Setelah makan malam. Maya duduk di kursi belajar. Maya membuka buku-buku kuliah milik Maia. Maya tidak ingin bersantai-santai saja, menikmati hidupnya yang menjadi orang kaya. Maya punya tujuan, untuk membuat Maia dipandang orang, bukan hanya sekadar dicap sebagai anak manja yang tidak bisa bergaul dan tidak bisa apa-apa. Maya ingin membungkam Baskara dalam segalanya. kesuksesan yang nantinya diraih Maia, pasti akan meruntuhkan harga diri Baskara yang selama ini hanya menganggap Maia sebagai anak manja dan tak bisa apa-apa. Berjuang dan berusaha untuk meraih tujua, bukan sesuatu hal yang baru bagi Maya. Sejak berpisah dengan Yanuar, dirinya sudah menjadi pejuang tangguh. Ia harus berjuang untuk menafkahi dirinya sendiri. Dan itu tidak mudah dengan label janda yang di sandangnya. Apalagi adanya hembusan fitnah dari mertua dan istri baru mantan suaminya.
Selama ini Maya cukup tegar menghadapi semuanya. Namun peristiwa memilukan saat ia diperkosa itu meluluh lantakkan jiwanya. Sehingga ada pikiran untuk mengakhiri hidupnya.
Maya terus mempelajari buku kuliah milik Maia. sekolahnya memang hanya sampai SMA, tapi Maya termasuk murid yang berprestasi. Ia selalu masuk dalam deretan 5 besar di sekolahnya. Hanya nasib yang membuatnya tidak bisa melanjutkan pendidikan. Padahal Maya sangat ingin merasakan bagaimana menjadi seorang mahasiswi. Dan sekarang, harapan itu menjadi kenyataan. Meski bukan tubuhnya yang melakukan, tapi jiwa dan pikirannya yang menjalankan.
Sebelum tidur Maya menyusun rencana apa yang akan ia lakukan besok. Pagi hari tentu ia akan sarapan. Maya tidak tahu apakah Baskara akan sarapan juga bersamanya. Berdebat dengan Baskara dan menentang apapun yang Baskara katakan menjadi sesuatu yang mengasyikkan bagi Maya. Dulu, saat mereka masih SMA, Maya tidak punya keberanian melakukan itu. Maya tidak tahu, kenapa dulu Baskara bisa sekolah di tempat yang sama dengannya. Sedangkan orang tua Baskara tinggal di kota dan menjadi kepercayaan orang tua Maia, seperti yang dikatakan oleh Bi isti kepadanya.
"Ya Tuhan. Aku sadar perjuanganku ini tidak akan mudah. Tolong bantu aku tetap tegar dan berada di jalan yang benar. Aku tidak ingin hancur karena kebencian, tapi rasa sakit yang pernah dia berikan harus aku balaskan. Agar dia tidak lagi berkata tajam, tidak angkuh, tidak sombong, dan bisa menghargai wanita. Bantu aku membalaskan sakit hati para wanita yang terluka karena Baskara."
Maya berusaha untuk tidur. Beristirahat dengan tenang, agar besok tubuhnya sehat dan bisa melaksanakan rencana yang sudah ia susun.
Pagi hari ia akan pergi kuliah.
Pulang kuliah ia akan ke cafe. Maya ingin melihat bagaimana orang bekerja di cafe. Maya ingin tahu cafe seperti apa yang dimiliki oleh ibu Maia.
Balas dendam pada Baskara perlahan saja. Tidak usah tergesa. Tidak juga harus ditampakkan dengan terang-terangan. Ia akan menjadi semut yang masuk ke dalam lipatan pakaian, lalu menggigit dan lari tanpa bisa ditemukan. Meninggalkan rasa panas dan gatal yang akan sulit disembuhkan.
*
Pagi hari Maya ke luar kamar langsung menuju ruang makan. Tadi malam Bi Isti sempat bertanya, menu sarapan apa yang ia inginkan. Maya mengatakan, apapun yang dihidangkan akan ia makan.
Di atas meja sudah ada nasi goreng dan telur ceplok. Maya duduk di kursi makan. Ia tidak menunggu Baskara untuk menikmati sarapan. Karena tidak punya kepastian, apakah Baskara akan ikut sarapan juga.
Ternyata Baskara turun dari lantai atas, kemudian duduk di kursi makan seberang Maya.
"Selamat pagi, Tuan Baskara."
"Selamat pagi. Kau tidak perlu memanggilku dengan sebutan Tuan begitu."
"Oh, maaf. Lalu saya harus memanggil anda apa?"
"Panggil saja aku seperti kamu memanggilku sebelum kecelakaan."
"Saya memanggil anda apa?"
"Om Aska."
"Om Aska. Baiklah."
"Kamu mau ke mana?"
"Apakah pertanyaan itu pernah anda lontarkan kepada saya sebelumnya?"
"Kenapa bertanya seperti itu?"
"Saya hanya penasaran saja."
"Kamu tidak pernah keluar rumah selain ke kampus. jadi untuk apa aku bertanya, kamu mau ke mana. Sudah pasti kamu mau pergi kuliah."
"Lalu kenapa anda bertanya pada saya? Sedangkan anda tahu saya lupa segalanya. Apa yang bisa dilakukan oleh seorang wanita yang sedang lupa, bahkan nama sendiri saja tidak ingat."
"Aku pikir kamu mungkin saja ingin ke rumah sakit."
"Saya baru pulang dari rumah sakit kemarin. Tidak mungkin saya pergi ke rumah sakit hari ini."
"Kamu benar-benar berubah seratus delapan puluh derajat."
"Saya tidak berubah. Saya hanya lupa seperti apa saya sebelumnya. Daripada saya bingung dan sakit kepala mengingat seperti apa saya, lebih baik saya hadirkan saya dalam sosok yang berbeda."
"Huh! Lakukan saja apa yang ingin kamu lakukan. Aku tidak peduli."
"Terima kasih karena memberi aku kebebasan. Artinya aku tidak perlu pamit kalau ingin ke mana-mana. Aku tidak perlu mengirim pesan, kalau aku tidak pulang ke rumah."
"Hah! Apa kamu punya keberanian melakukan itu. Ruang gerakmu hanya rumah ini dan kampusmu. Sejauh apa kamu bisa pergi. Sebesar apa keberanianmu berkeliaran di luar sana. Kamu boleh merasa jiwamu baru, tapi tubuhmu tetap sama. Ringkih dan tidak bisa bertahan dari hal buruk di luar sana."
"Kita lihat saja nanti."
Selesai sarapan.
Baskara pergi lebih dulu ke kantornya. Sementara Maya diantar Pak Isman ke kampus. Selama ini Pak Isman yang membantu Maia mengurus kuliahnya. Pak Isman juga sudah memberitahu pihak kampus saat Maia kecelakaan, dan kehilangan ingatan. Pak Isman membantu Maya di hari pertama kuliahnya. Perasaan Maya berkecamuk dengan berbagai hal. Ada rasa terharu karena impiannya di masa lalu kini menjadi kenyataan. Ia bisa menjejakkan kakinya di kampus dan menjadi salah satu mahasiswi di perguruan tinggi. Namun ada satu hal yang membuatnya sedih, tak ada satupun mahasiswa atau mahasiswi yang menanyakan keadaannya. Semuanya bungkam hanya sekadar menatapnya, seakan ia orang aneh, atau orang yang mengidap penyakit menular. Itu membuktikan, kalau Maia memang tidak punya siapa-siapa. Tidak lagi punya orang tua, dan tidak punya teman untuk berbagi rasa. Maia seperti terisolir dari apapun juga. Maya tidak tahu, apakah itu memang keinginan Maia sendiri, atau lingkungan yang menuntutnya seperti itu.
Di hari pertama kuliah, Maya cukup mampu menangkap mata kuliah yang disampaikan dosen. Saat menatap teman satu ruangannya, Maya tersenyum sendiri, karena merasa dirinya paling tua di sana. Meski raganya masih muda. Untungnya meski usianya sudah riga puluh lima tahun, Maya masih memiliki jiwa muda, karena pergaulannya di kampung tidak hanya dengan emak-emak seumurannya saja, tapi juga dengan para mamah muda dan para gadis di sana. Jadi Maya cukup update mengetahui tentang berbagai berita dan sebagainya.
Pulang kuliah.
Maya dijemput oleh pak Isman dan Bik Isti. Mereka ada janji untuk pergi ke cafe milik ibu Maia hari ini. Kedatangan ke cafe tanpa janji. Maya ingin melihat sesuatu yang tidak diatur karena kedatangannya. Maya tidak ingin para karyawan di sana terlihat sempurna, hanya karena ia akan datang.
*