Chapter 5 - Pernah Muda

1285 Kata
Thalia sampai di rumahnya. Dia langsung masuk ke dalam kamarnya dan melewati papa dan mama nya yang sedang duduk di ruang tengah. Terdengar isakan Thalia saat dia berlari dan langsung masuk ke dalam kamar. Thalia juga menutup pintu kamarnya dengan keras, hingga Leon dan Rere saling menatap dan mengangat bahunya. “Pa, pasti ini karena Danish lagi,” ucap Rere. “Ya, pasti Danish memaksa Thalia lagi untuk tidak pulang atau menemaninya di rumah,” jawab Leon. “Memang anak kita baby sitternya, Pa? Ingat, anak kita sudah memiliki kekasih, Pa. Jangan karena papa bersahabat dengan Zidane, Thalia mau dijodohkan dengan Danish!” tegas Rere. “Kok mama bicaranya seperti itu? Tidak mungkin lah! Lagian Danish sakit-sakitan, mana rela anak perempuan papa menikah sama laki-laki yang sakit-sakitan,” ucap Leon. “Papa sudah menyayangi Arkan seperti anak papa sendiri, Ma. Kita ke kamar Thalia saja, jangan biarkan dia seperti itu, Ma,” ujar Leon. Rere masuk ke dalam kamar Thalia, beruntung Thalia tidak mengunci pintu kamarnya. Thalia terlihat sedang menangis dan menyembunyikan wajahnya di bantal. Rere duduk di dekat putrinya dan mengusap rambutnya yang tergerai. “Lia, kamu kenapa pulang-pulang nangis gini, Nak?” tanya Rere. “Apa mama dan papa ada niatan untuk menjodohkan Thalia dan Danish? Mama tahu sendiri, kan? Thalia sangat mencintai Arkan? Dan ini! Ini bukti kalau Abah sayang sama Thalia, dan berharap Thalia menjadi menantunya!” Thalia berkata dengan penuh emosi, tangisnya semakin pecah saat mengingat mamanya Danish akan menjodohkan dirinya dengan Danish “Kok kamu bicara seperti itu? Mana mungkin papa akan menjodohkan kamu dengan Danish? Kamu sudah sama Arkan, masa iya papa akan seperti itu?” ucap Leon. “Jelaskan sama papa, ada apa sebenarnya? Kamu bisa seperti ini?” ucap Leon yang duduk di sisi putrinya. “Pa, Tante Monic bilang sama Lia, kalau Tante Monic akan menjodohkan Lia sama Danish, Danish yang menginginkan ini, papa.... Lia gak mau! Lia mau kembali ke Indonesia,” ucap Thalia dengan terisak di pelukan papanya. “Tante Monic bicara seperti itu?” tanya Rere. Thalia hanya menjawabnya dengan menganggukan kepalanya saja. “Lia sudah bicara sama mereka, kalau Lia sudah tunangan, tapi mereka enteng sekali bilangnya, Ma, Pa... Kata Tante Monic, yang menikah juga bisa bercerai apalagi baru tunangan? Papa, Lia enggak mau, Lia mau pulang ke rumah Eyang,” ucap Thalia. “Lalu kuliah kamu? impian kamu? Mau kamu tiadakan begitu saja?” ujar Leon. “Papa, Lia bingung, Lia tidak mau seperti ini, Pa.” Thalia masih saja menangis di pelukan papanya. Rere dan Leon meninggalkan kamar Thalia, mereka juga tidak mengerti mengapa Monica bicara seperti itu. Memang dia ingin memenuhi permintaan anaknya, tapi tidak seperti itu juga. Danish juga harusnya tahu, kalau dirinya jangan memaksakan keadaan. “Ma, ini yang papa khawatirkan Thalia jauh dari Arkan. Iya, masalah jodoh itu semua rahasia Allah, tapi kalau melihat Thalia seperti ini, papa menyesal, mengabulkan permintaan Thalia kuliah di sini,” ucap Leon. “Mama pun sama, Pa. Apa sebaiknya kamu bicara dengan Zidane soal ini? Masa dia mengabulkan permintaan Danish dan Monica, apa dia tidak peduli dengan perasaan Annisa dan keponakannya?” ujar Rere. “Iya, kita harus membicarakan ini, tujuan Thalia ke sini adalah sekolah, bukan untuk menikah, dijodohkan atau apalah. Papa tidak ingin masa depan Thalia pupus karena soal Danish. Mama tahu, kan? Impian Thalia dari dulu? Dia ingin kuliah di universitas pilihannya sekarang ini. Setelah dia tercapai cita-citanya untuk kuliah di universitas impiannya, dia di timpa masalah seperti ini,” ucap Leon. ^^^ Zidane semakin bingung dengan keadaan saat ini, di tambah Danish anfal lagi dan harus segera di bawa ke rumah sakit. Dia tidak tahu harus bagaimana, antara memenuhi keinginan Danish atau tidak. Jika tidak, Danish akan semakin lemah, dan jika iya, keponakannya yang akan sakit hati padanya. “Ya Allah, aku harus bagaimana? Atau aku harus memberitahukan ini pada Arsyad dan Annisa? Arkan pun juga harus tahu, kalau tidak, bagaimana dengan nasib anakku? tidak ada orang tua yang tidak ingin membahagiakan anaknya. Tapi, bukan seperti ini juga caranya, dengan menyakiti hati orang lain, dn memaksakan orang lain,” gumam Zidane. Monica keluar dari ruangan Danish, dia mendekati suaminya yang sedang duduk di bangku depan ruang ICU. Monica menangis dan memeluk suaminya, dia memohon agar suaminya bicara dengan Annisa dan Arsyad, agar Arkan merelakan Thalia untuk menikah dengan Danish. “Mama, papa tidak bisa seperti ini, kita butuh waktu, tapi tidak mungkin secepat ini,” tutur Zidane. “Kapan, Pa? Dansih keadaannya seperti ini lagi,” ucap Monica. “Sabar ya, Ma? Kita juga harus cari waktu yang tepat untuk membicarakan ini semua dengan Arsyad, Annisa, Leon, dan Rere. Terutama dengan Thalia dan Arkan,” tutur Zidane. Monica hanya diam mendengar penuturan suaminya. Memang semuanya butuh waktu, dan tidak bisa cepat, apalagi ini semua menyangkut masalah hati. ^^^ Arkan masih membolak balikan tubuhnya di atas tempat tidurnya, dia tidak tenang sekali perasaannya, apalagi Thalia sama sekali tidak memberikan kabar pada Arkan. Arkan tahu, Thalia mungkin sedang sibuk, karena Thalia ingin cepat-cepat menyelesaikan kuliahnya, tidak seperti dirinya yang santai, apalagi sambil bekerja di bengkelnya. Arkan melihat jam di kamarnya. Sudah pukul dua belas malam lebih lima belas menit. Dia ingin sekali menelfon Thalia, tapi dia juga takut mengganggu Thalia, karena jam segini, Thalia di sana sedang menyelesaikan tugasnya. Atau bisa jadi dia sedang mengajari Tita belajar. Tita sekarang kembali ikut ke Berlin, karena dia merasa sepi tidak ada kakak kesayangannya. Arkan keluar dari kamarnya, dia melihat abahnya yang sedang duduk menonton televisi. Arkan mendekati abahnya dan duduk di sampingnya. “Abah belum tidur?” tanya Arkan. “Belum ngantuk, kamu juga tumben sekali tidak telfonan dengan  Thalia?” ucap Arsyad dan bertanya pada Arkan. “Thalia mungkin sedang sibuk, Bah. Pesan Arkan saja belum di balas dari tadi siang, tapi rasanya hari ini ada yang aneh pada Thalia, Bah,” ucap Arkan. “Aneh kenapa?” tanya Arsyad. “Abah tahu Danish? Anaknya Om Zi?” tanya Arkan. “Iya, dia katanya sakitnya sudah lumayan membaik, kemarin Om Zidane baru saja menelfon abah. Padahal dia sudah di vonis umurnya tidak lama lagi,” ucap Arsyad. “Kasihan ya, Bah? Om Zi punya anak Cuma satu, Danish saja, tapi diberi cobaan seperti itu,” ucap Arkan. “Kamu kenapa tanya soal Danish dari tadi pagi?” tanya Arsyad. Arkan diam sejenak, dia sebenarnya tidak ingin menceritakan apa yang Thalia katakan pada dirinya, kalau Danish sangat merepotkan Thalia. Setiap hari Thalia harus berangkat bersama, dia harus menjemput Danish, dan kalau Thalia tidak mau berangkat dengannya pasti Danish tidak mau berangkat kuliah. “Enggak ada apa-apa sih, dia katanya satu kampus sama Thalia, dan katanya Om Zi temannya Papa Leon,” jawab Arkan. “Iya, Om Zi temannya Papa Leon, itu mengapa dulu Om Zi menjodohkan bundamu dengan Papanya Thalia. Tapi, Allah malah berkehandak bunda menikah dengan abah,” ucap Arsyad. “Jodoh itu misteri ya, Bah? Abah mencintai bunda sejak bunda jadi mahasiswa abah, dan ternyata bunda pacarnya Ayah Arsyil. Akhirnya seperti ini, abah kembali dengan bunda. Memang cinta sejati itu pasti kembali lagi, dipertemukan lagi, meski sudah terpisah oleh jarak dan waktu. Seperti abah dan bunda,” ucap Arkan. “Tumben kamu bicara seperti ini? Kamu sedang galau? Atau ada masalah dengan Thalia?” tanya Arsyad. “Masalah ya biasa, Abah, namanya juga jarak jauh, ya gini, kalau lama tidak kasih kabar, rasanya seperti ini,” jelas Arkan. “Seperti apa? Seperti permen nano-nano? Atau seperti apa?” ledek Arsyad. “Abah seperti tidak pernah muda saja bicara seperti ini,” ujar Arkan. Mereka lama mengobrol, Arkan sebenarnya ingin cerita dengan abhanya soal Thalia. Namun, dia mengurungkan niatnya karena dia tidak ingin abahnya ikut campur soal hubungan mereka dengan Thalia yang sedang sedikit ada masalah dari Danish.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN