Prolog

734 Kata
“Dasar b******k!!! Laki-laki enggak tahu malu!” Air mataku jatuh untuk kesekian kalinya. Rasanya masih sakit sekali ketika ingat kejadian satu jam yang lalu. Aku melihat dengan mata kepala sendiri kalau Radit— pacarku, berselingkuh dengan Rere sahabatku. Sekarang kutanya, apa tidak ada yang lebih menyakitkan lagi daripada pacar selingkuh dengan sahabat sendiri? Pacarku selingkuh dengan orang lain, aku masih terima. Tapi ini, kenapa harus dengan sahabatku? Itu yang paling membuatku sakit hati bukan main! Radit memang laki-laki dengan segala otak mesumnya. Mentang-mentang aku tidak pernah mau dia ajak tidur, bukan berarti dia boleh selingkuh. Kalau dia keberatan denganku yang selalu menolak ajakannya, harusnya dia minta putus dan bukannya malah ngeyel minta hubungan kami tetap dijaga. Dia selalu mengatakan kalau dia mencintaiku. Cinta? Haha, Bullshit! Kurasa selama ini dia hanya mengincar kegadisanku saja. Tidak lebih! Aku mengusap air mataku cepat-cepat, lalu segera naik ke atas pembatas. Saat ini aku sedang berada di atap hotel tempat tadi aku memergoki Radit b******u rayu dengan Rere. Aku menatap lurus ke depan melihat pemandangan malam kota Jogja. Melihat bagaimana indahnya kerlap-kerlip lampu di bawah sana membuat hatiku sedikit lebih tenang. Andai saja tadi aku tak bisa mengontrol emosiku, sudah pasti kugorok leher Radit dan Rere sampai putus. “Kenapa enggak lompat, Mbak?” Sebuah suara menginterupsiku. Aku menoleh dan mendapati seorang laki-laki sedang duduk bersandar di tembok yang terletak tidak jauh dariku. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena cahaya di atap agak remang-remang. “Siapa juga yang mau lompat?” “Bukannya kalau perempuan patah hati rawan bunuh diri?” “Maaf, ya, bunuh diri enggak pernah ada dalam kamusku, Mas!” tandasku kembali menatap depan dan membelakangi laki-laki yang entah sejak kapan berada di sana. Mungkin dia sudah datang lebih dulu sebelum tadi aku mencak-mencak seperti orang gila. Persetan dia dengar semua umpatanku. Toh kami tidak kenal, jadi kami tidak akan bertemu lagi. Aku yakin. Suasana kembali hening. Untuk beberapa menit lamanya, aku hanya diam sambil menatap lurus ke depan. Angin malam semakin dingin menusuk tulang. Aku merapatkan jaketku sebelum akhirnya balik badan lalu berusaha turun dari pembatas. Setelah ini aku ingin pulang dan segera tidur. “Loh, kok jadi tinggi, sih? Tadi kayaknya gampang-gampang aja aku naiknya?” Tadi ketika aku naik, pembatasnya keliatan pendek. Buktinya gampang-gampang saja aku naiknya. Tapi kenapa sekarang jadi terlihat sangat tinggi begini? “Tadi waktu naik udah seperti maling yang biasa manjat pagar. Sekarang giliran turun, enggak berani.” Itu suara laki-laki tadi. Keterlaluan! Aku dikata kaya maling. Memangnya ada ya, malin secantik ini? “Diem, Mas. Enggak usah banyak komentar!” ` laki-laki itu tiba-tiba berdiri dan berjalan mendekat ke arahku. Wajahnya kini terlihat jelas karena terkena sinar lampu. Wow, gantengnya! “Bisa turun atau enggak?” suaranya terdengar kalem. “Tadi waktu naik kayaknya nggak setinggi ini loh, Mas,” balasku dengan suara pelan. Laki-laki itu kini sudah berdiri tepat di bawahku. “Pegang.” Dia mengulurkan tangannya. Aku ragu, masa iya baru kenal sudah pegangan tangan? Eh, malah kami belum kenalan, ding! Aku tahu namanya saja, tidak. “Kalau enggak mau saya bantu ya sudah, saya pergi.” “Eh, Mas, jangan pergi dulu! Iya-iya, sebentar.” Aku meraih tangan laki-laki itu lalu melompat turun. Namun, karena kehilangan keseimbangan, aku hampir saja jatuh dan praktis tangan laki-laki itu ikut ketarik. Dia berhasil menahanku, sementara sebelah tanganku reflek meraih lehernya. Satu detik Dua detik . . Mataku mengerjap beberapa kali. “AAA, BIBIR MASNYA!” Plak! Aku reflek menampar pipi laki-laki itu ketika sadar bibirnya sudah dengan sembrono menempel di bibirku untuk beberapa detik. Dia langsung melepas tanganku dan aku dibiarkan jatuh terjerembab di lantai. “Apa-apaan kamu ini!” Laki-laki itu memegang pipi kirinya yang baru saja kutampar. “Masnya nyium saya, lho!” Aku menutup mulutku dengan sebelah tangan. “Siapa yang lebih dulu menarik tangan saya tadi?” Laki-laki itu mengusap bibirnya dengan punggung tangan. “Tapi Masnya menahan punggung saya.” “Siapa yang menarik leher saya berikutnya?” Aku diam. Dia benar, andai aku tidak reflek meraih lehernya untuk pegangan, pasti bibir kami tidak akan pernah bertemu. “Sudah, lupakan. Anggap saja kita tidak pernah bertemu.” Laki-laki itu balik badan, lalu pergi meninggalkanku sendirian. Tanganku terangkat untuk menyentuh bibir. Jantungku kini sudah berdetak tidak karuan. Aku benar-benar tidak tahu yang mana penyebab utamanya. “Oh, ya ampun! Harus banget ciuman pertamaku sama laki-laki yang enggak dikenal?” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN