikiranku itu. Tiba-tiba, saat melanjutkannya malah Emely berteriak.
"Pembunuh!" teriak Emely, sembari menunjuk ke arah lukisan yang kubuat.
"Pembunuh?" aku bertanya-tanya,sembari menatap Emely dan Sisca secara bergantian.
Terlihat Sisca menganggukkan kepala.
"Dia, pembunuh!" Emely terus-menerus mengucapkan hal yang sama.
Sisca terlihat mendekati adiknya, lalu memeluknya. Aku baru paham, jika hantu bisa berkelakuan seperti itu.
"Sisca, dia siapa? Kalian kenal?" tanyaku.
"Dia yang membunuh kami, memukul, membenturkan kepalaku hingga aku meninggal. Tetapi sebelumnya, dia malah membunuh Emely dengan cara menceburkan dia ke kolam renang di rumahku. Tetapi, saat papa datang, dia malah berbicara kalau lengah. Padahal sebenarnya tidak seperti itu," jelas Sisca.
"Kok bisa kalian kenal dia? Ceritalah!" pintaku.
Sisca sembari memeluk Emely, akhirnya menceritakan kisah hidupnya. Sudah bertahun-tahun aku berteman dengan mereka, tetapi baru kali ini Emely memintaku untuk menggambarnya. Mungkin itu cara dia, meluapkan sesuatu yang selalu mengganjal dalam hatinya.
***
Pov hantu Sisca.
Awalnya keluarga kita itu selalu bahagia, sebelum ke datangan wanita itu. Dia adalah teman kerja dari papa, seorang wanita cantik, tinggi dan putih. Namanya Gita. Namun, kelakuannya tak secantik raut wajahnya.
Mereka memang tak menjalin hubungan apapun, hanya sebatas partner kerja saja. Tanpa wanita itu menaruh hati sangat dalam ke papaku. Dia mencoba menyingkirkan kita satu-persatu, bahkan dia menggunakan cara memfitnah papa, agar mama membencinya.
Waktu itu, papa sedang kerja bersama wanita itu di luar kota. Mereka benar-benar bekerja dan di sana banyak orang tidak hanya mereka berdua. Saat itu, waktu mama sedang sibuk memasak, papa meluangkan waktu walau hanya sebentar untuk video call denganku. Tetapi, saat itu mama nggak tahu, namun malam harinya saat papa datang malah mama marah besar dengannya.
Mama cemburu besar dan bahkan sampai mama membawaku dan Emely pergi ke rumah nenek yang letaknya beda kota dengan kami.
"Kamu nggak mendengar, apa yang menjadi inti keributan mereka?" tanya Keyra merasa penasaran.
"Kalau nggak salah, waktu itu mama memperlihatkan foto papa dan wanita itu. Mama bilang, kalau papa membohonginya. Mama kira, mereka nggak benar-benar bekerja, hanya sebatas keluar untuk jalan," jawabku.
Kemudian aku melanjutkan cerita, saat itu mama benar-benar marah. Di luar hujan lebat, petir menyambar tak ada henti-hentinya, tapi mama nekat membawaku pergi dengan menaiki mobil saat itu juga. Mama melajukan mobil dengan kecepatan tinggi menuju luar kota, tempat nenek dan kakekku tinggal.
Mama menangis, sedangkan aku memangku Emely yang saat itu sedang tidur nyenyak. Kami berdua duduk di kursi bagian belakang. Sejauh perjalanan, mama hanya menangis dan sesekali mengumpat. Mama seakan-akan tak memperdulikan adanya aku dan Emely. Aku mau menenangkan beliau, tapi apa daya yang usiaku baru sembilan tahun tak akan dihiraukan.
Mama sesekali melihatku dari kaca.
"Sisca, nunggu apa kamu nggak tidur, hah? Cepat, tidur!" cecar mama.
Aku yang tak melakukan apapun kena imbas kemarahannya.
"Aku nggak ngantuk, Ma," ujarku.
"Jangan jadi pembangkang seperti papamu, nurut sama, Mama!" mama mengatakannya menggunakan nada tinggi.
"Iya, Ma," jawabku.
Aku pura-pura memejamkan mataku, walaupun sebenarnya rasa kantuk tak menderaku. Sepanjang perjalanan, untungnya Emely pintar tak rewel sama sekali.
Tak begitu jauh, mama memberhentikan mobilnya. Awalnya aku kira sampai, hingga aku tetap memejamkan mata agar mama tak lagi marah. Namun, malah terdengar mama keluar dari mobil. Perlahan aku membuka mata, mengintip apa yang sedang mama lakukan. Ternyata mama berhenti tepat di depan swalayan yang buka dua puluh empat jam.
Nggak terlalu lama mama masuk ke dalam sana, kemudian keluar kembali dengan menenteng kresek besar yang tak tahu berisi apa. Mama masuk ke dalam mobil dan melihatku yang tak tidur.
"Kakak nggak lapar?" tanya mama dengan lembut.
Namun, aku yang masih merasa ketakutan hanya menggelengkan kepala, tanpa mengeluarkan satu patah kata apapun.
"Maafkan Mama ya, Kak? Tadi mama kebawa emosi, sini peluk Mama," pinta mama.
"Emely tidur, takut dia terbangun," ujarku menolak kata-kata mama.
Mama membongkar kreseknya sembari berkata, "Oh, iya. Tadi Mama beli s**u dan roti, Kakak mau?"
Aku menganggukkan kepala sembari tersenyum, sebab aku juga merasakan lapar saat ini, sebab dari sore mama memasak tapi belum ada yang makan. Alasannya ingin menunggu papa pulang, sehingga aku dan Emely juga ingin menunggu papa walaupun mama dari awal menyuruh kami makan terlebih dahulu.
Mungkin mama merasa kecewa, saat dia capek-capek menunggu dan menahan lapar harus merasakan sakit kala papa dengan orang lain. Walaupun aku tahu, sebenarnya itu hanya kesalah pahaman belaka.
"Ma, kita masih lama sampai ke rumah nenek?" tanyaku sembari melahap makanan.
"Masih lama, Kak. Satu jam setengah, kita cari penginapan saja ya, kalau begitu," usul mama.
"Ikut apa kata mama aja, aku. Kasihan Emely, Ma. Dia juga belum makan dan pasti capek," ujarku.
"Iya, sayang. Kita jalan sekarang, ya. Maafkan Mama, harus melibatkan kalian," ujar mama.
"Iya, Ma," jawabku sembari tersenyum.
Setelah itu, mama segera melajukan mobilnya. Jaraknya cukup jauh dengan posisi kita berhenti tadi. Lalu, berhenti di satu hotel yang tak tahu nama kota atau pun desanya.
"Kita bermalam di sini ya, sayang. Bantu bawa makanannya, biar mama gendong Adik, ya," ujar mama.
"Iya, Ma," jawabku, dengan tersenyum.
Mama mengangkat Emely dari pangkuanku dan beliau juga menenteng tas yang berisi baju. Sedangkan aku, di beri mama kantong kresek belanjaannya tadi. Aku berjalan mengekor di belakang mama yang saat ini berhenti di tempat memesan kamar untuk kami. Entah apa namanya, aku tak begitu paham.
Setelah mendapatkan kunci, kita kembali berjalan menuju kamar. Sedari tadi aku mendengar ponsel mama yang terus-menerus berbunyi, mungkin papa sedang mencari kami.
"Ma, ponselnya bunyi terus ya sedari tadi?" ujarku saat berada di lift.
"Biarkan, sayang. Yang penting Kakak sama Adik bisa istirahat malam ini," jawab mama.
"Ma, aku besok nggak sekolah, dong?" tanyaku.
Mama terdiam seketika, tak langsung menjawab.
"Izin dulu ya, Nak. Maaf, jika mengganggu sekolahmu," jawab mama.
Aku hanya bisa menganggukkan kepala, sebab tak tahu harus berperilaku seperti apa. Sesampainya di kamar, mama meletakkan Emely di atas kasur, namun saat itu juga dia terbangun.
"Papa sudah datang, Ma?" tanya Emely.
Mama hanya mencoba tersenyum di depan Emely.
"Emely lapar, sayang? Kita makan, ya," ujar mama, sembari meraih kantong kresek yang kubawa.