Alma Menghilang

1326 Kata
Barra melirik layar ponselnya entah untuk yang keberapa kali. Dibukanya lagi pesan terakhir yang dikirimkannya ke nomor Alma, tapi tanda centang satunya masih belum berubah. Puluhan pesan teks dan suara yang dikirimkannya sejak Senin pagi pun tak ada yang sampai. Tak ada kabar apa pun sejak terakhir mereka bertemu di Minggu sore itu. Barra mendadak gelisah. Tidak biasanya Alma seperti ini. Ia tidak pernah tanpa kabar sehari pun. Ia selalu dapat dihubungi kapan saja. Dicobanya kembali untuk menelepon, tapi masih tak ada nada sambung yang terdengar. Apa yang terjadi padanya? Apa Alma sakit? Hatinya semakin gundah. Diliriknya jam di ponsel. Baru pukul setengah enam pagi. Ia bahkan belum tidur karena semalaman memikirkan Alma. Dibukanya tirai jendela. Matahari belum keluar. Terdengar suara peluit teko dari dapur. Ibu sudah bangun. Barra pun keluar dari kamarnya. "Bu..." Ibu menoleh terkejut. "Tumben? Ada kuliah pagi?" Tanyanya seraya menuang teh panas yang baru dibuatnya itu ke dalam sebuah cangkir. Barra ingin menggeleng, tapi ia juga tidak ingin Ibunya curiga. "Ya, jam tujuh," sahutnya. "Sekalian Barra antar ke kantor, Bu?" "Masih terlalu pagi, Bar. Kantor Ibu kan, baru buka jam delapan," sahut Ibu. Kini ia menuang kembali teh panas ke dalam cangkir lainnya dan diberikannya pada Barra. "Makasih, Bu!" Barra menyeruput perlahan teh panasnya. Sebenarnya hari ini kuliah paginya baru dimulai pukul sembilan, tapi ia ingin mampir ke rumah Alma terlebih dahulu. Ia takut terjadi sesuatu padanya. "Ya, kalau kamu mau antar, enggak apa-apa Ibu siap-siap dulu dari sekarang. Tapi kamu sarapan dulu. Ibu sudah masak." "Masih terlalu pagi untuk sarapan, Bu..." "Paling enggak makan roti. Ibu enggak mau dengar kamu makan mie ayam lagi!" Tukas Ibunya seraya masuk ke dalam kamar untuk bersiap-siap. Barra buru-buru menyambar selembar roti tawar dan mengoleskan selai kacang di atasnya. Ia tahu, kalau perintah Ibunya tak segera dilakukan, waktunya akan semakin lama terbuang karena harus mendengarkan omelannya lagi. Ia sudah tak sabar untuk mengetahui kabar Alma. "Yuk!" Ibu keluar dari dalam kamar dengan pakaian yang sudah rapi serta menyandang tas kerjanya. Barra pun buru-buru menghabiskan tehnya, lalu menyambar jaket dan helmnya. Dan beberapa saat kemudian mereka pun sudah berada di jalan raya yang masih sepi di pagi itu. Hanya butuh setengah jam perjalanan bagi Barra untuk mengantar Ibu sampai di kantornya, sebuah perusahaan ekspedisi. Ibu sudah bekerja di sana selama dua belas tahun, sejak perusahaan itu masih kecil hingga mempunyai cabang hampir di seluruh negeri. Ia lalu kembali memacu motornya menuju rumah Alma. Barra memarkirkan motornya sedikit menjauh dari depan rumah besar itu, lalu berjalan kaki menuju pos penjagaan yang terletak tepat di samping pintu gerbang rumah. Ia sedikit lega mengingat saat ini Sang Jenderal sudah berangkat ke luar negeri. "Selamat pagi Mas Barra! Ada yang bisa dibantu, Mas?" Seorang pria berseragam hijau yang sudah mengenalnya menyambut Barra di depan pintu gerbang. "Pagi, Pak! Maaf, saya memang tidak ada janji, tapi apa bisa saya bertemu Alma? Ada masalah mendesak yang harus saya bicarakan langsung," ucap Barra setengah berdusta. Pria itu terdiam sejenak lalu memandang pria lainnya yang berada di sampingnya. Dan mereka lalu saling pandang seperti saling memberi isyarat. Membuat Barra semakin gelisah dan penasaran. "Hm!" Pria itu berdehem. "Maaf, Mas. Perintah Bapak, Mas Barra dilarang untuk bertemu Mbak Alma lagi," ucapnya. "Maksudnya, Pak?" "Maksudnya Mas Barra tidak boleh berhubungan lagi dengan Mbak Alma," timpal pria lainnya. Seketika Barra merasa tubuhnya mendadak lemas. "Boleh saya tahu alasannya, Pak?" Tanya Barra dengan suara terbata. Kini kedua pria itu tampak kebingungan. "Maaf, Mas kami tidak diberitahu alasannya. Perintah dari Bapak hanya seperti itu." "Tapi apa saya boleh bertemu Alma sebentar saja?" Pinta Barra dengan wajah memohon. Kedua pria itu menggeleng berbarengan. "Maaf, Mas Barra. Kami hanya menjalankan perintah." "Please, Pak! Sebentar saja..." Barra menatap kedua pria itu dengan wajah memelas. Tapi kedua pria itu tetap menggeleng. Dan Mata Barra pun kini berkaca-kaca. Dengan langkah gontai ia berjalan menuju motornya, lalu terduduk di sana dalam kebingungan. Ia menggelengkan kepalanya berulang kali. Hal yang paling ditakutinya akhirnya terjadi. Harusnya ia sudah siap menerimanya, karena sejak mulai berpacaran dengan Alma ia sudah memikirkannya. Tapi tetap saja hal ini tak bisa ia terima begitu saja. Kalau memang Sang Jenderal tak merestui hubungan mereka mengapa tak mengatakannya saja waktu itu? Mengapa harus menunggu? Dan mengapa harus dengan cara seperti ini? Bukankah ia berhak mendapat sedikit saja penjelasan? Mengapa kejam sekali? Barra tak bisa lagi membendung air mata yang kini jatuh menetes di pipinya, dipakainya helm dan dipacunya motor dengan kencang untuk kembali pulang. Ia bahkan sudah tak ingin lagi pergi ke kampusnya. ... Barra membuka kedua mata saat ia merasakan sebuah sentuhan lembut di wajahnya. "Kamu kok, anget? Kamu sakit?" Tanya Ibu dengan cemas. Barra menggeleng. "Enggak, Bu. Cuma kurang tidur aja. Semalaman ngerjain tugas kuliah," sahutnya berbohong. Buru-buru ia beranjak bangun dan mengusap-usap wajahnya, berharap Ibu tidak melihat matanya yang sembab karena menangis. Ia akan malu sekali kalau sampai Ibu tahu. Baru kali ini ia menangis karena cinta. "Kok, Ibu udah pulang?" Tanyanya melihat Ibu masih berpakaian kerja. "Kamu enggak tahu ini jam berapa? Ibu kira kamu belum pulang. Rumah gelap, lampu-lampu belum dinyalakan," omelnya sambil menutup jendela kamar Barra yang terbuka. Seketika Barra pun menyadari jika ternyata ia sudah tertidur lama. Dilihatnya ponselnya yang sudah kehabisan daya karena sejak pagi ia gunakan untuk mencari Alma dengan menghubungi semua teman-temannya. Tapi tak ada satu pun yang tahu keberadaannya. Karena hari ini pun Alma tidak datang ke kampusnya. "Cepat bangun! Makan, terus minum obat," perintah Ibu sambil berjalan keluar dari dalam kamar. Barra baru merasakan perutnya keroncongan saat dilihatnya sepiring sate ayam kesukaannya sudah tersaji di atas meja makan. Sambil menyendokkan nasi ke dalam piring ia memandangi wajah Ibu yang lelah. Ah! Sebenarnya ia tak tega untuk menambah beban Ibu dengan ceritanya, tapi ia sangat membutuhkan pendapatnya saat ini. "Bu..." Ibu menoleh. "Kenapa? Mau bicara tentang Alma lagi?" Tanyanya seraya meletakkan setumpuk sate di atas piring Barra. Barra lalu mengangguk. "Kamu diputusin?" Ucapan Ibu membuat Barra terkejut. Dari mana Ibu tahu? Batinnya. "Kamu pikir Ibu percaya lihat mata kamu merah dan sembab begitu gara-gara mengerjakan tugas kuliah?" Sahut Ibu menatap tanya di wajah Sang Putra semata wayangnya itu. "Tadi Barra ke rumah Alma. Bu. Tapi Barra enggak boleh masuk. Katanya Barra enggak boleh lagi ketemu dia," ucap Barra. "Apa Ayahnya yang melarang?" Tanya Ibu. Barra mengangguk. Ia tak mampu berkata. Dikerjapkannya kedua mata yang tiba-tiba saja kembali menghangat. Ia tak boleh menangis di hadapan Ibu. Ibu menatap Barra dengan lembut. "Enggak apa-apa kalau kamu mau menangis, Barra," ucapnya, membuat air mata Barra akhirnya mentes. Ibu beranjak bangun lalu mengusap-usap punggung putra tercintanya itu. "Kalau kamu menangis karena cinta, berarti kamu sudah mengenalnya. Dia akan datang tiba-tiba, dan dia juga akan pergi tiba-tiba. Kamu mungkin akan merasakan sakitnya. Tapi percayalah, lama-lama kamu akan kuat," ucapnya. "Tapi ini sangat menyakitkan, Bu. Bahkan dia enggak mau menjelaskannya pada Barra. Ayahnya menganggap Barra tidak ada artinya, sampai-sampai memutuskan hubungan kami pun cukup lewat penjaga rumah. Mereka kejam sekali," lirih Barra. Ibu menatap wajah Barra. "Jadi tadi kamu belum bertemu Alma?" Tanyanya. Barra menggeleng. "Dan dia enggak bicara apa-apa sama kamu?" "Alma sudah enggak bisa dihubungi, Bu. Bahkan hari ini dia juga enggak datang ke kampus." "Terus kamu diam saja di sini? meratapi nasibmu?" Barra menatap Ibu dengan bingung. "Hubungan kamu belum putus kalau bukan Alma sendiri yang memutuskan. Kamu harus berjuang!" Ibu menatap Barra dengan sungguh-sungguh. "Tapi Alma sudah tidak bisa dihubungi lagi, Bu?" Sahut Barra. "Lalu kamu tidak berusaha lagi?" "Bu..." Kini Barra semakin bingung dengan sikap Ibunya. "Kalau kamu memang mencintainya, berjuang lah, Barra. Atau kamu akan menyesalinya seumur hidup seperti Ibu." Barra kembali menatap Sang Ibu dengan terkejut. Ibu memang tidak pernah menceritakan masa lalunya. Ia hanya tahu bahwa Ibu dan Ayah sudah berpisah sejak ia masih sangat kecil. "Ibu..." Namun belum sempat Barra meneruskan ucapannya, tiba-tiba terdengar ketukan keras di pintu rumah. Barra pun berlari membukanya. "Alma!?" Jantung Barra hampir saja melompat keluar melihat Alma berdiri di hadapannya dengan menenteng sebuah tas besar yang lalu dijatuhkannya ke lantai. "Bawa aku pergi, Barra!" Isaknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN