15. Perangkap

2073 Kata
Carmelita langsung mencari Carolina di kamarnya dan langsung memarahinya begitu sampai di rumah. "Apa yang sudah kamu lakukan?" "Kenapa Ibu tiba-tiba tanya seperti itu dan langsung memarahiku?" "Kamu berhenti bekerja." Carolina melipat kedua tangannya di atas perut. "Ah jadi itu. Aku memang berhenti bekerja." "Tapi kenapa? Kamu tahu kan hidup kita sudah susah dan sekarang kamu berhenti bekerja." Carolina memandang kesal pada ibunya. "Itu terserah aku mau bekerja atau tidak. Lagi pula aku sudah bosan bekerja sebagai pelayan." "Aku tidak mengerti dirimu. Jadi apa kamu akan cari pekerjaan lain?" "Tidak." "Apa?! Bagaimana kamu bisa memenuhi kebutuhan hidupmu sehari-hari." "Ibu jangan khawatirkan aku, karena aku akan memiliki uang tanpa harus bekerja." "Apa maksudmu?" Carolina tersenyum misterius. "Kamu jangan berbuat hal-hal yang aneh lagi, Carolina." "Aku tidak berbuat yang aneh-aneh." "Jadi katakan kenapa kamu bilang akan punya uang meski tidak bekerja?" "Aku tidak akan memberitahu Ibu." "CAROLINA,"teriak ibunya. Carolina semakin kesal dan marah pada ibunya. "Baiklah kalau Ibu ingin tahu. Sekarang aku sudah menjadi wanita simpanan seorang pria kaya." Sebuah tamparan keras melayang ke wajah Carolina. Carmelita memandang putrinya dengan penuh kemarahan. "Ibu, kenapa menamparku?" "Tamparan itu pantas kamu dapatkan. Kamu sudah melakukan hal yang tidak baik. Ibu tidak pernah mengajarimu untuk menjadi wanita simpanan. Sebaiknya segera kamu tinggalkan pria itu sebelum ada masalah besar yang menimpamu." "Aku tidak mau." "CAROLINA." "Aku tidak mau menuruti kata-kata Ibu lagi. Aku sudah muak dengan kehidupan yang aku jalani bersama Ibu. Tinggal di rumah kecil dan jelek ini." "Seharusnya kamu bersyukur masih mempunyai tempat tinggal." "Aku juga muak selalu hidup tidak berkecukupan bersama Ibu. Aku jadi begini juga, karena Ibu." Carmelita memandang Carolina dengan berbagai macam emosi yang berkelebat di wajahnya. Ia pun meninggalkan kamar Carolina, karena perdebatan mereka tidak akan menyelesaikan apa pun. Carmelita duduk di meja makan sambil menangis. Marinela menghampiri ibunya dan menyentuh pundaknya. Carmelita menoleh, lalu Marinela menghapus air mata ibunya. "Jangan menangis lagi!" Marinela menatap ibunya dengan cemas dan sedih. "Ibu tidak apa-apa. Terima kasih." Carmelita membelai kepala putri kecilnya dengan sayang. Ia mencoba untuk tersenyum. "Ibu akan menyiapkan makan malam dulu." Carmelita beranjak dari kursinya menuju dapur dan Marinela masih memandang ibunya dengan perasaan cemas. Lagi-lagi ia merasa bersalah karena menjadi penyebab pertengkaran ibunya dengan kakaknya. *** Alrico keluar dari mobilnya dan ia bertemu dengan neneknya di teras depan villa sedang merajut. Ia mencium pipi neneknya, lalu duduk di sampingnya. "Sedang membuat apa?" "Seperti yang kamu lihat, aku sedang membuat baju hangat untukmu." "Untukku?"serunya tak percaya, karena Alrico sudah lama tidak mendapatkan baju hangat hasil rajutan neneknya. Terakhir ia mendapatkannya waktu umur tujuh tahun. "Aku sudah tidak sabar untuk memakainya. "Kamu bisa memakainya di musim dingin nanti." Alrico kemudian teringat dengan pria yang mirip dengan kakeknya di tempat parkir restorannya. "Nenek Marie, apa mungkin orang yang sudah meninggal biasa hidup lagi?" "Kamu ini bicara apa?" "Aku hanya bertanya saja." "Orang yang meninggal tidak mungkin hidup lagi." "Sebenarnya ada apa?"tanyanya tanpa mengalihkan perhatiannya pada rajutannya. "Aku melihat Kakek di restoranku." Nenek Marie langsung berhenti merajut dan menatap Alrico. "Mungkin kamu salah lihat. Mana mungkin Kakekmu masih hidup. Dia sudah meninggal lima tahun yang lalu." "Mungkin aku salah lihat, tapi dia mirip Kakek. Apa Kakek punya saudara kembar?" "Kakekmu tidak punya saudara kembar. Mungkin hanya mirip kakek saja." "Nenek benar." "Oh ya tadi anak itu datang lagi ke sini." Alrico nengerutkan dahinya. "Siapa?" "Marinela." "Oh ya. Sayang sekali aku tidak bertemu dengannya." "Mungkin besok dia akan datang lagi." "Aku pergi ke kamarku dulu dan beristirahat." Alrico pergi sambil melihat ponselnya dan lagi-lagi, ia melihat pesan yang banyak dari Carolina mengajaknya makan malam. "Sebenarnya apa yang dia inginkan dariku,"gumamnya. Alrico melemparkan ponsel dan jas ke atas tempat tidur, lalu pergi ke kamar mandi. *** Carolina yang merasa kesal, karena Alrico tidak membalas pesannya, ia dikejutkan oleh kedatangan Miguel ke rumahnya. Pria itu memberikan satu buket mawar merah pada Carolina. "Kenapa kamu datang ke sini?" "Aku ingin mengajakmu makan malam." Sebelum Carolina menjawab, ponselnya berbunyi. Ia terkejut melihat balasan pesan dari Alrico. Ia tidak menyangka pria itu akan membalas pesannya. Kita bertemu malam ini di Vanilla Cafe jam 8 malam. Carolina segera membalas pesan itu kalau ia akan ke sana jam 8 malam. "Maaf. Aku tidak bisa makan malam bersamamu sekarang." "Tapi kenapa?" "Aku sudah ada janji. Bagaimana kalau besok saja?" Miguel terlihat kecewa. "Baiklah." "Terima kasih bunganya." Carolina mengecup bibi Miguel, lalu tersenyum lebar. "Baiklah." Meskipun kecewa Miguel pun pergi, tapi ia tidak pergi begitu saja. Ia duduk di dalam mobilnya menunggu Carolina keluar dan mengikutinya kemana wanita itu pergi. Carolina menciumi bunga mawarnya dan masuk ke dalam kamarnya. Tidak lama, ia keluar sudah berdandan rapi. Carmelita yang sudah hampir selesai menyiapkan makan malam melihat Carolina hendak pergi. "Kamu mau kemana?" "Mau makan malam di luar." "Dengan siapa? Apa dengan pria yang menjadikanmu sebagai wanita simpanan?" Carolina menghela napas kesal. "Bukan." "Baiklah. Jangan pulang larut malam!" "Aku bukan anak kecil lagi." Carolina membuka pintu, lalu membantingnya menutup. Sesampainya di Vanilla Cafe, Carolina tersenyum senang saat melihat Alrico sudah menunggunya, lalu duduk di depannya. "Hai! Maaf aku datang terlambat." "Kamu datang tepat waktu." "Terima kasih sudah mau makan malam denganku." "Aku mengajakmu ke sini, karena ada yang ingin aku bicarakan denganmu." Carolina memesan makanan pada pelayan. "Jadi apa yang ingin aku bicarakan denganku?"tanyanya setelah pelayan pergi. "Aku tidak ingin kamu menggangguku dengan semua pesan yang kamu kirimkan kepadaku. Aku tidak suka." "Aku tidak mengerti kenapa kamu tidak suka kepadaku disaat semua pria ingin mendapatkanku." "Kamu bukan wanita yang ingin aku jadikan kekasih atau istri. Kamu memang cantik, tapi hatimu tidak." "Kamu belum mengenalku, jadi jangan menilaiku seperti itu. Alrico agak sedikit mencondongkan tubuhnya, lalu berkata,"Aku sudah sering bertemu dengan wanita sepertimu. Semuanya sama, yaitu hanya menginginkan uangku saja." "A-aku tidak seperti itu. Aku benar-benar mencintaimu. Aku jatuh cinta padamu saat pertama kali bertemu." "Aku tidak percaya." Pelayan datang membawakan makanan. Miguel yang sejak dari tadi mengikuti Carolina pergi merasa sangat geram dan marah melihat Carolina dan Alrico makan malam bersama. Kalau ia tidak mengingat kata-kata ayahnya, ia sekarang pasti sudah menghajar Alrico sampai babak belur. Ia mengepalkan tangannya di atas meja dan memukul meja dengan kemarahan yang ditahan. "Aku tidak akan membiarkan Alrico merebut Carolina dariku,"gumamnya. Miguel masih memperhatikan mereka makan, lalu ia melihat Alrico pergi ke toilet. Tiba-tiba ponsel Miguel berbunyi dan ia melihat nama ayahnya di layar ponsel, dengan enggan ia menerima panggilan itu. "Ada apa?" "Kamu ada di mana?" "Aku ada di restoran sedang makan malam,"jawabnya bohong. "Segeralah pulang sekarang juga!" "Aku akan pulang nanti." "Sekarang." "Baiklah. Aku pulang sekarang." Miguel sekali lagi melihat ke arah Carolina yang sedang makan. Ia sebenarnya tidak rela meninggalkannya berduaan dengan Alrico. Akhirnya ia pergi juga. Carolina menyimpan sendoknya dan mengeluarkan botol kecil dari tasnya, menaburkan isinya pada gelas Alrico. Alrico telah kembali ke toilet dan meminum minumannya. Setelah mereka selesai makan tiba-tiba Alrico merasakan pusing. "Kamu kenapa?"tanya Carolina pura-pura cemas. "Entah kenapa kepalaku jadi pusing." "Sebaiknya kamu jangan mengemudi. Aku akan mengantarkanmu pulang." Carolina merangkul Alrico dan membantunya berjalan. Ia memanggil taxi dan taxi berhenti di depannya. *** Sinar matahari menembus jendela, Alrico membuka matanya perlahan. Ia tidak mengenali kamar di mana ia berada, lalu ia menoleh ke samping dan betapa terkejutnya, ia melihat Carolina sedang tidur di sampingnya tanpa memakai pakaian dan ia juga terkejut melihat dirinya yang tidak memakai pakaian. Alrico langsung menutupi tubuhnya dengan selimut. Carolina bangun dan tersenyum. "Selamat pagi!" "Apa yang terjadi?" "Apa kamu tidak ingat? Kita sudah melewatkan malam yang indah bersama." "Aku sama sekali tidak ingat." Carolina pura-pura cemberut dan kesal sebenarnya ia senang, Alrico jatuh ke dalam perangkapnya. "Kamu sama sekali tidak ingat?" "Aku benar-benar tidak ingat." "Kamu jahat padahal kamu sendiri yang mengajakku ke sini." Carolina pura-pura menangis dan Alrico merasa bersalah, karena sudah meniduri Carolina meskipun ia tidak ingat. "Kamu harus bertanggung jawab." "Kita bicarakan ini baik-baik. Aku sungguh tidak ingat apa yang terjadi semalam. Aku minta maaf." "Jadi kamu akan lepas tanggung jawab begitu saja?" "Aku akan bertanggung jawab, tapi aku tidak bisa menikahimu." Carolina melilitkan selimut di sekeliling tubuhnya dan pura-pura marah. "Kamu jahat. Pasti kamu pikir aku bukan wanita baik-baik iya, kan? Aku tidak seperti itu. Aku tidak semudah itu tidur dengan pria mana pun, meskipun aku kadang-kadang suka menggoda para pria yang mengejarku." Carolina pergi ke kamar mandi dengan wajah tersenyum. "Kena kau,"bisik hatinya. Alrico menggosok-gosokkan kedua tangannya di wajah dan marah pada diri sendiri, karena sudah melakukan perbuatan yang tidak baik pada Carolina. Keduanya pun keluar dari hotel dan Alrico memutuskan untuk mengantarkan Carolina pulang. "Aku ingin kamu menikahiku." "Maaf Carolina, tapi aku tidak bisa. Aku tahu mungkin malam kemarin aku telah berbuat tidak sopan padamu dengan menidurimu." "Tapi semalam kamu begitu menikmatinya. Kita berdua menikmatinya. Sebenarnya kamu itu suka padaku, tapi kamu malu untuk mengatakannya." "Bukan begitu. Aku tidak jatuh cinta padamu." Carolina merasa kesal, karena Alrico tidak mau menikah dengannya, tapi setidaknya ia mempercayai kalau Alrico sudah tidur dengannya. Ia menikmati rasa bersalah pria itu. Mobil berhenti di depan rumah dan Alrico kembali melajukan mobilnya menuju villa. *** Miguel semalam tidak bisa tidur nyenyak memikirkan Carolina. Semalam setelah ia kembali ke rumahnya, ia langsung menemui ayahnya yang telah menunggunya di ruang kerja. "Ada apa Ayah tiba-tiba menyuruhku pulang?" Carlos melemparkan sebuah map plastik ke arah Miguel. "Apa ini?" "Lihat saja sendiri!" Miguel membuka map itu dan membaca laporan keuangan. "Apa kamu mencoba merampok Ayahmu ini? Kamu mengambil uang perusahaan untuk apa? Baru beberapa hari kerja kamu sudah mengambil uang sebanyak itu atau jangan kamu mengambil uang itu untuk bersenang-senang dengan kekasihmu itu?" "Maafkan aku!" "Sebaiknya kamu tinggalkan saja wanita itu." "Tidak. Aku tidak mau meninggalkannya. Aku tidak mau kalah dengan Alrico. Dia mau merebut kekasihku dariku. Rencananya aku akan menggunakan uang itu untuk biaya pernikahanku dengan Carolina." "Aku jadi penasaran seperti apa wanita itu yang sudah membuat putraku tergila-gila padanya dan menjadi rebutan antara kamu dan Alrico." "Aku akan memperkenalkannya pada Ayah, kalau Ayah mau." "Baiklah. Minggu depan undang dia untuk makan siang bersama di sini." "Baiklah. Aku yakin Ayah pasti akan menyukainya dan menyetujui hubungan kami dan jangan pecat aku. Aku tidak akan mengulanginya lagi." Carlos menghela napas panjang. "Baiklah Ayah akan memberikanmu kesempatan sekali lagi." "Terima kasih." "Sekarang pergilah ke kamarmu!' Tanpa diperintah dua kali, Miguel pergi dari ruang kerja ayahnya. Suara ketukan mengejutkannya dan menyadarkannya dari lamunannya. "Masuk!" Seorang pelayan membawakan sarapan pagi untuknya. Ia bergegas bangun dan berpakaian. Ia berencana menemui Carolina di rumahnya dan menanyakan tentang semalam. Cepat-cepat ia menghabiskan sarapan paginya. *** Marinela cepat-cepat bangun, mencuci mukanya, dan berganti pakaian. Ia begitu bersemangat, bahagia menyambut liburan musim panas yang akan segera tiba. Ibunya sudah berjanji akan membawanya jalan-jalan ke kota. Mereka sudah membicarakannya kemarin malam. Pagi itu Marinela sarapan pagi dengan ceria. Carmelita masih sangat kesal dengan putri sulungnya yang baru saja pulang. Ia sangat mencemaskan Carolina. Apa yang sudah ia lakukan semalam? Tidur di mana dan dengan siapa? Pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalanya. "Ibu, aku pergi dulu!" "Hati-hati di jalan ya!" Sebelum pergi sekolah, Marinela mencium pipi Ibunya. Hari ini adalah hari terakhir sekolah sebelum liburan musim panas selama sebulan. Liburan musim panas yang sudah ditunggu-tunggunya. "Pagi Greta!" "Pagi Marinela!" "Besok kita sudah mulai libur, jadi apa rencanamu untuk besok hari?"tanya Greta. Greta adalah teman sekelas Marinela dan dia selalu membela Marinela kalau ia sedang diejek oleh teman-temannya. Marinela pun memutuskan menjadikan Greta sebagai teman baiknya. "Sepertinya aku belum punya rencana apa-apa." "Bagaimana kalau kita minum teh di rumahku? Kue buatan Ibuku juga enak." "Ide bagus. Aku akan datang." "Besok pasti hari yang sangat menyenangkan dan aku sudah tidak sabar lagi," seru Marinela bersemangat. Hari terakhir sekolah, teman-teman Marinela begitu bersemangat dan bahkan tidak seperti biasanya mereka bersemangat mengikuti setiap pelajaran yang diberikan. Begitu pun juga dengan Greta yang wajahnya nampak ceria. Tidak terasa pelajaran sekolah untuk hari ini selesai. Marinela segera pergi keluar kelas begitu bunyi bel dibunyikan. Ia begitu gembira sekali dan berharap musim panas tahun ini akan menjadi musim panas terindah dalam hidupnya. Saat dia pulang ke rumah, Nyonya Calderon sedang mencabuti rumput di depan rumahnya. "Siang Nyonya Calderon!" "Siang Marinela! Bagaimana hari terakhir sekolah di musim panas ini?" "Sangat menyenangkan." "Semoga liburan musim panasmu menyenangkan." "Terima kasih Nyonya Calderon. Permisi!" Marinela melihat seorang pria sedang bicara dengan Carolina di depan rumahnya dan sepertinya terjadi perdebatan diantara mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN