“Pulang awal, Vin?” tanya Sisil ketika melihatku berkemas. Dia memang sedang berada di ruanganku karena seharian ini dia membantuku menyelesaikan pekerjaan agar selesai dengan cepat.
“Iya, soalnya agak capek dari kemarin kerja rodi.” Ini adalah jawaban bohong. Pasalnya, yang benar adalah jam tiga aku ada janji bertemu Mas Alan untuk membicarakan lebih lajut soal foto-foto yang semalam dia kirim.
Mas Alan mengajakku bertemu di salah satu restoran private pilihannya. Aku belum pernah ke sana, hanya pernah mendengar namanya saja. Kalau dari namanya, itu seperti restoran Jepang.
“Oh, ya udah. Selamat istirahat. Pekerjaan yang lebih banyak menunggu buat dikerjakan besok.”
Aku mengangguk. “Oke. Kasih tahu aku list-nya nanti. Biar aku periksa di rumah.”
“Siap, Bu Vina.”
Aku keluar ruangan, membiarkan Sisil masih di ruanganku. Kalau sudah bosan, dia pasti ke ruangannya sendiri. Kebetulan, ruangannya berada tepat di depan ruanganku. Ruangan sekretaris memang sengaja diletakkan dekat dengan ruangan pimpinan agar jika sewaktu-waktu dibutuhkan, bisa lekas datang.
Perihal bertemu Mas Alan, aku masih merahasiakan ini dari Sisil. Aku tidak ingin dia tahu lebih dalam lagi. Paling tidak, untuk saat ini. Aku begini bukan karena tidak percaya padanya, hanya memang ini bukan urusannya. Aku tidak ingin menyeretnya ke dalam masalahku.
Sepanjang kaluar perusahaan, aku berpapasan dengan banyak karyawan. Mereka semua menyapaku dengan ramah. Aku hanya mengangguk untuk basa-bari karena memang aku tidak kenal mereka satu per satu. Sejauh ini, yang kuhafal baru seluruh ketua divisi.
Tepat ketika aku masuk mobil, aku merasa ponselku di tas bergetar. Aku segera meraihnya. Pesan dari Mas Alan masuk.
0857xxxxxxxx
Saya sudah tiba.
Saya pesan bilik nomor 17.
Aku segera membalas, ‘Ya.’
Berbicara tentang bilik, aku semakin yakin kalau restoran yang akan kukunjungi memang bertema Jepang. Barangkali memang Mas Alan cari tempat makan yang benar-benar private agar bisa ngobrol berdua tanpa ada orang lain yang mendengar.
Jujur, sejak nama dan wajahku mulai dikenal banyak orang, aku merasa pergerakanku terbatas. Aku tidak lagi bisa terlalu santai dan semaunya sendiri. Aku harus jaga-jaga kalau saja ada yang mengawasi.
Aku begini bukan sok ngartis. Aku hanya sedang menjaga martabatku, Papa, Mama, dan juga perusahaan. Aku takut kalau salah-salah bertindak, itu akan mempengaruhi mereka.
Bagaimana aku harus mengatakan ini dengan lebih tepat? Pada intinya, mulai sekarang aku harus lebih berhati-hati. Aku ‘berdiri’ tidak hanya membawa diriku sendiri, melainkan banyak orang.
“Oke, semoga hari ini perkara foto bisa selesai.”
***
“Mas Rio langsung bawa ponsel yang rusak itu ke temannya. Data bisa diselamatkan, jadi dia mengirim foto-foto itu ke saya.” Mas Alan langsung menjelaskan intinya ketika kutanya. Dia tampaknya tidak suka berbelit-belit. “Padahal saya sudah niat mau ambil ponsel itu dan ambil isinya. Ternyata telat.”
“Sebelum bahas yang lain, sekarang kasih saya alasan kenapa hari itu Mas Alan butuh banget saya jadi pacar bohongan. Adakah hal mendesak? Apa urgensinya?” pertanyaan inilah yang sejak tadi malam kutanyakan dan belum juga mendapat jawaban. “Enggak mungkin, kan, secara random Mas Alan minta cewek asing jadi pacar bohongan tanpa ada alasan yang jelas? Kalau sampai iya, itu beneran kurang kerjaan!”
“Memang ada alasannya,” balas Mas Alan pelan.
“Apa itu?”
Mas Alan tidak langsung menjawab karena dia malah menyesap kopinya.
“Soalnya kalau sandiwara gajelas itu enggak pernah terjadi, maka foto-foto itu enggak akan ada,” sambungku kemudian.
“Jelas tetap akan ada, hanya mungkin beda angle. Kakak ipar saya pasti tetap akan memotretmu. Enggak akan ada kalau kamu enggak pernah datang ke kantor saya. Semakin enggak akan ada lagi kalau kamu enggak pernah menendang kaki saya dan meninggalkan ponselmu begitu saja.”
Ah, benar juga.
“Tapi kan dengan minta jadi pacar pura-pura, maka tercipta angle yang bikin salah paham. Selain itu, dengan minta jadi pacar pura-pura, terbentuk pula komunikasi yang seolah menggambarkan kita memang pacaran. Dan itu mereka dengar! Coba kalau enggak? Saya tinggal ambil hape, lalu selesai!”
“Akan lebih parah lagi kalau Mas Rio dan Mbak Mia tahu tiba-tiba ada cewek ambil hape yang ketinggalan. Asumsi mereka pasti akan liar.”
“Ya tinggal jujur apa sulitnya?”
“Sayangnya, saya enggak mau. Mereka itu picik. Ada saja cara untuk menjatuhkan saya.”
Aku memijit pangkal hidungku karena kepalaku mendadak terasa sedikit pening. Aku pikir masalah ini akan cepat selesai, tetapi sepertinya tidak. Yang membuat rumit adalah sandiwara tidak jelas ini, yang kemudian didengar dua orang tidak jelas itu. Jelas rumitnya jadi combo!
“Baiklah, begini saja. Karena saya sudah terlanjur masuk dalam kubangan ini, coba sekarang jelaskan lebih detail tantang apa yang sebenarnya terjadi. Terserah kalau Mas Alan mau anggap saya tukang kepo. Tapi kenapa Mbak Mia segitunya mencampuri urusan adiknya? In a bad way, pula. Oke, kalian enggak sepenuhnya kandung. Lalu kenapa? Mau bagaimanapun juga, tetap saja kalian bersaudara. Apalagi satu ayah. Artinya berasal dari benih orang yang sama.”
“Kalau ada orang serakah bertemu dengan uang yang sangat banyak. Bagaimana menurutmu?”
Alisku menekuk. Aku paham, tetapi aku masih perlu penjelasan yang lebih clear lagi agar asusmsiku tidak setengah-setengah.
“Soal warisan?” Aku menebak, dan Mas Alan langsung mengangguk.
“Ya, kurang lebihnya begitu. Dia sudah dapat bagiannya sendiri, tetapi masih ingin juga bagian saya. Dia itu salah pilih pasangan. Mas Rio adalah biang utama dari berubahnya Mbak Mia. Ini memalukan, tapi harus saya katakan padamu karena kamu sudah terlanjur terlibat.”
“Oke. Lalu alasan pacar bohongan belum sepenuhnya terjawab. Kalau tujuan utama memang untuk menghindari asumsi liar perkara hape yang ketinggalan, pacar bohongan jelas bukan solusi. Mas Alan pasti sadar penuh soal ini. Yang ada malah berpotensi memperparah. Iya, kan? Apalagi sekarang Mbak Mia tahu kalau kita bertetangga. Aturan masih banyak sekali solusi yang jauh lebih aman.”
“Iya, kamu betul.” Mas Alan mengangguk.
“Itu artinya, ada alasan lain sampai harus mengakui orang asing jadi pacar?” aku bertekad, malam ini aku harus paham betul tentang situasi apa yang sebenarnya sedang kuhadapi.
“Iya, memang ada alasan lain.”
“Apa itu?”
Mas Alan kembali menyesap kopinya.
“Tolong harus dijelaskan dengan detail. Jangan ada alasan kita belum terlalu dekat untuk membahas sejauh ini. Saya pun tidak ada minat untuk tahu urusan orang lain andai saya tidak terlibat.” Aku agak gemas tiap kali orang ini menyesap kopinya ketika kuberi pertanyaan.
“Mungkin ini agak klise, tapi itulah yang terjadi. Ayah saya sering sakit, jadi beliau sering sekali menyinggung tentang kematian. Beliau mendesak saya untuk menikah. Saya tidak masalah soal itu karena saya memang ada tujuan ke arah sana. Sayangnya, Mbak Mia selalu saja ikut-ikutan. Dia mulai memprovokasi Ayah agar semakin mendesak saya untuk cepat-cepat menikah. Di saat yang sama, dia mengenalkan perempuan yang dia anggap cocok untuk saya dan Ayah setuju-setuju saja. Ternyata perempuan itu masih kerabat Mas Rio. Tujuan utama mereka dari awal adalah mengusai segala usaha Ayah dari berbagai bidang. Termasuk itu bagian saya, di saat bagian mereka ada sendiri. Sebetulnya saya tidak terlalu tertarik dengan segala uang-uang itu, sampai ketika saya menyadari kalau saya tidak mau usaha Ayah yang sudah berjalan puluhan tahun, bahkan didirikan sejak Eyang saya masih hidup, harus jatuh ke tangan orang yang sangat serakah seperti mereka.”
Aku terdiam. Ternyata cerita tantang berebut warisan itu nyata adanya. Aku kurang relate karena aku dan Mas Danish justru sebaliknya.
“Penjelasan saya masih kurang? Saya masih bisa menjelaskan lagi kalau kamu mau.”
Aku menggeleng. Aku mulai bisa paham poin intinya.
“Saya tidak pernah mebayangkan akan membuka aib keluarga saya di depan pimpinan MW.”
Entah kenapa, aku tersenyum. Ini memang agak lucu.
“Saya tarik kesimpulan sederhana dulu. Jadi intinya, dengan Mas Alan mengakui saya sebagai pacar, itu bertujuan untuk menyurutkan niat mereka soal menjodohkan dengan perempuan dari kerabat Mas Rio?”
“Betul. Dan agar Ayah juga tahu kalau saya memiliki pilihan sendiri. Karena sudah pasti, Mbak Mia akan lapor ke Ayah, cepat atau lambat. Narasinya pun bisa saja diputarbalikkan.”
Entah kenapa, jantungku mendadak berdebar. Jujur, ini sangat memalukan!
“Tapi kenapa harus saya? Enggak punya teman perempuan yang lain-kah? Saya enggak mau berurusan lebih dalam.”
“Semua sudah terlanjur kejadian. Kamu sudah terlanjur terlibat. Kalau sekarang kita bicara ‘kenapa’, bukankah sudah terlambat? Apa pun alibi kita, kalau foto-foto ini sudah tersebar, maka orang luar hanya akan percaya apa yang ingin mereka percaya.”
“Oke, saya paham sampai di situ. Tapi detik ini juga saya mau berhenti. Maksud saya, silakan Mas Alan jelaskan ke mereka yang sejujurnya. Atau boleh juga karang cerita baru. Yang jelas, saya enggak mau terlibat lebih jauh.”
“Bagaimana kalau saya tidak mau?”
Mataku mendelik. “Ya enggak bisa gitu! Kalau kaya gini ceritanya, ini jatuhnya Simbiosis Parasitisme. Mas Alan untung, saya rugi. Itu enggak fair. Kalau Mas Alan bisa ubah jadi simbiosis mutualisme, saya mungkin akan pikir ulang untuk merundingkan secara lebih. Tapi kalau enggak, lupakan tentang pacar bohongan. Saya bisa jujur. Perkara foto-foto yang misal tersebar ke media sosial, saya bisa mengurus itu. Kalau bagaimana ujungnya warisan itu jatuh, itu juga sama sekali bukan urusan saya.” Aku langsung berdiri, lalu meletakkan uang tiga ratus ribu di atas meja. Jujur, aku mendadak emosi dengan responnya yang santai, tetapi tidak solutif sedikit pun. “Makanannya saya yang bayar, permisi.”
Aku buru-buru membuka pintu bilik dan bergegas keluar. Namun, tanganku sudah lebih dulu ditahan sebelum aku memakai sepatu. Aku menoleh, lalu menepis. Sayangnya gagal. Genggaman tangan Mas Alan sangat kuat.
“Lepasin—“
“Perlu kamu tahu, Vina. Semua sudah terjadi. Oke, kamu bilang bisa mengurus semuanya jika foto kita tersebar. Tapi sejauh mana? Kita bukan artis, itu betul. Tapi reputasi kita bisa berpengaruh ke perusahaan. Kita juga tidak bisa mengontrol asumsi orang-orang. Saya menemuimu bukan untuk memohon bantuan, tapi mencari solusi. Kita rundingkan bersama.”
“Solusi apanya? Dari tadi—“
“Dari tadi apa? Kita memang belum ada di titik mencari solusi. Saya baru menjelaskan apa yang terjadi, kamu sudah asal memutusakan dan main pergi.”
“Ngeselin banget, sih! Kenapa harus libatin saya ke kubangan ini?”
“Jangan terlalu menyalahkan saya. Kamu ingat, kan? Saya tidak memaksamu untuk datang ke kantor saya. Saya memberi opsi kamu untuk datang ke kantor polisi, tapi kamu menolak.” Mas Alan tersenyum, dan itu jenis senyum yang sangat menyebalkan. “Satu lagi. Saya juga tidak memaksamu mau menjadi pacar bohongan. Jangan lupakan opsi saya yang menyuruhmu pergi. Kalau kamu memilih ponsel alih-alih pergi, apa itu salah saya?”
Aku kehabisan kata-kata sekarang. Aku benar-benar tidak bisa berkutik karena apa yang Mas Alan katakan itu benar. Aku masuk dalam kubangan ini bukan seratus persen salah dia, melainkan sebagian ada dari pilihanku sendiri.
“Dan inti dari segala inti kalau memang kamu ingin terus menyalahkan saya. Kamu perlu ingat satu hal. Bukan saya yang menarikmu ke dalam masalah, tapi kamu yang tiba-tiba sembarangan masuk ke dalam hidup saya dengan cari masalah. Asal kamu tahu, Davina Puspita Maheswara, saya biasanya tidak membiarkan orang yang sengaja mencari masalah ke saya bebas begitu saja.” Mas Alan mengatakan itu sembari menatap mataku lurus-lurus. “Sampai sini paham?”
***