Alma Menghilang

1249 Kata
Barra melirik layar ponselnya entah untuk yang keberapa kali. Dibukanya lagi pesan terakhir yang dikirimkannya ke nomor Alma, tapi tanda centang satunya masih belum berubah. Puluhan pesan teks dan suara yang dikirimkannya sejak Senin pagi pun tak ada yang sampai. Tak ada kabar apa pun sejak terakhir mereka bertemu di Minggu sore itu hingga saat ini. Barra menarik nafas panjang. Tidak biasanya Alma seperti ini. Ia tidak pernah tanpa kabar sehari pun. Ia selalu dapat dihubungi kapan saja. Dicobanya kembali untuk menelepon, tapi masih tak ada nada sambung yang terdengar. Apa yang terjadi padanya? Apa Alma sakit? Hatinya semakin gundah. Diliriknya jam di ponsel. Baru pukul setengah enam pagi. Ia bahkan belum tidur karena semalaman memikirkan Alma. Dibukanya tirai jendela. Matahari belum keluar. Terdengar suara peluit teko dari dapur. Ibu sudah bangun. Barra pun keluar dari kamarnya. "Bu..." Ibu menoleh terkejut. "Tumben? Ada kuliah pagi?" Tanyanya seraya menuang teh panas yang baru dibuatnya itu ke dalam sebuah cangkir. Barra ingin menggeleng, tapi ia juga tidak ingin Ibunya curiga. "Ya, jam tujuh," sahutnya. "Sekalian Barra antar ke kantor, Bu?" "Masih terlalu pagi, Bar. Kantor Ibu kan, baru buka jam delapan," sahut Ibu. Kini ia menuang kembali teh panas ke dalam cangkir lainnya dan diberikannya pada Barra. "Makasih, Bu!" Barra menyeruput perlahan teh panasnya. Sebenarnya hari ini kuliah paginya baru dimulai pukul sembilan, tapi ia ingin mampir ke rumah Alma terlebih dahulu. Ia takut terjadi sesuatu padanya. "Ya, kalau kamu mau antar, enggak apa-apa Ibu siap-siap dulu dari sekarang. Tapi kamu sarapan dulu. Ibu sudah masak." "Masih terlalu pagi untuk sarapan, Bu..." "Paling enggak makan roti. Ibu enggak mau dengar kamu makan mie ayam lagi!" Tukas Ibunya seraya masuk ke dalam kamar untuk bersiap-siap. Barra buru-buru menyambar selembar roti tawar dan mengoleskan selai kacang di atasnya. Ia tahu, kalau perintah Ibunya tak segera dilakukan, waktunya akan semakin lama terbuang karena harus mendengarkan omelannya lagi. Ia sudah tak sabar untuk mengetahui kabar Alma. "Yuk!" Ibu sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Ia juga sudah menyandang tas kerja dan menenteng tas bekalnya. Barra menghabiskan tehnya. Memakai helm dan jaket lalu menyalakan motor. Beberapa menit kemudian ia sudah meluncur di jalan raya yang masih sepi. Hanya butuh setengah jam perjalanan bagi Barra untuk mengantar Ibunya sampai di kantor. Di sebuah perusahaan ekspedisi. Ibunya sudah bekerja di sana selama dua belas tahun, sejak Barra masih sekolah dasar. Sejak perusahaan itu masih kecil hingga kini mempunyai cabang hampir di seluruh Indonsia. Dan kini Barra sudah berada di depan rumah besar itu. Ia sedikit lega mengingat Sang Jenderal sedang tidak berada di rumahnya saat ini. Ia sudah berangkat ke luar negeri. Barra memarkirkan motornya agak jauh lalu berjalan menuju pos penjagaan yang terletak tepat di samping pintu gerbang rumah. Seorang pria berseragam hijau tersenyum padanya. Ia mengenalinya. "Selamat pagi Mas Barra! Ada yang bisa dibantu, Mas?" Tanyanya. "Pagi, Pak! Maaf, saya memang tidak ada janji, tapi bisa tidak saya bertemu Alma? Ada masalah mendesak yang harus saya bicarakan langsung." Pria itu terdiam sejenak lalu memandang pria lainnya yang berada di sampingnya. Mereka saling berpandangan, membuat Barra semakin penasaran. "Hm!" Pria itu berdehem. "Maaf, Mas. Perintah Bapak, Mas Barra dilarang untuk bertemu Mbak Alma lagi." Barra hampir saja jatuh pingsan mendengarnya. Tubuhnya tiba-tiba terasa lemas. "Maksudnya?" Tanyanya terbata. "Maksudnya mulai saat ini Mas Barra sudah tidak diperbolehkan berhubungan lagi dengan Mbak Alma," sahut pria itu lagi. "Boleh saya tahu alasannya, Pak?" Tanya Barra dengan suara yang mulai parau. Kini kedua pria itu tampak kebingungan. "Maaf, Mas kami tidak diberitahu alasannya. Perintah dari Bapak hanya seperti itu." "Tapi saya boleh bertemu Alma sebentar saja?" Pinta Barra dengan suara memelas. Kedua pria itu menggeleng berbarengan. "Maaf, Mas Barra. Kami hanya menjalankan perintah." Mata Barra kini berkaca-kaca. Dengan langkah gontai ia berjalan menuju motornya, lalu terduduk di sana dalam kebingungan. Ia menggelengkan kepalanya berulang kali. Hal yang paling ditakutkannya terjadi. Harusnya ia sudah siap menerimanya. Sejak mulai berpacaran dengan Alma ia selalu memikirkannya. Tapi kenapa sesakit ini? Mengapa begitu cepat? Mengapa Alma tidak memberitahukannya langsung. Bukankah ia berhak mendapat sedikit saja penjelasan darinya? Mengapa ia kejam sekali? Barra tak bisa lagi membendung air mata yang kini jatuh menetes di pipinya, dipakainya helm dan dipacunya motor dengan kencang untuk kembali pulang. Ia bahkan sudah tak ingin lagi pergi ke kampusnya. ... Barra membuka kedua mata ketika dirasakannya sebuah sentuhan lembut di keningnya. "Kamu sakit?" Ibu tampak khawatir melihatnya. Disentuhnya lagi pipi dan dagunya. "Kamu anget!" Wajahnya bertambah cemas. "Enggak, Bu. Cuma kurang tidur aja. Semalam ngerjain tugas kuliah," sahutnya berbohong, lalu buru-buru beranjak bangun, diusap-usapnya wajah, berharap Ibu tidak melihat matanya yang sembab karena tangis. Malu sekali kalau sampai Ibu tahu. Baru kali ini ia menangis karena cinta. "Kok, Ibu udah pulang?" Tanyanya melihat Ibunya masih berpakaian kerja. "Kamu enggak tahu ini jam berapa?" Sahut Ibu. "Ibu kira kamu belum pulang. Rumah gelap, lampunya belum dinyalakan," omel Ibu sambil menutup jendela kamar Barra yang terbuka. Barra baru menyadari, ternyata ia sudah tertidur lama sekali. Dilihatnya ponselnya yang mati karena kehabisan daya. Sejak pulang dari rumah Alma ia terus menghubungi teman-teman Alma yang dikenalnya untuk menanyakan kabar. Tapi tak ada satu pun yang tahu, karena hari ini pun Alma tidak masuk kuliah. "Cepat bangun! Makan, terus minum obat," perintah Ibu sambil berjalan keluar dari dalam kamar. Barra baru merasakan perutnya keroncongan saat dilihatnya sepiring sate ayam kesukaannya sudah tersaji di atas meja makan. Disendoknya nasi dalam piring. Dilihatnya wajah Ibunya yang lelah. Ah! Sebenarnya ia tak tega untuk menambah beban Ibu dengan ceritanya, tapi ia sangat membutuhkan pendapatnya saat ini. "Bu..." Ibu menoleh. "Kenapa? Mau bicara tentang Alma lagi?" Tanyanya seraya meletakan setumpuk sate di atas piring nasi Barra. Barra mengangguk. "Kamu diputusin?" Ucapan Ibunya membuat Barra hampir saja tersedak. "Kamu pikir Ibu percaya lihat mata kamu merah dan sembab begitu gara-gara mengerjakan tugas kuliah?" Kini Ibu menatap Barra dalam-dalam. "Ayahnya enggak merestui hubungan kalian?" Tanyanya perlahan. Barra kembali mengangguk. Ia tak mampu berkata. Dikerjapkannya kedua mata yang tiba-tiba saja kembali menghangat. Ia tak boleh menangis di hadapan Ibu. Ibu menghembuskan nafasnya perlahan. Disentuhnya tangan anaknya. "Enggak apa-apa kalau kamu mau menangis, Barra," ucapnya membuat Barra tak bisa lagi membendung air matanya. Ibu memeluk erat anak laki-laki kesayangannya itu. Diusap-usapnya punggungnya. "Kalau kamu menangis karena cinta, berarti kamu sudah mengenalnya. Dia akan datang tiba-tiba, dan dia juga akan pergi tiba-tiba. Kamu mungkin akan merasakan sakitnya. Tapi percayalah, lama-lama kamu akan kuat." "Tapi ini sangat menyakitkan, Bu. Bahkan dia tak mau menjelaskannya pada Barra. Ayahnya menganggap Barra tidak ada artinya, sampai-sampai memutuskan hubungan kami pun cukup lewat penjaga rumah. Mereka kejam sekali," lirih Barra. Ibu melepaskan pelukannya. Ditatapnya tajam wajah Barra. "Jadi bukan Alma yang mutusin kamu?" Tanyanya. Barra menggeleng. "Terus kamu diam saja di sini? meratapi nasibmu?" Tanyanya lagi membuat Barra kebingungan. Kini kedua tangan Ibu memegang kedua bahunya dengan kuat. "Hubungan kamu belum putus kalau bukan Alma sendiri yang memutuskan!" Ucapnya lagi dengan sungguh-sungguh. "Tapi Alma sudah tidak bisa dihubungi lagi, Bu?" Sahut Barra. "Lalu kamu tidak berusaha lagi?" "Bu..." Kini Barra semakin bingung dengan sikap Ibunya. "Kalau kamu memang mencintainya, berjuang lah Barra. Atau kamu akan menyesalinya seumur hidup seperti Ibu." Barra kembali menatap Ibunya dalam-dalam. Ibu memang tidak pernah menceritakan masa lalunya. Ibu hanya pernah menceritakan saat ia berpisah dengan Ayahnya dulu. "Ibu..." Namun belum sempat Barra meneruskan ucapannya, tiba-tiba terdengar ketukan keras di pintu rumah. Barra pun berlari membukanya. "Alma!?" Jantungnya hampir saja copot. Alma berdiri tepat di depannya. Menenteng sebuah tas besar yang lalu dijatuhkannya ke lantai. Ditubruknya tubuh Barra, lalu menangis di bahunya. "Bawa aku pergi, Barra!" Isaknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN