Sang Jenderal

1321 Kata
"Bu..." Barra memandang Ibunya dengan ragu. Wanita itu menoleh sejenak. Dilihatnya wajah anak laki-lakinya yang tampak serius. Diletakannya selimut yang baru saja dilipatnya di atas kasur. "Ada yang mau kamu bicarakan?" Tanyanya lembut seraya duduk di tepi tempat tidur. Barra mengangguk lalu ikut duduk di samping Ibu. "Hmm... Barra mau ketemu Ayahnya Alma, Bu. Nanti sore." Sejenak wanita itu terdiam menatap Barra lalu tersenyum. "Alma yang meminta kamu?" Tanyanya lagi. Barra kembali mengangguk. "Kamu takut?" Barra terdiam sesaat. "Ya, Bu..." Sahutnya pelan. Ibu tersenyum. "Apa yang kamu takutkan? Ayahnya juga manusia." Barra melepaskan nafas panjangnya. "Yang Barra takutkan bukan Ayahnya Bu, tapi pertanyaan-pertanyaannya nanti." "Apa Alma benar-benar mencintai kamu?" Kini Ibu menatap Barra dengan sungguh-sungguh. Lagi-lagi Barra mengangguk. "Kalau begitu tidak ada yang perlu kamu takutkan. Katakan sejujurnya. Apa adanya. Tentang perasaan kamu. Dan tentang keluarga kamu... Kalau memang dia jodohmu semua pasti akan mudah." Kini Ibu menatap kedua matanya dalam-dalam, telunjuknya menyentuh d**a Barra. "Kamu hanya harus yakin dengan hatimu," ucapnya. Barra mencoba tersenyum. Kini hatinya sedikit lega. "Ibu... suka kan, sama Alma?" Tanyanya dengan ragu. Pertanyaan Barra membuat Ibu tertawa kecil. "Tumben kamu menanyakan itu? Biasanya kamu enggak perduli Ibu suka apa enggak sama pacar-pacar kamu?" Barra tersenyum malu. "Ya... ini kan, beda Bu. Barra serius sama Alma." Kini Ibu menyentuh bahu Barra. Dan ditatapnya kembali Barra dengan sungguh-sungguh. "Alma anak baik. Tapi kamu harus berhati-hati. Ayahnya begitu menjaganya. Jangan sampai kamu mempermainkan dan melukai hatinya." Barra mengangguk. Tentu saja ia tidak akan mempermainkan Alma. Dari dulu pun ia tidak pernah mempermainkan wanita. Karena memang tidak ada wanita mana pun yang pernah dianggapnya serius, selain Alma. Kini hatinya semakin lega. Ia hanya harus yakin dan percaya diri di hadapan Sang Jenderal. ... Diantar seorang pria berseragam hijau militer, Barra masuk ke dalam sebuah ruangan bernuansa coklat dengan furnitur kayu yang sangat elegan. Ia dipersilakan untuk duduk menunggu di sana. Tapi Barra malah berdiri terpaku. Matanya menelusuri seluruh ruangan besar itu dengan takjub. Di hadapannya terletak sebuah meja kayu besar dengan kursi kerja berbahan kulit, berhadapan dengan sepasang kursi kayu berukir untuk menerima tamu. Di dindingnya terpampang foto presiden dan wakilnya. Dan bendera merah putih dengan tiang kayu kecil berdiri tegak di sudutnya. Di tengah ruangan terdapat satu set meja dengan enam kursi kayu berukir yang sepertinya juga digunakan untuk menerima tamu. Barra menyadari, kini ia tengah berada di ruang kerja Sang Jenderal. Ditelusurinya kembali seluruh ruangan besar itu dan memandangi satu persatu foto-foto yang tergantung dalam figura-figura berwarna emas. Semuanya foto-foto Sang Jenderal bersama orang-orang penting negeri ini. Presiden, menteri, pemuka agama, dan orang terkenal lainnya. Tampak juga sebuah potret dirinya dengan seragam militer lengkap beserta tanda bintang dan kepangkatan yang berderet di dadanya. Kini ia merasa dirinya tak berarti. Mata Barra kembali menelusuri foto-foto lain dalam ruangan itu. Dan ia kembali terpaku saat dilihatnya foto keluarga Alma dalam figura besar yang tergantung terpisah di dinding lainnya. Tampak Alma bersama kedua orang tua dan adik laki-laki yang belum pernah dilihatnya. Barra menarik nafas. Disentuhnya foto itu. Keluarga yang sempurna. Kontras sekali dengan keluarganya. Batinnya tiba-tiba saja terasa pedih. "Hei...!" Sebuah suara mengagetkan Barra dan membuatnya menoleh seketika. Alma sudah berdiri di belakangnya dengan wajah berseri-seri. "Bukan di sini tempatnya. Papa sudah nunggu di taman. Yuk!" Ajaknya seraya menggandeng tangan Barra, menelusuri halaman berumput hijau yang luas. Menuju sebuah teras dengan taman yang indah. Dengan meja dan kursi-kursi kayu yang sepertinya memang digunakan keluarga Alma untuk bersantai sambil minum teh. Tampak mereka tengah menunggunya di sana. Sang Jenderal dan Istrinya. Jantung Barra kini berdegup lebih kencang. "Pah, Mah, kenalin ini Barra!" Alma memperkenalkannya pada kedua orang tuanya yang menyambutnya dengan senyum ramah. "Barra, Om... Tante..." Barra memperkenalkan diri sambil membungkuk menyalami keduanya. Sang Ibu dengan ramah mempersilakan Barra duduk di samping Alma, berhadapan langsung dengan wajah Sang Jenderal. "Nama lengkap kamu siapa?" Pertanyaan tanpa basa basi itu keluar dari mulut Sang Jenderal, membuatnya Barra semakin gugup. "Barra Putra Mahendra," sahut Barra seraya tetap tersenyum menutupi kegugupannya. "Ayah kamu bernama Mahendra?" Tanyanya lagi. Barra mengangguk. Hatinya mendadak gusar. Apakah ia akan menanyakan tentang Ayahnya saat ini juga? Ditunggunya dengan berdebar pertanyaan itu. Tapi Sang Jenderal malah mengambil cangkir besarnya, dan meneguk kopinya perlahan. Tiba-tiba suasana menjadi hening. "Minum dulu, Bar." Suara Alma memecah keheningan. Diletakannya secangkir teh hangat di hadapan Barra. Barra langsung meneguknya sedikit untuk menenangkan hatinya. "Sudah berapa lama kamu kenal anak saya?" Kini Sang Jenderal sudah meletakan cangkir besarnya. Mata tajamnya menatap Barra. Hati Barra mendadak tenang mendengar pertanyaan itu. Ia tak lagi meneruskan pertanyaan tentang Ayahnya. "Hm, kenalnya sih sudah hampir satu tahun, Om. Tapi baru dekatnya lima bulan terakhir ini," sahutnya seraya sejenak memandang Alma yang tersenyum menatapnya. "Kuliah kamu jurusan apa?" "Hukum, Om." "Hmm... Kenapa tidak masuk tentara?" Pertanyaan Sang Jenderal mengagetkan Barra. Ia bingung harus menjawab apa. "Papa...?" Alma memandang Ayahnya sambil membulatkan mata. "Papa kan, cuma tanya...?" Suara Sang Jenderal mendadak lembut. Dan kini ia memandangi Barra dari ujung rambut sampai kaki sebelum kemudian melontarkan pertanyaannya kembali. "Ada dua jenis laki-laki yang biasanya mencoba mendekati anak saya. Yang pertama, karena dia tahu Alma anak saya. Yang kedua, karena Alma calon dokter. Kamu jenis yang mana?" Pertanyaan lugas itu kembali mengagetkan Barra. Ia terdiam sejenak. "Bukan keduanya, Om," jawabnya. "Lalu...?" Barra kembali terdiam. Ini seperti pertanyaan ujian buatnya. Dicobanya memikirkan jawaban, karena sebenarnya ia pun tak tahu apa yang membuatnya jatuh cinta pada Alma. Ia hanya merasa nyaman berada di sisinya. Ia kagum dengan kerendahan hatinya. Alma juga pintar dan tahu banyak hal. Bersamanya Barra selalu merasa bahagia. Ya, itu dia jawabannya. "Alma membuat saya bahagia." Jawaban Barra membuat Alma tersipu. Kini sang Jenderal terdiam. Sepertinya ia mempercayainya. "Kalau kamu apa, Alma?" Tanya sang Mama tiba-tiba. "Apa yang membuat kamu jatuh cinta pada Barra?" Alma memandang Barra. "Hmm, enggak tahu, Mah. Alma suka aja sama Barra. Alma merasa nyaman sama dia," sahut Alma membuat Barra menjadi salah tingkah. "Apa kamu serius menjalin hubungan dengan anak saya?" Sang Jenderal kembali melontarkan pertanyaan. "Saya serius, Om." Kini Barra menjawab dengan penuh percaya diri. Tapi Sang Jenderal masih menatapnya, seolah ingin mencari kebenaran dalam matanya. "Kamu tidak bisa main-main dengan anak saya." Ucapan itu terdengar seperti sebuah ancaman buat Barra. Barra menggeleng. "Tidak akan, Om!" Jawabnya dengan yakin. "Kalau kamu sampai menyakiti Alma dan membuatnya menangis, kamu akan berhadapan dengan saya." Kini wajah Sang Jenderal mendekatinya, memaksa Barra menarik wajahnya menjauh. Tubuhnya terasa gemetar. "Pah..." Suara lembut Alma membuat Sang Jenderal menarik kembali wajahnya menjauh dari Barra. "Saya sudah tahu semua hal tentang kamu. Saya juga tahu kamu sering membonceng Alma naik motor." Lagi-lagi Barra terkesiap. Ditatapnya Alma. "Itu Alma yang minta, Pah," sahut Alma mencoba membela Barra. "Papa tahu. Tapi kalau besok kamu masih minta dibonceng motor lagi, ijin pacaran kamu Papa cabut," sahut sang Ayah sambil menatap anak perempuan kesayangannya itu dengan sungguh-sungguh, membuat Alma langsung menganggukan kepalanya. Barra kini menjadi tak yakin sang Jenderal benar-benar merestui hubungan mereka. Dia sudah tahu semua hal tentang dirinya. Dia juga pasti sudah tahu tentang Ayahnya. Tak ada yang bisa dibanggakan darinya. Ia tak punya apa-apa. Kini ia merasa dirinya semakin tak berarti. Ia tahu Alma mencintainya. Ia membelanya di hadapan Ayahnya. Tapi apakah ia akan selalu bisa membelanya setiap saat? Ia tidak mau hidupnya berada di balik punggung Alma. Bukankah ia yang seharusnya menjadi perisai Alma? Menjadi pembela dan pelindungnya. Tiba-tiba pria berseragam yang tadi mengantarnya tampak masuk tergopoh-gopoh. Lalu berbicara singkat dengan Sang Jenderal yang langsung beranjak dari kursinya bersama Sang Istri. Rupanya tamu lainnya sudah menunggu. Barra pun tersenyum lega ketika kemudian keduanya beranjak meninggalkan mereka. Ujiannya telah berakhir. Kini Alma menatapnya dengan hangat. Ada kebahagiaan terpancar dari wajahnya. "Terima kasih, ya!" Ucapnya seraya menggenggam tangan Barra. "Untuk apa?" Tanya Barra tak mengerti. "Untuk sabar menghadapi Papa," sahutnya. Bara tersenyum. "Terima kasih juga sudah membelaku," sahutnya. "Padahal, dengan naik motor itu aku bisa berlama-lama memeluk kamu," rajuk Alma. "Kita naik motornya di dalam rumahku aja biar enggak ada yang lihat," bisik Barra membuat Alma tergelak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN