1. Bertemu Lagi

1357 Kata
“Della sayangku, cintaku, my baby.” Aku memutar bola mata malas begitu mendengar suara cempreng Leni. Tanpa menoleh pun aku paham, suara Leni benar-benar sudah kuhafal di luar kepala. Saat ini aku sedang berjalan menuju lobi kantor tempatku bekerja. Leni adalah teman satu divisi denganku. Kami sangat dekat karena meja kami bersebelahan. “Pagi Della,” sapanya centil sambil menoel daguku. “Apaan sih, Len.” Aku menepis tangannya. “Kamu kenapa sih?” “Aku lagi bad mood. Mending kamu diem daripada kusumpel mulutmu pake mie ayam tumini.” “Mi ayam tumini? Mauuuu!” Kali ini Leni justru memonyongkan bibirnya. “Len, asli. Aku lagi bad mood.” Kali ini Leni langsung diam dan mimik wajahnya mulai serius. “Radit berulah lagi?” “Aku sama Radit udah putus.” “Heh? Putus?” Leni langsung menarikku menuju kursi panjang yang ada di halaman kantor. Masih ada setengah jam sebelum jam kerja dimulai. “Kok bisa, sih, Dell? Bukannya kalian saling mencintai pakai banget, ya? Ada masalah? Kok aku enggak tahu? Radit selingkuh? Atau kamu yang ketahuan selingkuh?” cecarnya tidak sabaran. “Jelas bukan aku yang selingkuh!” “Jadi Radit yang selingkuh?” Aku mengangguk. “Iya.” Di depan Leni, ekspresi sedih tak dapat lagi kusembunyikan. Semarah dan sebenci apa pun aku pada Radit saat ini, kenyataannya laki-laki itu pernah mengisi hatiku selama bertahun-tahun. Tidak mudah untuk aku melupakannya begitu saja. “Selingkuh sama siapa? Lo kenal ceweknya?” “Lo bahkan kenal, Len.” “Jangan bilang Radit selingkuh sama Rere?” Leni melongo tak percaya ketika aku diam saja tak menampik kalimatnya. “Bener, Del?” “Iya.” “Jadi waktu aku lihat Radit gandengan tangan sama Rere di JCM (Jogja City Mall) itu bener dong? Kukira aku salah lihat.” “Kapan kamu lihat mereka?” “Udah agak lama sih, dua bulan lalu mungkin.” Aku tersenyum getir. Ternyata mereka selingkuh sudah lama. Bodohnya aku masih percaya dengan Rere dan terus bercerita tentang Radit padanya. “Dell, yang sabar ya. Percaya, deh, kamu pasti dapat laki-laki yang jauh lebih baik dari Radit.” Leni memelukku dan aku membalasnya. Tanpa sadar, satu tetes air mataku jatuh lagi. “Len...” “Ssst, udah. Enggak ada yang perlu ditangisi. Air mata kamu terlalu berharga buat nangisin cowok b******k macam Radit.” Leni ikut mengusap air mataku. “Udah Dell, kamu fokus kerja aja habis ini. Kalau masih mau cerita, nanti malam aku nginep di rumahmu.” “Makasih banyak, Len. Eh, tapi kalau nanti aku lihat Rere gimana?” “Diemin aja, dulu. Pura-pura enggak kenal kalau enggak lagi ada keperluan.” “Oke.” Se-lebay apa pun kelihatannya, Leni tetap sahabatku yang baik. Tadinya aku punya Leni dan Rere, tapi sekarang— ah sudahlah. *** “Dell, laporan penjualan bulan ini udah selesai, kan? Boleh aku lihat?” itu suara Mas Doni, si penanggung jawab divisiku. “Udah, Mas, ini.” Aku mengulurkan map berwarna merah menyala, dan Mas Doni segera menerimanya, “Oke, thanks.” Setelah Mas Doni pergi, aku kembali sibuk dengan laptopku. Aku masih harus mengerjakan banyak hal. Maklum, ini sudah akhir bulan. Jadi banyak deadline yang harus segera kuselesaikan. “Dell,” Gerakan jariku terhenti ketika mendengar suara itu. Suara yang sudah sangat kuhafal siapa pemiliknya. “Aku minta maaf.” “Aku paling enggak suka membahas urusan pribadi di kantor,” sahutku tanpa menoleh sedikit pun. “Tapi, Dell,” “Kamu enggak dengar?” Kali ini aku mendongak dan mata kami bertemu. Iya, dia Rere. “Aku minta maaf...” ucapnya pelan, lalu balik badan meninggalkanku. “Sialan!” Aku membanting mouse cukup keras. Untung saja saat ini aku hanya sendiri. Leni dan yang lain sedang ada urusan di luar. Aku memijit bagian atas hidungku untuk menghilangkan pening di kepala. “Della! Kamu baik-baik aja, kan?!” Aku mendongak ketika tiba-tiba Leni sudah berdiri tepat di depanku. “Loh, kok kamu ada disini? Katanya mau keluar?” “Rere habis kesini, ya? Aku barusan lihat dia.” Leni tidak menggubris pertanyaanku. “Iya.” “Memang tebal muka si Rere itu!” “Udah, udah. Jangan bahas itu di kantor.” Leni nyengir, lalu detik berikutnya dia berjalan ke mejanya. “Eh, Dell—“ “Apa?” “Aku doain kamu segera ketemu pangeran berkuda putih yang akan membawamu ke singgasana pelaminan. Yang jauh lebih ganteng, jauh lebih kaya, pokoknya jauh lebih segalanya dari Radit.” Harusnya itu terdengar lucu karena kesannya sedikit membual, tetapi aku tetap tersenyum sambil mengangguk. “Aamiin.” *** Hari ini aku harus pulang menggunakan Bus Trans Jogja karena aku tidak membawa motor. Motorku sedang dipakai adikku, Si Dimas. Sebenarnya aku tidak masalah naik Trans Jogja, toh busnya bersih. Yang membuatku terkadang jadi senewen, supirnya ada yang ugal-ugalan. Padahal dia kan cari nafkah, bukan sedang balapan motoGP! Aku baru saja memasukkan ponselku ke dalam tas ketika tiba-tiba aku melihat seorang laki-laki berjalan dengan Pak Romi, owner perusahan tempatku bekerja. Mataku memicing untuk melihat wajah laki laki itu lebih jelas. Duh! Sayang sekali aku gagal mengenali. “Itu siapanya Pak Romi, ya? Kok enggak pernah lihat?” Saat ini aku melihat laki-laki bertubuh tinggi dan berkulit putih bersih. Dari kejauhan dia terlihat tampan. Aku tidak tahu kalau dari dekat. Mataku yang minus ini tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Aku melihat laki laki itu duduk di kursi kemudi sementara Pak Romi di sebelahnya. Siapa, dia? Yang jelas dia bukan anak Pak Romi karena Pak Romi tidak memiliki anak. Supir pribadi, kah? ... “Dua A, dua A.” Kali ini aku langsung berdiri begitu mendengar suara penjaga halte. Begitu bis berhenti, aku segera masuk lalu men-scan kartu anggotaku. “Ke mana mbak?” “Jalan mangkubumi, Pak.” “Oke.” Aku mencari tempat duduk yang paling belakang dan ujung. Kebetulan, bus sedang sepi penumpang. Kukeluarkan earphone dari dalam tas, lalu kunyalakan musik barat yang ber-genre balad. Sepanjang perjalanan pulang, aku mendengarkan musik sambil memejamkan mata. Ah, rasanya nyaman sekali. *** “Mbak, mau ke mana?” Dimas yang sedang asik menonton pertandingan sepak bola di TV, langsung menoleh begitu melihatku mengambil kunci motor di meja yang berada tepat di sampingnya. “Mau beli sesuatu di Indomaret.” “Sesuatu apa?” “Mau tau banget sih, lu!” “Santai dong Mbak, nanya doang.” Dimas mendengus. “Mau nitip enggak?” “Boleh deh, Mbak. Cola yang ukuran jumbo, ya?” “Mana uangnya?” “Uangnya Mbak Della, lah. Pelit bener sama adik sendiri.” Aku diam tak menanggapi lagi. Aku diam karena tidak keberatan dengan permintaanya. “Sama cemilan kriuk juga boleh, Mbak.” Aku melirik Dimas malas. “Ngelunjak!” “Kan bentar lagi Mbak Della gajian.” Dimas hanya meringis menampakkan lesung pipinya. Aku sedang malas berdebat, jadi aku tidak banyak protes, Begitu sampai garasi, aku segera menyalakan motor lalu keluar rumah menuju Indomaret. Aku butuh mendinginkan otak, jadi aku akan nongkrong sendirian di sana sambil menikmati kopi dan menatap jalan raya. Leni tidak jadi menginap di rumahku karena dia mendadak ada acara. Sesampainya di Indomaret, aku langsung memesan kopi. Untung saja kasir tidak sedang antri, jadi aku bisa cepat-cepat mendapatkannya. “Ini kembaliannya, Kak.” “Iya, Mbak. Terimakasih.” Aroma kopi yang kupegang membuatku segera ingin keluar dan duduk di kursi yang masih kosong. Namun, karena terlalu buru-buru, pundakku tak sengaja menyerempet seseorang hingga kopi hangat yang dia bawa langsung jatuh. Kopiku tidak, tetapi sebagian isinya tumpah. “Ya ampun! Maaf, Mas, maaf. Saya enggak sengaja.” Yang kutabrak itu seorang laki-laki. Dia langsung menunduk mengambil gelas kopi instan yang sudah tidak ada isinya lagi. “Maaf banget, saya beneran enggak sengaja. Kopinya biar saya ganti, Mas, saya—” Kalimatku terhenti ketika laki-laki itu kembali berdiri dan aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Detik itu juga, mataku seketika mengerjap. “Loh ... Masnya—“ “Wah, kita ketemu lagi.” “Ini beneran Masnya yang waktu itu di atap?” “Iya. Kalau sekali lagi kita ketemu, sepertinya kita jodoh,” ucapnya santai, lalu pergi meninggalkanku yang masih melongo di tempat. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN