7. Menjadi Rumit

2254 Kata
Aku mengeratkan blazerku ketika angin berembus kencang. Tadi di bawah aku merasa gerah dan ingin segera mandi, tetapi saat ini justru sebaliknya. Aku agak mengigil karena kedinginan. “Saya minta maaf karena sudah membawamu pada situasi ini.” Suara itu membuatku menoleh. “Dia kakak saya, tapi beda ibu. Itu kalau kamu penasaran.” “Ah ...” aku hanya megangguk pelan. Sebetulnya banyak hal yang ingin aku ketahui, tetapi aku dan Mas Alan tak sedekat itu sampai harus membahas masalah pribadi. Jangankan dekat, berteman pun kami tidak. “Saya membawamu ke sini untuk mengindar sejenak. Jika suatu saat dua manusia gila itu datang lagi, abaikan saja.” “Tadi saya mau mengabaikan, tapi mereka yang ngajak bicara dulu. Ternyata mereka masih ingat saya.” “Kalau suatu saat ada seperti ini lagi, menghindarlah sampai mereka tidak melihatmu.” Aku mengangguk. “Lain kali saya coba.” Hening sesaat. “Atau lapor satpam saja mendingan. Larang mereka naik. Bilang saja sudah pindah meski aslinya enggak. Atau kalau mau pindah betulan juga bagus, sih.” Mas Alan menatapku tajam. “Kamu berharap itu?” Aku tak menjawab. Jawabannya tentu iya. Aku berharap dia pindah dari unit sebelah dan kami tidak lagi bertetangga. Aku akan mengadakan syukuran kalau sampai itu terjadi dalam waktu dekat. “Saya tidak akan pindah hanya karena alasan cemen seperti itu.” “Ya sudah, terserah. Yang penting sudah tahu konsekuensinya.” Aku mengeratkan blazer sekali lagi. Ngomong-ngomong, Mas Alan mengajakku naik ke rooftop apartemen. Bentuknya hanya seperti tempat kosong, tetapi ada beberapa bangku panjang dan ayunan. Sejak tadi kami duduk satu bangku, tetapi saling berjauhan. “Saya mau turun sekarang. Di sini dingin banget!” “Tunggu lima sampai sepuluh menit lagi.” “Enggak kuat. Dingin banget di sini. Saya juga lapar.” Aku tetap beranjak lalu bergegas menuju pintu masuk. Namun, lengan atasku sudah lebih dulu ditahan. Aku segera menepisnya kuat. “Jangan pegang-pegang!” “Obrolan kita belum selesai.” “Memangnya kita cukup dekat untuk ngobrol banyak hal?” “Rupanya kamu sedendam itu ke saya?” “Kalau iya kenapa?” Mas Alan memejamkan mata sejenak. Dia juga menghela napas panjang. “Besar kemungkinan kakak saya akan melapor tentang foto itu ke orang tua saya.” “Lalu? Jadi urusan saya, gitu? Yang minta bersandiriwara siapa? Tanggungjawab sendirilah!” “Kamu belum paham rupanya.” “Paham apa, sih?” Aku langsung mundur ketika Mas Alan maju mendekat. “Kamu anak Pak Juna, kan? Dan sekarang kamu adalah pimpinan MW yang baru, kan? Dari awal, nama belakangmu itu tidak asing di telinga saya.” “Dih! Stalking?” “Karena saya harus tahu siapa cewek gila yang tiba-tiba menganiaya saya.” “Berlebihan banget pakai istilah menganiaya. Saya enggak gebukin juga!” Enak saja. Hanya dua tendangan sudah dianggap menganiaya! “Sekarang dendammu sudah terbalaskan?” “Belum! Saya masih pengen geprek kakak tingkat yang tidak punya adab itu.” “Geprek? Kamu perlu kaca? Badan seperti botol yakult saja sok-sokan.” Aku mendelik. “Penghinaan banget—” “Stop! Bahasan tidak penting ini stop dulu! Sekarang kembali ke bahasan awal. Kamu pasti sudah tahu siapa saya di Bumi-Tech dan kamu tahu sendiri posisimu di MW. Kamu kira kalau sampai foto tadi tersebar, kita akan baik-baik saja, begitu?” Ah! Benar juga. “Tapi kan hapenya udah diremukin. Saya yakin udah enggak terselamatkan.” “Lalu bagaimana kalau mereka punya salinannya?” “Ya pokoknya Mas Alan yang tanggung jawab! Saya kan cuma nurut demi dapetin hape saya balik! Kenapa pula saat itu harus pura-pura pacaran? Ada urgensi apa sebenarnya?” “Bukankah katamu kita tidak cukup dekat untuk saling bercerita banyak hal?” “Betul. Betul sekali. Sebenarnya saya juga enggak mau tahu soal ini. Ya sudah, begini saja. Intinya saya enggak mau ikutan lagi.” “Tapi kamu sudah terlanjur terlibat. Kamu tetap akan terseret sekalipun tidak mau.” Aku menggeram tertahan. “Kenapa jadi orang nyebelin banget, sih? Meriang, gitu, kalau enggak bikin kesel? Udah tua bukannya tobat malah—” “Kamu bilang apa? Saya tua?” “Iya. Tua. Beda berapa umur kita? Empat tahun? Lima tahun? Sekali lagi saya tekankan Pak Alan yang terhormat. Saya enggak mau ikut campur lagi soal foto itu. Jika pada akhirnya memang tersebar, urus sendiri.” “Termasuk itu jika headline beritanya, ‘siapa sangka jika pimpinan MW rela datang ke Bumi-Tech demi menemui pacarnya? Apakah dia sangat mencintai pacarnya? Dan apakah dua perusahaan ini akan menjadi besan?’ Kamu siap dengan itu semua?” Mendengar itu, darahku rasanya mendidih. “Itu enggak akan terjadi!” “Tapi bagaimana jika terjadi? Kamu tentu akan lebih malu daripada saya karena kamu yang datang ke kantor saya.” “Tinggal bilang apa adanya, selesai. Ponsel tertinggal.” “Kamu kira media akan percaya?” “Percaya atau tidak, itu bukan urusan saya. Toh kita juga bukan artis. Siapa yang peduli?” Karena aku tidak ingin semakin lama di atap, aku segera masuk dan bergegas menuju lift. Mas Alan ternyata menyusul. Aku segera bergeser ke pojok karena enggan berdekatan dengannya. Baru saja lift mulai turun, tiba-tiba perutku berbunyi sangat keras. Aku langsung jongkok untuk menyamarkan suara itu. Namun, bukannya tersamarkan, suara itu malah semakin menjadi. Keras dan berulang-ulang. Aduh! “Berapa abad tidak makan?” Aku tidak menjawab. Begitu lift tiba di lantai tempat unit kami berada, aku segera keluar dan berlari. Aku buru-buru menekan password pintu apartemen dan bergegas masuk. Oh, ya ampun! Sungguh memalukan! *** “Udah macam satu tahun enggak makan, Vin.” Sisil mengomentari porsi makan malamku yang menggunung. Dia sudah makan lebih dulu karena aku lama di atas. Dia juga sudah mandi dan ganti baju. Aku sendiri baru saja mandi dan langsung makan. Aku bahkan belum sisiran. Rambutku masih terlilit handuk. “Laper maksimal, Sil.” “Btw, kamu banyak utang cerita soal tadi, tapi aku enggak mau tanya dulu sampai makan malammu habis.” Aku hanya mengangguk karena sedang sibuk mengunyah. Kalaupun Sisil memaksa untuk cerita sekarang, aku juga tidak akan menjawab. Nasib perutku jauh lebih penting. “Besok aku mau ngantor siang—“ “Kerjaan numpuk.” Sisil membalas cepat. “Oh, iya.” “Maksimal banget jam sembilan harus udah berangkat, Nyah.” “Hm!” Sisil kini duduk di depan TV. Tadi begitu aku masuk, semua sudah dia rapikan. Dia menata semua belanjaan dan semua makanan yang tadi kami beli ke tempat yang seharusnya. “Sil ...” “Apa?” dia membalas tanpa menoleh. “Seberapa rivalnya merusahaan kita sama punya Mas Alan?” “Eh?” kali ini Sisil langsung menoleh. “Manggilnya pakai Mas?” Senyum Sisil langsung penuh maskud. “Enggak usah berlebihan, deh. Kasir indomaret juga aku panggil Mas!” “Tapi tuh, Vin, sekalipun sama-sama kata Mas, feel-nya bisa beda jauh.” “Penting banget, bahas feel? Cepet jawab pertanyaanku barusan!” Sisil beranjak dari tempatnya, lalu mencomot cemilan yang ada di atas meja. Dia menatapku lurus-lurus. “Bener-bener rival. Dan kamu tahu kan, Bumi-Tech itu udah terkenal sampai luar negeri? Mau produknya, layanannya, dan lain-lainnya, sudah kredibel banget?” “MW juga, kok. Udah sampai luar negeri.” “Ya tahu. Aku lagi bahas si Bumi. Aku enggak bilang punya kita jelek. Bagus, udah bagus banget. Kalau enggak bagus, udah lama aku berpaling. Cuma emang, kalau dibanding si Bumi kita masih di bawah mereka.” “Ada kemungkinan kita bisa mengalahkannya?” “Kalau bicara kemungkinan akan selalu ada, Vin. Tapi mungkin probabilitasnya enggak tinggi. Misal kita bisa berada di titik yang sama dengan mereka aja, itu udah bagus.” Aku manggut-manggut. “Aku juga mikir gitu. Kalaupun enggak bisa lebih unggul, minimal samalah.” “Nah! Dan kalau lihat aspek lain, ada sesuatu yang ingin aku kejar.” “Apa itu?” “Aku ingin, kita yang notabene sama-sama cewek bisa mengembangkan perusahaan IT. Yang mana, IT biasanya dikuasain para cowok. Bumi-Tech kan Kak Alan yang pegang, sekretarisnya itu juga setahuku cowok. Itu teman dia. Adik tingkat, sih, lebih tepatnya.” “Kamu tahu dari mana?” Sisil meringis lebar. “Stalking-lah! Jagonya, ini!” “Dasar!” “Jangan ragukan kemampuan stalking kaum hawa.” Sisil terkekeh. “Emang kamunya aja yang penyelam handal.” Makan malamku akhirnya selesai. Aku cuci tangan, lalu duduk di sofa. Sisil yang tadinya masih di meja makan langsung berlari menyusul. “Buruan cerita tentang kamu dan Kak Alan. Perkara kalian mau pacaran beneran atau enggak, itu urusan belakangan. Aku mau tahu dulu kenapa kalian sampai ada di titik tadi. Enggak mungkin ada asap kalau enggak ada api.” “Kayaknya Vape itu enggak ada apinya, Sil?” “Vina! Ini cuma perumpamaan!” “Ape lu, naikin suara ke atasan?” Sisil menatapku gemas. “Paduka Ratu Vina yang sangat cantik jelita, mohon kiranya paduka ratu bercerita tentang—“ “Iya, aku cerita. Dengerin baik-baik dan jangan dipotong.” “Oke, siap.” Aku menegakkan badan, menatap kosong ke arah TV, lalu mulai bercerita. Aku sengaja cerita tanpa menatap Sisil. Aku cerita sambil membayangkan detail alur yang terjadi kala itu. Sisil mendengarkan ceritaku dengan saksama. Sesekali dia bertanya, dan aku menjawab dengan jujur. Aku tidak menutupi apa pun lagi darinya. “Udah. Kurang lebih gitu ceritanya.” “Kak Alan emang nyebelin banget, tapi kamu juga salah tiba-tiba nendang orang sampe memar. Apalagi orang itu awalnya enggak ingat kamu. Udah bertahun-tahu pula, Vin.” “Ya soalnya kesel. Refleks aja waktu lihat wajahnya.” “Jangan terlalu kesel. Nanti suka.” “Dih! Itu lagi.” Sisil membuka salah satu bungkus cemilan, lalu mulai memakannya. “Tahu enggak, sih, Vin ....” “Apa?” “Bisa kenal kamu itu aku anggep sebuah anugrah—“ “Kok tiba-tiba ganti topik? Enggak usah lebay juga—“ “Jangan disela dulu!” “Iya, iya. Lanjut!” “Aku anggap ketemu kamu itu sebuah anugrah karena kamu selalu baik dan enggak pernah lihat latar belakangku. Padahal, latar belakang kita itu kaya bumi dan langit. Kamu itu udah anak orang kaya, cantik, pinter, masih baik juga. Kamu jadi orang serakah banget, aku sampai ngerasa gitu. In a good way, tapi, Vin. Terus aku sering kepikiran kaya gini. Siapa cowok beruntung yang nanti bakal dapetin kamu? Sejauh ini aku ngerasa belum ada yang cocok dan pantas sampai aku ingat seseorang.” Aku mencium bau-bau tidak beres. “Jangan bilang, seseorang itu Mas Alan?” “Iya. Betul banget.” Sisil nyengir. “Tunggu! Jangan emosi dulu. I’ts ok, aku enggak akan maksain pendapatku. Mungkin juga akunya aja yang kurang banyak ketemu cowok paket lengkap macem Kak Alan. Aku ngerasa kalian cocok aja. Eh, cocok banget, ding.” “Banyak, Sil, cowok yang lebih baik dari dia.” “Banyak juga cewek yang lebih baik dari kamu. Karena konsepnya memang di atas langit masih langit. Tapi aku enggak lagi bahas siapa yang lebih baik, tapi siapa yang menurutku cocok buat paduka ratu satu ini.” “Soalnya kamu belum lihat betapa menyebalkannya dia, Sil. Kamu kenal dia sebagai Kak Alan si mentor yang baik, dermawan, dan segala hal yang bagus-bagus, termasuk itu nawarin kamu gabung di kantornya. Kamu belum pernah lihat betapa menyebalkannya dia saat mengabaikan orang yang butuh dan masih bertindak semaunya sendiri.” “Ok, sekarang dibalik. Kamu juga baru lihat sisi buruknya. Kamu belum pernah lihat betapa perhatiannya dia ke aku, Agil, sama Seno yang notabene cuma adik tingkatnya. Padahal, kami kasih untung ke dia juga enggak. Yang ada kami cuma ngrepotin.” “Tapi kan kalau dia memang baik, harusnya enggak seenaknya gitu mengabaikan orang. Dia bisa nolak baik-baik.” “Siapa tahu saat itu dia lagi dalam suasana hati yang buruk dan kamu bikin dia tambah bad mood?” “Kek cewek PMS aja, gampang bad mood!” “Idiiih!” Sisil menyikut lenganku. “Cowok juga manusia, keleees!” Jujur, aku masih sulit menerima ucapan Sisil. Ya, katakan saja aku yang pendendam. Jangan paksakan hatiku langsung berubah. Aku memendam rasa jengkel ini sudah bertahun-tahun. “Saranku jangan terlalu benci, Vin.” Sisil tersenyum, tetapi entah kenapa senyumnya kali ini terlihat menjengkelkan. “Soalnya, benci dan cinta itu batasnya tipis. Tipiiis banget” “Nanti aku tebelin.” “Dih! Dasar bebal! Oh, ini kekuranganmu. Memang benar, enggak ada manusia yang sempurna.” Aku tak menyahut lagi dan memilih untuk merebut cemilan dari tangan Sisil. Sisil pasrah, lalu dia beranjak menuju kamar satunya. Apartemen ini memang memiliki dua kamar tidur. Satu kamar utama kupakai sendiri, satu kamar lagi untuk tamu yang menginap. “Aku mau tidur dulu, Vin. Capek.” “Ya.” Setelah Sisil menutup pintu, aku termenung sendirian di sofa. Aku tidak akan memikirkan kata-katanya. Dia tidak tahu apa yang kurasakan, jadi dia tidak akan paham. Beberapa saat berlalu, tiba-tiba ponselku menyala sesaat. Ada pesan masuk dari seseroang. “Eh, kok nomor baru?” 0857xxxxxxxx [5 foto] Aku langsung mendelik begitu melihat semua foto-foto itu. Kelima-limanya adalah foto saat aku di ruangan Mas Alan. Ada saat aku sedikit cemberut, tetapi ada pula saat aku tersenyum lebar. Kalau begini caranya, kami benar-benar terlihat seperti orang pacaran! Beberapa pesan kembali masuk. 0857xxxxxxxx Ini nomor saya, nomor pribadi. Yang kemarin nomor cadangan. Besok perlu kita bicarakan soal foto-foto ini. Mau ketemu di mana? Aku mengklik foto profil, ternyata ini nomor Mas Alan. Bahu yang semula menegang, langsung terkulai lemas. Kupikir ini nomor kakaknya atau orang suruhan kakaknya. Ternyata dia sendiri. Sebentar, tapi bagaimana dia bisa mendapatkan foto-foto ini? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN