Di tempat aku bekerja
"Mukamu pucat, Riana? Apa kamu sakit?" Pertanyaan itu diajukan oleh bosku, Pak Dayat. Aku menggelengkan kepala, dan tersenyum untuk menutupi rasa sakit di lahir, dan batinku.
"Aku baik-baik saja, Bos," jawabku.
"Kalau sakit, sebaiknya kamu pulang, lalu berobat ke rumah sakit."
"Sungguh, aku tidak apa-apa." Aku berusaha meyakinkan Pak Dayat. Usia Pak Dayat tiga puluh lima tahun, dia seorang duda tanpa anak. Seringkali ada wanita yang mencarinya ke pencucian mobil, tempat aku bekerja.
Hal itu bisa dipahami, karena Pak Dayat, punya cukup modal untuk menjadi kejaran wanita. Dia tampan, gagah, kaya, dan supel orangnya.
Wanita yang mengejarnya juga bukan wanita sembarangan, tapi wanita-wanita kaya yang kemana-mana turun naik mobil pribadi.
Pak Dayat sangat baik, tapi ibunya bawel minta ampun. Kalau dia datang ke pencucian mobil, yang sekaligus menjadi tempat tinggal putra sulungnya itu, ada saja yang jadi bahan celaannya. Lantai yang kotor, langit-langit ruangan yang kotor, beliau tidak bisa melihat hal kotor sedikit saja, langsung meminta kami membersihkannya. Bahkan pintu rolling door saja, beliau minta untuk dicuci bersih. Tapi, beliau tidak pelit, kalau beliau datang, kami tidak pernah kekurangan cemilan, entah itu beliau beli, ataupun beliau buat sendiri.
Dan, hal yang paling menyenangkan dari beliau, saat beliau pulang, semua karyawan akan dapat uang dari beliau. Sehingga hal menyebalkan yang terjadi selama beliau terkunjung bisa terlupakan, matre ya kami, tapi itulah, bagi karyawan seperti kami, uang lima puluh ribu itu sangatlah berarti.
"Pagi, Na." Seseorang duduk di kursi di hadapanku, ada meja kasir yang menghalangi di antara kami.
"Selamat pagi, Pak Aksan. Bagaimana kabarnya, Pak?" Aku tersenyum untuk menyambut konsumen pertama kami hari ini.
"Alhamdulillah, baik, Na. Wajahmu pucat, Na, sakit?"
"Tidak, Pak, cuma kurang enak badan saja," jawabku.
"Terlalu banyak 'main' ya, Na?" Pertanyaan menggoda itu hanya aku jawab dengan tawa.
"Selamat pagi, Pak Aksan, ingin minum apa? Atau ingin sarapan juga?" Tawar Aida. Di pencucian mobil kami memang dilengkapi dengan menu makanan, dan minuman. Dan, itu menjadi bagian Aida untuk menawarkan, pada setiap konsumen yang datang.
"Boleh, kamu sudah sarapan, Na, kalau belum biar sarapan sekalian," tawar Pak Aksan, beliau menggeluti bisnis batu bara, usia beliau lima puluhan, istri beliau tiga. Beliau seringkali tanpa sungkan menceritakan banyak hal padaku, dan Aida. Orangnya humoris, tapi seringkali kalau bicara, menyerempet hal-hal m***m.
"Terima kasih, Pak, saya sudah sarapan," sahutku.
"Itu tanya yang lain, Da, mungkin ada yang belum sarapan, biar aku bayar sekalian," ucap beliau pada Aida.
"Ummm Pak Aksan, yang lain ditawarin sarapan, saya kok tidak?" protes Aida, Pak Aksan tertawa, kalau beliau tertawa, terlihat lebih muda dari usianya.
"Tentu saja kamu boleh juga kalau mau, Da."
"Terimakasih Pak. Eeh, ini Pak Aksan minum kopi s**u seperti biasakan? Makannya apa, nasi kuning? Nasi kebuli? Atau nasi samin?"
"Nasi kebuli saja"
"Siap Pak!"
Aida segera pergi meninggalkan kami.
"Apa kabar Bu Haji, Pak?" Tanyaku sekedar berbasa basi.
"Bu Haji yang mana nih? 1, 2, atau 3?" beliau balik bertanya, aku tersenyum mendengarnya, begitu ringan beliau mengucapkannya, seakan tak pernah ada beban dalam hidup beliau.
"Tiga-tiganya, Pak."
"Alhamdulillah, tiga-tiganya sedang umroh bersama kedua orang tua mereka, anak-anak kami, dan saudara-saudara mereka."
"Ooh, Pak Aksan kenapa tidak ikut?"
"Sengaja, Na, untuk memberi kesempatan mereka, bersama keluarga mereka masing-masing."
"Bapak baik sekali ya," gumamku tanpa sadar.
"Hidup cuma satu kali, Na, Allah luar biasa baik padaku, apa lagi yang harus aku cari. Kalau bisa, aku ingin sisa hidupku ini, di gunakan untuk membuat orang lain bahagia."
"Bu Haji, semuanya wanita hebat ya, Pak, bisa lapang d**a berbagi suami."
"Alhamdulillah, istri pertamaku bisa membimbing istri-istriku yang lainnya, dan istriku yang lain menurut dengan bimbingan istri pertamaku. "
"Tidak ingin tambah istri lagi, Pak?" Tanyaku hanya sekedar bercanda saja. Pak Aksan tertawa mendengar candaanku.
"Aku akan tambah istri, kalau kamu mau jadi istriku, Na."
Kali ini aku yang tertawa, aku gelengkan kepalaku mendengar candaan Pak Aksan.
"Pak Aksan ini, kalau saya iyakan, Bapak jadi pebinor, saya jadi pelakor dong, Pak"
"Klop dong kita, iyakan. Ini serius, Na, kalau kamu mau menjadi istriku, akan kubuatkan pencucian mobil seperti ini untukmu, atau kamu ingin usaha apa, aku modali, rumah beserta isinya aku berikan, plus mobil, dan supirnya, Na. Urusan ranjang, kamu jangan khawatir, kamu pasti akan terpuaskan, Na."
"Apanya yang terpuaskan, Pak?" Aida sudah berada di dekat kami. Pak Aksan hanya tertawa mendengar pertanyaan Aida.
"Itu, istri-istriku, selalu terpuaskan dengan goyanganku," jawab Pak Aksan dibarengi dengan tawa beliau. Aku hanya tersenyum, dan saling pandang dengan Aida.
"Sarapannya sudah siap, Pak, silakan" ucap Aida.
"Terimakasih, Da, aku sarapan dulu, Na. Benar kamu tidak ingin sarapan?"
"Tidak Pak, terima kasih," jawabku.
"Ayo, Da, temani aku ngobrol sambil sarapan." Pak Aksan menjawil tangan Aida.
"Ongkos ngobrolnya mahal loh, Pak," ujar Aida becanda.
"Gampang diatur, Da," sahut Pak Aksan sembari kembali tertawa.
Ku tatap punggung dua orang yang meninggalkan aku, menuju cafe yang masih berada satu bangunan dengan tempat pencucian mobil. Hal-hal seperti ini yang membuatku betah bekerja di sini. Dan bisa menghapus sementara kesedihan hatiku. Teman kerja yang baik, Bos yang baik, konsumen yang baik. Masih banyak orang baik di sekitarku. Yang bisa membuat aku tersenyum, dan tertawa, menggantikan sesak d**a yang harus aku terima, di rumahku, yang tidak pernah menjadi istanaku.
BERSAMBUNG