Ancaman

1100 Kata
"Kita sarapan dulu!" Teriak Dominik pada Barra yang tengah duduk di dalam sebuah gazebo bambu di halaman rumahnya. Barra tertawa melihat temannya itu kepayahan membawa sebuah nampan besar berisi makanan dan seteko teh tubruk panas. Dibantunya Dominik meletakan nampan di atas meja. "Orang tua lu masih ngurusin toko oleh-oleh?" Tanyanya saat melihat sepiring wingko babat dan tahu goreng yang masih hangat. Dominik mengangguk. "Sekarang tokonya tambah gede. Lumayan bisa buat biayain Angga kuliah di Yogya." "Ade lu itu?" Dominik kembali mengangguk. "Ya, gue juga dikit-dikit bantuin bayarin kost-nya," ucapnya lagi seraya menuang teh panas ke dalam tiga buah gelas bergagang. "Alma ke mana?" Tanyanya. "Beresin paviliun. Mana betah dia tidur di tempat berantakan gitu," sahut Barra. Dominik tertawa. "Maklum, bujangan. Lu ngasih taunya dadakan, gua gak sempat nyuruh orang beresin. Nyokap bokap kan, sekarang jarang pulang ke rumah. Nginap di toko. Pulangnya seminggu sekali. Barra menaikkan alisnya. "Kenapa?" Dominik menyeruput teh panasnya. "Lu liat aja sendiri. Bengkel gua kan, sekarang tambah gede. Tambah rame, kadang teman-teman gua pada nongkrong juga di sini sampe malam. Nyokap gak betah. Berisik katanya." Barra tertawa. Dipandanginya bangunan garasi yang dulunya adalah tempat pencucian mobil itu kini sudah berubah menjadi bengkel. Sebuah hidrolik besar juga tampak di tengah-tengah halaman rumah. Dan tulisan besar "Bengkel The Fast & Furious" tampak terpampang dengan mencoloknya di pagar depan rumah. "Hebat lu, Dom udah bisa mandiri. Bisa bantuin orang tua." Ada nada bangga sekaligus iri dalam suara Barra. "Ya gua kan, bukan lu yang punya otak pinter, tampang ganteng, bisa dapetin anak jenderal," sahut Dominik setengah mengeluh. Barra tertawa. "Sialan lu. Liat aja nasib gua sekarang." Barra meneguk tehnya. "Lu beneran serius sama dia?" Tanya Dominik dengan wajah serius. "Gua udah jadi DPO gini masih lu anggap enggak serius juga." Dominik terdiam. "Lu suka sama dia karena apanya? Karena dia anak jenderal atau karena dia calon dokter?" Barra menatap temannya itu dengan mulut terbuka. "Pertanyaan lu kayak bokapnya Alma?" Sahutnya. "Ya... realistis aja, Bar. Gua kan, tau lu. Lu gak pernah serius sama cewek. Dan sorry to say, tapi yang gua liat selama ini di sosmed lu tuh cewek-cewek lu biasanya kan, tampang-tampang selebgram semua." Barra tertawa. "Cewek-cewek ribet itu?" Tanyanya. "Emang Alma gak ribet?" Tanya Dominik lagi penasaran. Barra menggeleng. "Alma tuh simpel. Gak ribet. Gak manja. Gak banyak ngatur. Pintar lagi. Dia enggak pernah nuntut yang aneh-aneh ke gua. Dan dia mau menerima gua apa adanya. Sama dia gua bisa jadi diri sendiri." Dominik mengangguk-angguk. "Emang enak kalo jadi orang ganteng, separo hidup lu beres tanpa perlu ngapa-ngapain," ujarnya sambil memasukan sebuah tahu goreng ke dalam mulutnya. Barra tergelak. "Lebih enak jadi orang banyak duit, seluruh hidup lu langsung beres tanpa masalah," sahutnya sambil melambaikan tangan pada Alma yang memandanginya dari teras paviliun. "Sarapan dulu!" Teriaknya. Sesaat kemudian Alma menghampiri Barra dengan wajah bingung. "Kenapa?" Tanya Barra Tapi Alma tak segera menjawab. Diliriknya Dominik sesaat. "Mmm, gua ke belakang dulu ya, sebentar!" Pamit Dominik seolah tahu Alma hanya ingin berbicara berduaan saja dengan Barra. Barra menarik tangan Alma duduk di sampingnya. Alma memandang Barra. Ia seperti enggan bercerita. Ditariknya nafas panjang sebelum kata-kata keluar dari mulutnya. "Mama... barusan telepon..." "Terus?" Tanya Barra tak sabar. Hatinya mendadak gelisah. Alma menatap Barra dengan ragu. "Kata Mama, kalau aku enggak pulang dalam waktu dua hari ini, Papa akan memberi tahu media kalau kamu menculik aku." Kini mata Alma berkaca-kaca. Barra menatap Alma dengan bingung. Ia tak tahu harus berkata apa. Dihembuskannya nafas panjang. Matanya menatap kosong ke arah pepohonan di hadapannya. "Dua hari lagi Papamu akan kembali?" Tanyanya tanpa menoleh. Alma mengangguk dengan wajah tertunduk. "Mamamu tahu kita ada di sini?" Tanya Barra lagi. "Mama enggak bilang. Mama juga sedih enggak bisa bujuk Papa." "Apa mantan kamu yang memaksanya?" Alma menggeleng. "Aku enggak tahu." "Kita harus bagaimana, Ma? Papamu enggak bisa ditentang." Barra kembali memandang Alma. "Kamu akan menyerah?" Alma mulai terisak. Tapi Barra tak menjawab. Ia masih sibuk dengan pikirannya. Lama Alma menunggu hingga Barra mengucapkan kata lagi. Tapi Barra masih tetap terdiam. Hingga akhirnya ia mengusap air matanya lalu berlari kembali ke paviliun. Terdengar suara pintu kamar yang tertutup dengan keras. Dominik menghampiri Barra. "Lu berantem?" Tanyanya. Barra mengusap wajah dengan kedua tangannya. Dipandanginya temannya itu dengan bingung lalu diceritakannya apa yang terjadi. Dominik tersenyum. "Lu jangan bingung. Pakai dong, the power of sosmed," ujarnya dengan penuh keyakinan. "Caranya?" Barra menatap Dominik. Dan dengan antusias Dominik pun menjelaskannya. Barra tersenyum lebar. "Gua enggak nyangka lu punya ide secemerlang itu." Ditepuk-tepuknya punggung sahabatnya itu dengan kagum. Dominik tersenyum seraya menepuk dadanya dengan bangga. "Kita kasih tahu Alma sekarang!" Ucap Barra sambil beranjak bangun dari duduknya lalu berlari menuju paviliun. Dengan tak sabar diketuk pintu kamar Alma. Alma keluar dengan wajah sembab. Barra menarik tangannya duduk di kursi teras. "Dominik punya ide cemerlang..." Barra menoleh pada Dominik yang masih tersenyum dengan bangganya. Alma mengangkat kedua alisnya. "Ide apa?" Tanyanya tak sabar. "Jadi, kamu harus membuat klarifikasi dalam bentuk video kalau kamu sebenarnya enggak diculik, tapi kamu pergi karena enggak mau dijodohkan sama Papa kamu. Nanti kamu kirim ke Mamamu dan bilang kalau sampai Papamu membuat konferensi pers tentang penculikan kamu, video itu akan beredar di sosial media." "Kalau perlu kita kirim ke stasiun televisi juga!" Tambah Dominik lagi penuh semangat. "Kamu setuju?" Tanya Barra. Alma mengangguk senang. Ia kembali tersenyum. Dihampirinya Dominik. "Makasih, ya!" Ucapnya. Kedua tangannya terulur ingin merangkulnya. Tapi tangan Barra keburu menariknya kembali. "Gak perlu!" Ucap Barra, membuat Dominik menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sekarang kamu tenangkan diri dulu. Kalau perlu kamu tulis apa yang mau kamu ucapin. Dan segarkan wajah, jangan terlihat sembab. Nanti Papamu mengira aku menganiaya kamu," ucap Barra lagi membuat Alma tertawa. "Ok, aku akan siap-siap dulu." Alma kembali masuk ke dalam kamarnya. Dan beberapa saat kemudian ia sudah kembali dengan wajah lebih segar dan dengan riasan tipis di wajahnya. Ia bahkan mengganti pakaiannya dengan warna cerah. Barra tersenyum melihatnya. "Kamu siap direkam sekarang?" Tanyanya sambil mengeluarkan ponsel dari saku celana. Alma mengangguk. "Ok! Kita bikin videonya sekarang. Aku sama Dominik akan sama-sama merekam." Barra mengatur posisi duduk Alma lalu mulai merekamnya. Tak butuh waktu lama akhirnya video pun selesai. "Terima kasih!" Alma memeluk Barra. "Aku percaya kamu akan selalu menjagaku," bisiknya. "Kita akan sama-sama menghadapi ini." Barra mengusap-usap rambut Alma. "Aku tadi hampir putus asa, Bar. Aku hampir saja telepon Mama untuk bilang akan pulang. Aku enggak mau kamu dikejar-kejar polisi dan dianggap penculik. Aku enggak bisa bayangin kamu ditahan dan dipenjara karena aku." "Itu enggak akan terjadi selama kita bersama," ucap Barra dengan senyum penuh keyakinan. "Bertiga lebih baik. Biar ada yang berpikir jernih," sahut Dominik. Barra tertawa. "Bener juga, lu!" Sahutnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN