Benjamin berdiri di depanku, menjadi benteng penghalang antara aku dan Elijah. Sayangnya. SAYANGNYA KAMI BERTIGA—AKU, DANTE, DAN BENJAMIN—MASIH MENANGIS. Jangankan kata-kata persuasif agar Elijah terbujuk, yang keluar dari mulut kami hanyalah “huuuuwaaa” atau “huuuwaa hiks huuu”. Dante makin mempererat pelukan dalam rengkuhanku sementara Benjamin pun akhirnya memutuskan berbalik, meluncur ke arahku, lalu menempel seperti monyet di pohon pisang. Terdakwa yang menyebabkan kami menangis justru memilih bertanya, “Apa yang sedang kalian mainkan?” Seolah tengah menyaksikan sirkus keliling. Ekspresi wajah milik Elijah benar-benar tidak bisa aku gambarkan. “Benjamin, kemari.” “Tidak mau!” Benjamin makin erat memeluk kakiku. “Ayah telah menyakiti Bibi!” “Duke Axton jahat!” aku pun meneriaki Eli