9. Perkara Typo

1905 Kata
“Sambelnya dong, Dell.” Evan menunjuk semangkuk kecil berisi sambal yang terletak di dekat minumanku. “Nyoh!” “Thanks!” Aku kembali menyeruput kuah bakso. Saat ini aku dan Evan sedang makan siang di kantin perusahaan. Yang aku suka dari kantin perusahaan, meski tempatnya tak terlalu lebar, tetapi menu yang tersedia cukup bervariasi. Hari ini adalah hari pertama Evan bekerja, jadi sekalian aku mengajaknya untuk lebih tahu tentang fasilitas yang perusahaan sediakan. “Eh Dell, kamu tahu enggak, Irma sam Fatih mau nikah?” “Irma sama Fatih? Serius?” Mataku mendelik tak percaya. Irma dan Fatih adalah teman satu KKN kami. Namun, dari yang terakhir aku dengar dari Evi—teman KKN yang lain, mereka sudah putus. “Iya, Fatih w******p aku beberapa waktu lalu.” “Kok belum rame di grup?” “Belum berani bilang, kali.” Evan mengedikkan bahu. “Ya bagus, lah, kita bisa kondangan sekaligus reunian. Udah kangen banget sama mereka.” “Kita kondangan bareng ya, Dell?” “Nanti menimbulkan polemik lagi, gimana?” “Siapa yang peduli? Sama mereka ini.” Aku dan Evan tertawa. Kalian yang pernah merasakan KKN pasti tahu bagaimana kedekatan anggota satu kelompok, tetapi dengan catatan kalau kelompoknya akur-akur aja. Dan kelompokku termasuk yang harmonis. Kami bersepuluh sangat dekat dan sudah terasa seperti keluarga. Bayangkan, dari bangun tidur sampai tidur lagi, kami habiskan bersama-sama. Mulai dari masak, menjalankan proyek KKn, sampai lain-lain. Meski cek-cok kecil sesekali terjadi, tapi itu tidak membuat kami jadi saling membenci satu sama lain. “Gigimu, Dell, ada cabenya.” “Eh, masak?” Aku reflek meraih ponselku lalu meringis. Begitu tak menemukan apa pun di gigiku, aku melirik Evan tajam. “Ngerjain ya?” “Kangen tahu, Dell, liat kamu marah-marah sambil ngomel enggak jelas. Apalagi dulu, tiap kamu tahu kami anak cowok lupa nyuci piring.” Aku diam. Please Van, jangan bikin aku oleng lagi! “Paan sih!” “Buruan habisin baksonya.” Evan mengacak rambutku. “Rambutku berantakan, Van!” Sekitar lima menit kemudian, aku dan Evan sudah selesai makan dan segera menuju kasir. “Aku yang traktir.” Evan menahan tanganku dan menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan untuk membayar makanan kami. “Enggak usah, Van—” “Enggak usah lebay, Dell, aku cuma mau traktir senior.” “Preeet!” Evan mengacak rambutku lagi. “Van! Rambutku beneran rusak nanti!” Aku menggeram sementara Evan malah tertawa. Setelah menerima kembalian, Aku dan Evan berjalan beriringan kembali menuju ruangan kami. “Ciaelaaaah! Kencan teroooosss!” goda Reno tepat ketika aku dan Evan masuk ruangan. “Della teman saya, Mas, jangan salah paham,” balas Evan. “Panggil Reno aja, aku belum setua itu. Dan juga, enggak usah terlalu formal.” “Oh iya.” Aku kembali ke meja dengan Leni yang terus menatapku sinis. Sinis di sini jangan bayangkan sinis yang menyeramkan ya, Leni mana bisa sinis betulan denganku. “Baru hari pertama dia kerja, kalian udah go public aja, Dell? Ckck!” “Yaelah go public apanya, sih? Dia temenku, aku cuma nemenin dia makan siang.” “Ya udah. Berarti kalau kamu sama Evan, Pak Razan buat aku ya Dell?” “Hah? Maksudnya? Kamu mau sama Evan atau Pak Razan itu bukan urusanku.” “Ah, yang bener?” “Iya, lah!” Ngomong-ngomong Pak Razan, dia kenapa betah banget di dalam, ya? Dari tadi setelah dia banting pintu, aku belum melihatnya keluar. “Emangnya kamu tega selingkuhin yayang-mu yang di pekalongan itu, Len?” “Ya enggak sih, hehe. Buat cuci mata aja.” Leni nyengir sementara aku memutar bola mata malas. Aku kembali melirik pintu yang masih tertutup rapat sejak tadi pagi. Seharian ini aku belum lihat wajahnya. “Len, aku mau bawa laporan ini masuk, ya. Pak Razan di dalem, kan?” “Kayaknya sih masih di dalem dari tadi pagi. Aku belum lihat dia keluar.” Kok horor ya? Jangan-jangan dia pingsan di dalam? Aku segera meraih laporan dan bergegas menuju ruangan Pak Razan. Semoga dia baik-baik saja. Tok tok tok! Aku mengetuk pintu, lalu membukanya perlahan. “Pak?” “Hm.” Benar di dalam orangnya. “Saya mau menyerahkan laporan yang kemarin.” “Taruh di meja.” Nada suaranya benar-benar datar, bahkan terkesan dingin. Apa dia masih kurang sehat? “Bapak udah sembuh?” tanyaku begitu berdiri di depannya. “Udah.” “Buburnya dimakan, kan, Pak?” Aku mundur satu langkah ketika Pak Razan mendongak dan menatapku dengan alis terangkat sebelah. “Oh itu, terimakasih.” Dia kembali menunduk menatap kertas laporan di depannya. “Sama-sama, Pak.” Hening. Kok jadi canggung begini, sih? “Masih ada perlu?” “Eh, gimana, Pak?” “Kalau sudah selesai, kamu boleh keluar.” “I-iya, Pak.” Sebelum keluar, aku sempat meliriknya sejenak. Ini orang satu gampang betul berubah sikapnya. Sehari kelihatan ramah, besok sudah judes lagi. Begitu terus sampai kucing melahirkan ular. *** “Duluan ya Dell, Van.” Reno mengambil tasnya lalu pamit bergi. “Iya, hati-hati.” Sekarang di ruangan ini tinggal aku sama Evan saja. Sama sepertiku, Evan juga sedang berkemas. “Biasa pulang naik apa, Dell?” “Gimana, Van?” “Pulang naik apa?” “Aku biasa naik motor. Masih sama kaya jaman kuliah dulu.” Memangnya mau naik apa lagi? Pesawat? “Enggak minta mobil sama orang tua?” “Enggak, lah, mending uangnya buat yang lain. Untuk sekarang ini, satu mobil di rumah udah cukup.” “Lain kali aku jemput ya, Dell, biar pulangnya aku anterin juga. Aku bawa mobil.” “Kemana motor besarmu yang dulu?” “Dijual, buat beli mobil.” Evan terkekeh. “Mana cukup?” “Ya aku nambahin sisanya. Gimana, Dell? Mau ya, sekali-kali aku jemput? Rumah kita juga searah kan?” “Yakin? Ntar aku ngrepotin, lagi?” Evan menggeleng pelan. “Enggak papa, direpotin kamu aku enggak rugi, malah seneng.” “To the point banget ya, Masnya?” Aku hanya geleng-geleng kepala. Asli, ada enggak sih, cowok yang lebih terus terang dari Evan? Di hari pertama kami bertemu setelah beberapa tahun, dia langsung terang-terangan menunjukkan kalau dia masih menaruh hati padaku. Padahal, selama ini kami hampir tidak pernah saling balas pesan kecuali di grup. “Lebih cepat lebih baik, Mbaknya. Kebanyakan basa-basi udah basi. Ingat umur.” Evan tertawa. Ngomong-ngomong umur, aku sama Evan beda hampir dua tahun. Dulu aku masuk sekolahnya lebih awal, dan Evan sepertinya masuk sekolahnya telat. “Enggak takut emang, misal sekarang ada yang marah kalau kamu deketin aku?” Evan terdiam. Dia menatapku lurus dan aku balik menatapnya. “Eee, kamu—” Evan menjeda kalimatnya. “Aku apa?” “Kok aku oon ya, enggak kepikiran sampai sana. Kamu udah punya ya, Dell?” “Tadinya udah, sekarang—“ “Ardella!” Aku hampir terlonjak mendengar namaku di panggil sekeras itu. Eh, sebenarnya tidak terlalu keras, hanya saja karena ruangan sudah sepi, aku jadi kaget mendengarnya. “I—iya, Pak?” Bahkan suaraku mendadak bergetar. Aku melihat Pak Razan berdiri di ambang pintu sambil menatapku tajam. “Ada apa ya, Pak?” “Laporanmu yang tadi masih ada typo. Segera perbaiki, saya tunggu hari ini.” “Hah? Hari ini?” Aku melotot tak terima. Ini sudah saatnya jam pulang dan dia mulai semena-mena lagi? Minta kupotong burungnya, kali ya? “Iya, hari ini.” “Enggak bisa gitu dong, Pak, ini sudah jam pulang. Gimana kalau besok pagi jam delapan?” Aku mencoba menawar. “Saya maunya hari ini.” Aku meremas kertas yang ada di depanku, mencoba menahan marah. “Dell, aku pulang dulu, ya?” Tiba-tiba Evan sudah berdiri di depanku. Dia menatapku prihatin, dan aku hanya bisa mengangguk. “Hati-hati, Van.” Setelah Evan pergi, aku menoleh dan menatap Pak Razan tajam. Rasanya ingin sekali kutinju wajahnya sampai babak belur. “Mana laporan saya, Pak? Biar segera saya perbaiki terus bisa pulang.” “Di dalam.” Aku menghentakkan kaki kesal melewatinya, lalu mengambil laporanku yang ada di atas meja. “Laporan saya salah di mananya ya, Pak?” “Ada dua typo di halaman lima.” “Cuma ini, Pak? “ “Iya.” Demi jambulnya upin dan ayam gorengnya ipin, ingin sekali kujambak rambut Pak Razan saat ini juga! Lama-lama, segala tindak kejahatan timbul di otakku. Please ya, typo-ku di halaman lima yang dia lingkari itu cuma tulisan ‘yang’ aku tulis ‘yg’ dan ‘lebih’ aku tulis ‘lbih’. Bahkan typo macam begini tidak diedit juga tidak masalah. Kata Mas Doni dulu, asal typo-nya bukan nominal angka, masih bisa ditoleran. “Pak...” Aku berjalan mendekat ke arah Pak Razan sambil tersenyum. Senyum yang aku buat seramah mungkin. Serius, aku tidak mau kehilangan lebih banyak waktu istirahatku hanya karena typo tidak penting itu. Laporan ini tidak akan dilaporkan ke pengamat EYD, hanya untuk arsip saja. Toh orang yang baca otomatis sudah paham maksudnya meski itu typo. Memang beda lagi, kalau typo-nya berupa titik dan koma di bagian nominal biaya. Kalau itu bisa super fatal. “Apa?” “Pak Razan yang baik hatinya, yang gantengnya mirip Ji Chang Wook, boleh enggak kalau—“ “Stop! Ji Chang Wook siapa?” Alis Pak Razan berkerut. “Aktor korea pak. Ganteng banget asli, badannya bagus, suka main drama genre action, terus kalau sama cewek romantis banget. Duh, roti sobeknya bikin— aw!” Aku meringis ketika dahiku disentil cukup kuat. “Saya nggak peduli sama Jiwok-jiwok-mu itu.” “Ji Chang Wook, Bapak.” Aku buru-buru meralatnya. “Siapapun itu, saya enggak mau tahu. Cepet diedit, Saya tunggu.” Pak Razan baru akan balik badan ketika kutarik lengan kemejanya. “Apa lagi, Dell?” “Ya ampun, Pak, saya janji edit ini besok. Sekarang sudah saatnya pulang. Belum lagi saya harus nyalain laptop, printer juga. Itu makan waktu, Pak.” Aku memasang wajah paling melas yang aku bisa. Ternyata Pak Razan tidak mempan aku gombalin. “Itu komputer saya masih menyala.” Dia menunjuk komputer dengan dagunya. “Aduh, Pak, enggak baik atuh, laki-laki sama perempuan di ruangan tertutup, padahal udah hampir malem begini. Udah gitu, enggak ada orang lagi. Nanti kalau ada setan lewat, bisa berabe pak.” “Oh, ya? Memangnya kalau ada setan lewat, apa yang kamu takutkan?” Wajahku condong ke belakang ketika wajah Pak Razan tiba-tiba mendekat. “Nanti bisa terjadi yang iya-iya, Pak,” cicitku sambil meringis. “Seperti?” Kepalaku semakin mundur ketika wajahnya semakin maju. “Pak!” Aku memejamkan mata erat-erat. Detik berikutnya, aku merasakan ada yang kosong. Ketika aku membuka mata, Pak Razan sudah tidak ada di depanku. Ke mana dia? “Kamu boleh pulang. Saya cuma bercanda tadi,” ucapnya begitu kembali berdiri di depanku. Apa katanya? Bercanda? What the— “Mau tetap di situ?” Aku menoleh ketika Pak Razan sudah berjalan keluar. Praktis aku meletakkan laporan di atas meja lalu menyambar tas. Orang ini benar-benar! “Lama-lama kupotong juga burungnya!” Aku mulai ngedumal tidak jelas. “Apa kamu bilang?” “Apa? Saya enggak ngomong apa-apa.” Aku menatapnya sebal, tetapi tetap masuk di lift yang sama dengannya. Begitu lift sampai di lantai satu, kami langsung keluar. Dan seperti kemarin, aku memilih untuk berjalan di belakangnya. “Eh, Dell...” Dia berhenti, dan itu membuatku juga aku ikut berhenti. “Apa lagi, Pak?” “Jangan dipotong, nanti kamu yang rugi,” ucapnya sambil tersenyum miring, lalu pergi. HAH, MAKSUDNYA? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN