"Mana tehku?"
Aku terjengkit kaget, saat Zainal tiba-tiba berada di belakangku.
"Di atas meja, sudah aku siapkan," jawabku, tanpa mengalihkan fokusku pada tanganku yang sedang bergerak membersihkan udang.
"Aku mau," bisiknya di telingaku, dan aku sangat tahu apa maksudnya. Zainal langsung menyingkap rok, dan menurunkan celana dalamku, lalu ia tarik pinggangku, aku terpaksa mencuci bersih tangan, dan mengabaikan sejenak pekerjaanku.
"Ughhh," ia melenguh di telingaku, saat miliknya merangsek masuk ke dalam milikku, tanpa pemanasan, tanpa cumbuan, tanpa rayuan. Begitulah dia, kapanpun dia inginkan, aku harus selalu siap melayaninya. Aku hanya bisa meringis, tanpa berani bersuara untuk protes.
Kulepas sendiri kancing kemejaku, sebelum Zainal menyentakan hingga terlepas, dan memberikan aku kesibukan baru, menjahit kancing kemeja. Zainal menaikan braku, telapak tangannya menuentuh dadaku dengan satu tangan, sementara tangan yang lain masih di pinggangku.
Aku hanya bisa memejamkan mata, bukan nikmat yang aku rasa, namun sakit di dalam jiwa, dan raga. Aku tidak mampu untuk menangis lagi, air mataku sudah mengering. Kepedihan terus saja berulang, sejak malam pertama pernikahan.
Bibir Zainal menempel di leherku, tikamannya semakin kuat, dan semakin cepat. Aku mencengkeram sisi meja dapur dengan kuat, menahan rasa sakit yang aku rasakan. Aku mendengar dia mengerang panjang, dan aku rasakan semprotan hangat membanjiri rahimku. Zainal melepaskan miliknya, tanpa basa basi ia langsung masuk ke dalam kamar mandi, aku menunggunya ke luar dari kamar mandi, untuk membersihkan diri, sebelum melanjutkan untuk memasak makan malam kami.
"Cepat masak, aku sudah lapar!" bentaknya mengagetkan aku, begitu pintu kamar mandi terbuka.
"Iya, Mas" jawabku.
Hal seperti ini sudah sering terjadi, dia menuntutku untuk segera mempersiapkan makanan, tapi dia sendiri yang membuat aku harus menunda memasak.
Setelah membersihkan diri, dengan tergesa aku menyelesaikan membersihkan udang, untuk aku masak. Aku hampir selesai memasak, saat....
"Na!"
"Ya, Bu," sahutku pelan.
Suara mertuaku, yang rumahnya hanya lima langkah dari rumah kami.
"Zainal tadi mengambil rokok satu bungkus, bensin dua liter di kios ibu, bayarin, Na. Besok Kiah harus ke pasar belanja," ibu mertuaku berdiri di belakangku. Dia menatap udang yang masih ada di penggorengan.
"Sebentar ya, Bu," aku memindahkan udang yang sudah selesai aku masak, dari wajan ke dalan mangkok yang cukup besar, lalu aku cuci tanganku, setelah itu aku mengambil tas. Aku serahkan uang tiga puluh ribu kepada ibu mertuaku.
"Ibu minta udangnya, Na. Si Zainal tadi siang makan di rumah ibu, ikan ibu hampir dihabiskan sama dia. Kamu tidak masak untuk makan siang Zainal. Harusnya, siapkan makanan juga buat Zainal makan siang!" Ibu mertuaku mengambil mangkok kecil, lalu mengambil separuh udang yang sudah aku masak. Aku hanya bisa diam, tidak bisa berkata apa-apa.
Beliau ke luar dari rumah, Zainal masuk ke dalam rumah.
"Aku mau makan," katanya. Tanpa bicara, aku siapkan semuanya di atas meja.
"Aku tinggal mandi ya, Mas," ucapku, setelah dia duduk menghadapi makanannya.
"Hmmm," hanya itu jawabannya.
***
Selesai mandi, dan berpakaian, aku menuju ruang makan. Tapi aku tertegun di sisi meja, niatku untuk makan sirnalah sudah. Di atas meja tidak ada lagi udang yang tadi aku masak. Di dalam mangkok tempat udang tadi, hanya tersisa irisan cabe, bawang, dan tomat saja, udangnya tidak bersisa.
Karena rasa lapar, aku tetap duduk, dan mengambil nasi. Dengan perlahan, aku suap nasi hanya dengan lauk irisan bawang, cabe, dan tomat untuk udang tadi. Terasa sulit bagiku menelan makanan, karena rasa sesak di d**a, yang tidak mampu aku urai menjadi air mata.
Sudah lama aku tidak mampu menangis lagi, air mataku mungkin sudah mengering, karena dera yang aku terima selama empat tahun ini.
Aida, sahabatku, sering bertanya, kenapa aku memilih bertahan, dalam pernikahan yang tidak memberiku kebahagiaan.
Zainal adalah suami pilihanku, dan itu menentang kehendak keluargaku. Meski akhirnya, Ayahku mau menikahkan kami, karena rasa cintanya yang begitu besar kepadaku. Tetap saja, aku harus tersisih dari keluargaku, aku bukan lagi bagian dari mereka.
Aku bagai sebatang kara, tidak memiliki siapapun untuk mengadu. Hanya ada Aida yang bisa aku percaya.
"Aku ingin mandi, masakan air untuk aku mandi!"
Aku terjengkit kaget dari lamunan, kutolehkan kepala, Zainal sudah berada di dekatku.
"Sebentar, Mas, aku selesaikan makan dulu," pintaku.
"Sekarang, Riana, aku harus segera mandi, ada urusan yang harus aku selesaikan. Tinggalkan dulu makanmu, masakan air untuk aku mandi dulu!"
Tanpa berkata lagi, aku bangkit dari duduk. Aku cuci tangan, lalu aku ambil panci, dan aku isi air. Kunyalakan kompor minyak, lalu aku letakan panci berisi air di atas kompor yang menyala.
Aku ingin meneruskan makanku, tapi Zainal berteriak memanggilku dari dalam kamar.
"Riana, mana celana, dan baju baruku, yang baru satu kali aku pakai?"
Dengan tergesa aku menuju kamar.
"Belum sempat aku setrika, Mas" jawabku.
"Setrika dulu, sementara air mandiku belum mendidih!"
"Iya, Mas"
Aku bergegas menyetrika pakaiannya, aku sudah malas berdebat atau bertengkar dengannya. Satu kata saja aku salah ucap, maka sumpah serapahlah yang akan aku terima.
Air belum mendidih, tapi cukup panas untuk mandi, setelah menyetrika pakaian Zainal, aku mencampurkan air panas dengan air dingin.
"Air mandinya sudah siap, Mas." kupanggil Zainal yang berbaring di atas ranjang. Ia bangkit, lalu menuju ke kamar mandi.
Aku berniat melanjutkan makanku, meski sudah terasa kehilangan selera.
"Riana!"
"Ya, Mas." Aku mendekati kamar mandi, pintu kamar mandi terbuka, tangan Zainal menarik lenganku, disandarkan tubuhku di pintu kamar mandi, dilucuti seluruh pakaianku, dan seperti tadi, tanpa cumbuan, tanpa rayuan, tanpa pemanasan, dia menikamku sesuka hatinya, tidak peduli bagaimana jiwa, dan ragaku menerimanya.
Aku hanya diam, protespun tidak ada gunanya. Aku hanya bisa menerima, dalam sabarku, yang Aida katakan sebagai kebodohanku. Karena tidak mau berontak, dari penjajahan yang dilakukan Zainal, dan keluarganya kepadaku.
BERSAMBUNG