Di dalam mobil menuju pulang ke rumah.
"Bik siapa nama lengkap manajer cafe?" Maya bertanya pada Bik Isti.
"Cindy Novrianti, Non. Ada apa, Non? Apa Non menemukan sesuatu yang tidak beres di cafe?" Bibi balik bertanya karena penasaran.
"Aku hanya ingin tahu saja, Bik. Berapa usia Cindy?" Maya merasa belum waktunya mengungkapkan apa yang ia dengar dari pelayan cafe tadi. Maya ingin semuanya lebih jelas dulu. Tidak bertindak hanya karena laporan dari karyawan cafe saja.
"Mungkin tiga puluh tahun, Non."
"Apakah sudah berkeluarga?" Maya ingin mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya tentang Cindy.
"Belum. Saya dengar dari obrolan ibu dan teman-temannya, Cindy tidak mau menikah. Karena merasa sudah mapan tanpa pernikahan." Bibi memberikan penjelasan seperti yang ia dengar dari ibunya Maia saat mengobrol dengan teman-temannya.
"Oh begitu. Jadi dia tidak memiliki hubungan dengan pria?"
"Tentang itu saya tidak tahu, Non."
"Baiklah. Terima kasih, Bik."
"Saya senang, Non mulai memperhatikan usaha yang ibu tinggalkan. Saya juga senang, Non tidak terlihat murung seperti sebelum kecelakaan."
"Aku tidak tahu seperti apa aku dulu. Jadi aku putuskan untuk menjadi sosok baru saja, daripada aku pusing mengingat seperti apa aku." Maya memberikan penjelasan tentang tindakannya saat ini.
"Tidak apa, Non. Yang penting Non tetap bersemangat untuk hidup. Jangan lagi merasa tidak ada yang sayang sama Non. Kami berdua sangat menyayangi Non."
"Terima kasih, Bik."
Maya menatap ponsel Maia di tangannya. Ponsel itu tidak memakai password. Sehingga Maya bisa membuka ponsel itu sejak masih di rumah sakit. Tidak ada satupun aplikasi sosial media di ponsel Maia. Hanya ada w******p saja. Itupun kontak yang tertera hanya beberapa nama saja. Ini membuktikan bahwa Maia sangat parah sifat tertutupnya.
Maya sudah mendownload beberapa aplikasi sosial media. Maya mengetik Nama Cindy Novrianti. Pencariannya langsung diarahkan ke beberapa aplikasi sosial media atas nama Cindy. Maya dengan sabar memeriksa semua sosial media milik Cindy. Pertama Maya membuka i********:.
"Bik, apa ini yang namanya Cindy, manajer cafe?" Maya menyodorkan ponsel di tangannya pada bibi yang duduk di depan bersama Pak Isman.
"Iya betul. Ini Bu Cindy, manajer cafe."
Bibi menyerahkan kembali ponsel pada Maya.
"Postingannya banyak menampilkan tentang liburan ke berbagai tempat, bahkan sampai ke luar negeri. Terutama postingan setahun terakhir. Ibuku sudah berapa bulan meninggal, Bik?"
"Delapan bulan. Beberapa hari setelah Non menikah," jawab Bik Isti.
"Oh. Apa ibu sakit?" Tanya Maya.
"Iya. Sebelum meninggal, ibu sudah beberapa bulan ibu bolak balik ke rumah sakit." Bibi menjelaskan tentang kondisi ibu Maia.
"Aku ingin ziarah ke makam ibu, Bik."
Tiba-tiba saja hal itu terbersit di benak Maya.
"Sekarang, Non?" Tanya Bik Isti.
"Iya, Bik."
"Baik, Non."
Maya kembali memperhatikan sosial media milik Cindy.
"Bik. Kalau Cindy pergi liburan, siapa yang mengurus cafe?"
"Ada wakilnya. Namanya Mas Agung, masih ada hubungan keluarga dengan Tuan Baskara."
"Oh." Maya mengangguk-anggukkan kepala.
"Agung siapa nama panjang nya?"
"Agung siapa, Pak?" Bik Isti bertanya pada Pak Isman.
"Agung Mulyadi kalau tidak salah."
"Agung Mulyadi ya."
Maya mengetik nama Agung Mulyadi di pencarian. Maya menyelidiki Agung lewat sosial media pria itu. Maya menemukan i********: Agung. Ada beberapa postingan Agung yang berlokasi di cafe. Sehingga Maya yakin i********: yang sedang ia buka benar milik Agung.
Di postingan Agung memang tidak terlihat momen liburan seperti milik Cindy. Tapi Agung lebih banyak memposting tentang kedekatannya dengan beberapa perempuan. Kalau dilihat dari postingannya, Maya menilai, Agung pria yang royal pada wanita. Karena banyak momen saat Agung memberikan hadiah pada beberapa wanita.
'Bagaimana cara aku untuk menyelidiki kehidupan keluarga mereka. Aku harus tahu, apakah mereka memang dari keluarga berada yang sudah kaya raya, atau hanya keluarga biasa. Ini penting untuk mengetahui, darimana uang yang mereka pakaian untuk liburan dan foya-foya. Jangan sampai aku menuduhkan sesuatu yang salah pada orang. Semua harus ada bukti dan alasan. Tidak bisa asal tuduh mereka menggelapkan bonus karyawan. Walau sudah ada karyawan yang bersaksi tentang hal itu. Masalah seperti ini harus diselesaikan dengan hati-hati. Ehm, kenapa aku tiba-tiba punya jiwa detektif? Apa mungkin karena sejak dulu aku sering nonton film detektif di televisi. Baiklah, Maya, selamatkan apa yang bisa kamu selamatkan dari milik Maia dan keluarganya.'
Sebelum tiba di pemakaman mereka membeli air doa dan bunga untuk di makam. Tiba di makam, mereka bertiga ke luar dari mobil dan langsung menuju pusara orang tua Maia. Pusara ayah dan ibu Maia berdampingan. Sehingga mereka bisa langsung menziarahi kedua makam tersebut.
Pak Isman membawa kursi kecil yang ada di bagasi mobil agar mereka bisa duduk di samping pusara. Pusara kedua orang tua Maia tampak bersih dan masih ada bunga di atasnya.
Setelah selesai berdoa mereka beranjak pulang.
Di dalam mobil.
"Siapa yang sering datang ke sini, Bik?"
"Selain kami berdua. Biasanya ada utusan Pak Basuki. Ayah Tuan Baskara."
"Kenapa beliau tidak mengunjungi aku di rumah sakit?"
"Pak Basuki saat ini sedang menderita stroke. Sudah satu bulan lebih beliau hanya berbaring saja. Itu informasi yang saya dengar dari teman saya yang ART di rumah Pak Basuki."
"Oh. Kalau istrinya bagaimana?"
"Istri Pak Basuki baru meninggal setahun lalu. Itu ibu tiri Tuan Baskara. Kalau ibu kandung Tuan Baskara meninggal sejak Tuan Baskara kelas tiga SMA."
"Oh. Apa Tuan Baskara asli orang Jakarta?"
"Pak Basuki iya. Sedang ibu Tuan Baskara dari kampung. Mereka bercerai saat Tuan Baskara SMP. Setelah bercerai istri Pak Basuki pulang ke kampung orang tuanya dengan membawa Tuan Baskara."
"Oh. Kampung mana, Bik?"
"Saya kurang tahu, Non."
'Jadi itu kenapa Baskara bisa sekolah di SMA yang sama dengan aku. Ternyata dia korban perceraian orang tuanya. Harusnya dia bisa lebih menghargai istrinya karena melihat perjuangan ibunya. Tapi kenapa dia bisa begitu tega pada Maia. Baskara tidak berusaha menarik Maia ke luar dari dunianya yang sepi. Tapi justru semakin menghadirkan kesepian dan kesedihan di dalam hidup Maia. Kau itu pria biadab, Baskara. Mulut dan sikapmu terlalu tajam bagi seorang manusia. Kau pantas dimasukkan ke dalam golongan iblis penghuni neraka! Kau harus membayar setiap tetes air mata para wanita yang kau sakiti hatinya!'
Maya semakin geram pada Baskara. Tidak sepantasnya Baskara mengabaikan Maia. Harusnya Baskara bisa mengeluarkan Maia dari dunianya yang sepi, bukan justru semakin menenggelamkan Maia dalam kesendirian. Membayangkan Maia menangis dalam sepi dan kepedihan hati, membuat Maya meneteskan air mata.
*