Di kamar hotel Alrico dikejutkan dengan kedatangan Luca, asisten pribadi ayahnya. Ia terlihat pucat dan wajahnya cemas.
"Maaf kalau kedatangan saya kesini menganggu Anda."
"Masuklah! Jadi ada keperluan apa datang ke sini?"
"Sebaiknya Anda pulang ke rumah."
"Kalau itu lupakan saja untuk sementara ini aku tidak akan pulang."
"Tuan Alrico, saya mohon pulanglah! Saat ini keadaan Tuan Elliot tidak begitu baik. Hari ini dia pingsan. Beberapa hari terakhir ini kesehatannya menurun dan dia terus menanyakan Anda. Kedatangan saya ke sini untuk menjemput Anda pulang."
"Katakan pada Ayah, kalau aku tidak akan pulang."
"Tuan Alrico, saya mohon untuk kali ini saja. Kalau kesehatannya sudah membaik kembali, Anda boleh kembali lagi ke hotel ini."
"Aku benar-benar tidak mengerti apa yang ayah pikiran dan inginkan dariku. Apa dia tidak akan membiarkan aku hidup dengan bebas dan tenang."
"Itu karena dia memikirkan dan menyayangi Anda.
"Menyayangiku? Yang benar saja. Yang dia pedulikan hanya perusahaan saja tidak pernah memikirkan perasaanku."
Sejak dulu Alrico jarang diperhatikan oleh ayahnya dan ayahnya selalu bersikap dingin kepadanya sampai sekarang, bahkan ia tidak punya kebebasan untuk memilih calon istrinya. Salah satu alasan ia tinggal di hotel, karena ia ingin sedikit menghindar dari ayahnya.
"Jadi apakah Anda akan ikut saya pulang ke rumah?"
"Tidak. Katakan itu kepadanya."
Luca terlihat kecewa dan dia sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya supaya membawa kembali Tuannya. Dia sudah berjanji pada Elliot untuk membawa Alrico pulang bagaimana pun caranya. Tanpa diduga suara dering ponsel milik Luca berbunyi dan salah satu pelayan rumah mengatakan kalau Elliot kembali pingsan.
"Tadi saya baru saja mendapatkan kabar dari rumah, Tuan Elliot kembali pingsan. Apa Anda tidak ingin melihat ayah Anda yang sedang sakit? Sebaiknya Anda pulanglah!"
Alrico duduk dan menghela napas. "Baiklah, aku akan pulang sebentar untuk melihat keadaannya."
Senyuman merekah di wajah Luca. "Terima kasih Tuan Alrico."
Akhirnya Alrico kembali lagi ke rumah ayahnya saat itu hujan turun dengan deras. Rumahnya hampir selesai di renovasi. Di kamarnya, Alrico duduk termenung memikirkan masalah ayahnya dan juga Matinel.Tanpa ia ketahui Marinela berada di luar sedang memandang ke arah jendela kamarnya. Suara ketukan di pintu kamarnya terdengar.
"Masuk!"
Seorang wanita separuh baya masuk. Rambutnya yang sudah mulai memutih digelung ke atas. Alrico langsung berdiri dan tersenyum.
"Ibu."
Alrico memeluk ibunya dengan erat.
"Aku merindukanmu, Bu."
"Aku juga."
Alrico mengurai pelukannya dan menatap ibunya. Ia senang ibunya sehat-sehat saja dan wajahnya nampak segar.
"Aku senang kamu pulang."
"Aku terpaksa untuk melihat keadaan Ayah."
"Kamu jangan marah padanya ya. Ayahmu memang keras dan dingin. Semua yang ia lakukan demi kebaikanmu."
"Tapi tidak untuk memilihkan calon istriku sendiri. Aku ingin hatiku yang memilihnya."
"Ibu tahu dan sudah membicarakan hal ini berulang kali dengannya, tapi Ayahmu keras kepala."
"Aku heran kenapa Ibu mau saja menikah dengannya."
"Karena Ibu mencintainya dengan segala kekurangan Ayahmu. Elliot sebenarnya pria yang baik hanya saja dia terlalu keras mendidikmu dan dipikirannya cuma hanya bisnis, jadi kamu harus mengerti."
"Aku selalu mengerti Ayah dan aku juga ingin dimengerti oleh Ayah."
Octavia, ibunya Alrico mengusap-usap tangan Alrico.
"Kamu tidak boleh menyerah dan Ibu akan selalu mendukungmu."
Alrico tersenyum. "Terima kasih."
Di kamarnya, Elliot tersenyum, karena telah berhasil membawa pulang Alrico kembali ke rumah. "Terima kasih, kamu sudah membawanya kembali."
"Tuan Elliot, apa semua ini akan baik-baik saja? Anda telah berbohong mengenai kesehatan Anda sekarang padanya. Kalau Tuan Alrico mengetahui ini pasti dia akan sangat marah dan ada kemungkinan dia tidak kembali ke rumah ini."
"Aku tahu itu. Tapi yang penting saat ini dia sudah berada di sini kembali. Dia tidak bisa lari dariku. Dia anakku dan dia adalah milikku. Sekarang dia ada di mana?"
"Saya rasa dia ada di kamarnya."
Biarkan dia sendiri dulu. Sekarang tinggalkan aku di sini. Aku ingin tidur."
"Baik Tuan."
***
Marinela pulang dengan keadaan basah kuyup, sebelum membuka pintu ia mendengar gelak tawa orang yang tidak dikenalnya.
"Aku pulang!"
"Selamat datang! Marinela apa yang terjadi denganmu? Kenapa pakaianmu basah? Apa kamu lupa membawa payung?"tanya bibi Flora.
"Aku lupa membawanya."
Selintas Marinela melihat kepada orang asing di depannya yang sedang duduk, tapi kemudian terkejut melihat wanita itu.
"Greta,"serunya terkejut.
"Halo Marinela! Sudah lama kita tidak bertemu."
"Iya dan aku senang kamu datang. Kapan kamu datang?"
"Dua jam yang lalu. Sebaiknya kamu ganti pakaian dulu."
Marinela melihat pakaiannya yang basah kuyup.
"Kamu benar."
"Nanti aku buatkan susi coklat panas,"kata bibi Flora.
Marinela mengangguk, lalu pergi ke kamarnya.
"Pasti Marinela sedih Alrico akan menikah dengan wanita lain,"kata Greta.
"Kamu benar."
"Alrico harus tahu siapa sebenarnya Rhea."
"Memangnya kamu tahu siapa sebenarnya Rhea?"
"Iya."
"Beritahu aku siapa sebenarnya Rhea!"
Greta membisikkannya di telinga bibi Flora. Mata bibi Flora melebar dan tidak bisa menutupi rasa terkejutnya, bahkan ia hampir terkena serangan jantung.
"Apa kamu yakin?"
"Aku sangat yakin, karena aku mendengarnya sendiri secara tidak sengaja."
"Jika Marinela tahu, aku yakin dia akan pingsan karena terkejut."
Greta menyesap kopinya.
"Itu bisa saja terjadi. Kedatanganku ke sini selain menjenguk kalian, aku juga ingin menemui Alrico untuk mengatakan kebenarannya."
"Sejak kapan kamu tahu tentang Rhea?"
"Tiga bulan yang lalu."
"Kenapa kamu tidak mengatakannya sejak awal?"
"Apa Bibi Flo tidak ingat, aku mendapatkan kecelakaan dan harus mendapat perawatan."
"Oh iya. Aku lupa itu."
"Apa Bibi Flo tahu kalau kecelakaan yang aku alami itu disengaja hasil perbuatan seseorang?"
"Apa maksudmu?"
"Itu atas perintah Rhea. Wanita itu mengirim seseorang untuk mencelakakanku dengan memotong rem mobilku."
"Apa?!"serunya tak percaya.
"Itu benar. Rhea pelakunya."
"Jahat sekali wanita itu. Kenapa dia melakukan itu?"
"Supaya aku tidak membongkar rahasianya."
"Sekarang aku mengerti. Bagaimana kamu tahu kalau wanita itu adalah pelakunya?"
"Aku tidak sengaja mendengar dia bicara pada dirinya sendiri di taman. Saat itu Rhea sedang berkunjung ke rumahku."
"Apa wanita itu tahu kamu selamat?"
"Dia tidak tahu, karena Ayah dan Ibu memindahkanku ke rumah sakit yang lain."
Greta kemudian teringat sesuatu.
Bibi Flo, kenapa Marinela sejak dari tadi tidak keluar dari kamar?"
"Kamu benar. Aku lihat dulu."
Bibi Flora membuka pintu dan ia melihat Marinela sudah tidur. Hujan masih saja turun dengan deras dan tiupan angin yang kencang memukul-mukul daun jendela. Bibi Flora menyelimutinya. Ia melihat bekas air mata yang masih basah di wajahnya.
"Tidurlah yang nyenyak dan lupakan masalahmu."
Bibi Flora mematikan lampu kamarnya dan kembali ke ruang keluarga. "Marinela sudah tidur sepertinya dia kelelahan."
"Biarkan saja dia tidur. Hari ini adalah hari yang melelahkan untuknya."
Setelah menghabiskan kopinya, Greta berdiri. "Sebaiknya aku juga tidur."
"Aku juga."
***
Fajar pagi telah datang. Marinela mengeliatkan tubuhnya, lalu beranjak dari tempat tidurnya yang nyama. Ia membuka jendela dan sinar mentari pagi menyilaukan matanya. Pemandangan di depan matanya terlihat berkilau, karena air hujan yang tertimpa sinar matahari pagi. Ia dapat merasakan kalau matanya mulai sembab. Ia pun bergegas berpakaian dan membuatkan makan pagi. Suara dari belakangnya mengejutkannya yang sedang menggoreng kentang.
"Pagi Marinela!"sapa Greta
"Se-selamat pagi!"
"Biar aku bantu menyiapkan makan pagi."
Marinela mengangguk dan Greta membantu dengan menata piring di meja.