5- Rindu Kesibukan

1220 Kata
Sebagai seorang wanita karir, kesibukan sudah menjadi teman terbaik bagi Aurora. Bertahun-tahun pasca perceraiannya dari sang mantan suami, ia sudah jauh lebih dulu terbiasa hidup mandiri. Dulu, suaminya hanya memberi nafkah lahir seadanya saja, menganggap Aurora sudah mampu bekerja sendiri dan punya penghasilan. Jadi menurutnya ia tidak membutuhkan uang dari pria itu. Mungkin dulu mantan suami Aurora tak mengerti apa itu kewajiban para suami terhadap istrinya, memberi nafkah lahir salah satunya. Entah kemana uang dari hasil bisnis pria itu yang pada akhirnya hancur dengan sendirinya, seolah Tuhan tengah memberikan pelajaran atas apa yang dia lakukan pada istrinya selama ini. Dunia diputarbalikkan dengan begitu cepat, pria itu tak punya apapun selain dirinya sendiri. Mulai saat itu kekerasan demi kekerasan selalu Aurora dapatkan. Kehidupan pernikahannya jauh dari kata bahagia. Ia telah tertipu kata-kata manis serta janji palsu yang telah pria itu katakan padanya sebelum mereka menikah. Namun, Aurora tak pernah menyesali pernikahannya dengan sang mantan suami. Karena jika ia menyesali pernikahan ini, itu artinya ia juga menyesali kelahiran Sabhira. Sabhira adalah satu-satunya alasan Aurora tak menyesali pernikahannya yang tidak bahagia. Baginya, meski kehidupan dahulu begitu menyakitkan, asal bersama Sabhira, ia mampu melaluinya. Kekuatan seorang ibu berasal dari anak-anaknya. Sepertinya ucapan itu memang benar adanya bagi Aurora. Sabhira adalah alasan terkuatnya untuk bertahan hingga saat ini. “ Wah! Dokter udah kerja lagi? Hebat banget,” ucap Rena—salah satu perawat di bagian poli kandungan. Beberapa kali dia sering menjadi perawat yang mendampingi Aurora saat jam prakteknya. Aurora melempar senyum pada wanita yang umurnya hanya beda dua tahun lebih muda darinya itu. “ Iya nih. Gimana keadaan poli kandungan? Masih aman?” Rena mengangguk antusias, ia memang cukup dekat dengan Aurora. Mungkin karena umur mereka hanya terpaut sedikit dan Aurora pun adalah dokter yang sangat ramah. Bahkan sering mentraktir perawat poli kandungan kopi yang tentu saja akan membuat mereka senang. Di hari kerja yang padat, ditraktir kopi saja rasanya sudah luar biasa. “ Banyak waiting list nih, dok. Beberapa pasien sengaja nunggu dokter praktek lagi baru mau konsultasi.” “ Wah! Kalau waktunya konsul harusnya konsul aja.” Aurora tersenyum mengerti. Beberapa pasien memang keras kepala, hanya ingin konsultasi atau ditangani oleh salah satu dokter saja. Padahal di rumah sakit ini ada empat dokter kandunga, satu di antaranya sudah sangat senior. Namun, pasien tetaplah bisa memilih kemana mereka ingin konsultasi. Ditambah pasiennya banyak wanita hamil yang tentu mood mereka sangat bergantung dengan apapun yang mereka inginkan. “ Udah dibilangin, dok. Malah pada bilang, ah... dua minggu nggak konsul nggak apa-apa dong. Kan yang penting vitaminnya diminum.” “ Dasar!” Aurora tersenyum geli mendengar cerita dari Rena, terlebih perawat itu menceritakannya dengan mimik wajah yang lucu. “ Ya udah, saya minta tolong bantuannya hari ini ya.” Rena mengangguk cepat. “ Siap, dok! Satu jam lagi pasien pertamanya akan saya panggil. Dokter mau nunggu di ruangan apa gimana?” “ Saya ke kantin dulu deh mau minum kopi. Kamu mau juga?” “ Ya kalo ditawarin mau atuh, dok,” ucap Rena tanpa malu-malu. “ Ya udah saya ke kantin dulu,” ucap Aurora yang kemudian keluar dari ruang prakteknya. Ia berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang cukup ramai, apalagi di akhir pekan seperti ini. Terutama di lorong poli kandungan, banyak wanita hamil yang didampingi suaminya untuk memeriksakan kandungan mereka. Sekilas Aurora tersenyum tipis. Melihat para pasangan yang akan segera menjadi orang tua itu terlihat sangat romantis, membuatnya tiba-tiba mengingat akan bagaimana sulitnya saat kehamilan Sabhira. Jarang sekali mantan suaminya itu menemaninya untuk periksa ke dokter. Ia justru memeriksakan kandungan saat sedang sibuk menjadi dokter muda dan diperiksa oleh dokter seniornya. Tapi kehamilan itu juga yang menguatkannya untuk bertahan menyelesaikan kuliah kedokterannya. Ah, sudahlah. Tidak baik terus mengingat masa lalu yang sama sekali tak menyenangkan itu. Satu-satunya masa lalu yang menyenangkan bagi Aurora hanyalah ketika ia merawat Sabhira dan melihat perkembangan anak perempuannya itu. Kebahagiaan lainnya adalah melihat senyum dari ayahnya ketika tahu dia sudah punya cucu. Ayah. Aurora rindu. Menyusuri lorong rumah sakit membuat Aurora merasa senang sekaligus lega. Setidaknya setelah peristiwa kecelakaan itu, ia masih punya kesempatan untuk kembali berada di sini sebagai seorang dokter. Betapa berbedanya ketika ia di sini sebagai pasien. Rasanya seperti Tuhan memberinya kesempatan yang kedua kalinya, tentu ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Beberapa perawat, dokter atau karyawan rumah sakit yang berpapasan dengan Aurora pun menyapanya. Mereka juga turut mengucapkan rasa syukur karena dirinya bisa kembali bekerja seperti semula. Walau ada beberapa bisikan-bisikan yang sempat terdengar olehnya. Seperti beberapa orang mengatakan jika dirinya beruntung karena lolos dari maut, padahal itu kecelakaan yang cukup berat. Bahkan mobilnya saja sampai hancur. Untung saja ada asuransi, walau tentu butuh banyak waktu. Sekarangpun ia mengandalkan taksi online untuk pergi dan pulang bekerja. Tentu saja Aurora bersyukur atas kesempatan hidupnya hingga detik ini. Namun yang membuat hati wanita itu sedikit nyeri adalah ketika beberapa orang bercerita di belakangnya soal korban lain dalam kecelakaan itu, yang ternyata adalah wanita hamil. Sayangnya wanita yang katanya sedang hamil besar itu tidak bisa diselamatkan, termasuk anak yang sedang dalam kandungannya. Rasanya Aurora hampir tak bisa bergerak mendengar kabar itu. Memang ia tidak tahu menahu soal korban lain karena sibuk memulihkan dirinya sendiri. Sepertinya ia terlalu egois karena hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa tahu soal korban lain dalam kecelakaan yang dialaminya. Tapi itu kan bukan kesalahannya? Ia juga tak sepenuhnya benar. Saat itu ia hanya mengendarai kendaraannya dengan kecepatan di atas rata-rata, demi sampai tepat waktu untuk memantau keadaan ayahnya. Sayangnya mobil putih itu tiba-tiba keluar jalur dan menabrak bagian depan mobilnya dengan kencang. Aurora memejamkan matanya, mengingat betapa mengerikannya saat itu. Ia hanya berharap agar masih bisa diberi kesempatan meski hanya beberapa jam saja. Agar ia bisa melihat ayah serta Sabhira dan mengatakan betapa ia bersyukur memiliki mereka. Rupanya Tuhan masih berbaik hati, dirinya diberi kesempatan yang jauh lebih banyak untuk hidup. Tapi tidak dengan wanita itu. “ Jangan dipikirkan. Kecelakaan itu murni, bukan kesengajaan siapapun,” ucap Nathan yang entah sejak kapan sudah duduk di depan Aurora. “ Kamu baik-baik aja, kan?” Aurora membuka matanya, menatap Nathan yang juga tengah menatapnya. Ia pun mengangguk. “ Cuma agak pusing.” “ Saat itu memang cukup kacau, bahkan banyak yang bilang kamu sangat beruntung. Aku juga bersyukur karena kamu bisa bertahan setelah masa kritismu,” ucap Nathan yang tampak begitu tulus. “ Makasih ya. Aku juga nggak menyangka masih bisa hidup sampai detik ini.” ..................... Pria itu terdiam, mendengar ucapan dari dua orang dokter yang duduk hanya berjarak satu kursi dengannya saat ini. Seketika ia menggenggam gelas yang isinya sudah hampir habis itu sampai tak berbentuk. Ia memejamkan matanya, mengingat wajah istrinya yang terakhir kali ia lihat. Wajah yang begitu damai, seolah tak ada beban lagi di dalam dirinya. Seolah wanita itu telah ikhlas bila harus meninggalkannya. Mendengar pembicaraan di sekitarnya membuat pria itu yakin jika kecelakaan yang mereka bicarakan adalah kecelakaan yang juga menimpa Cahya. Tidak salah lagi. Wanita itulah yang menjadi korban juga pada kecelakaan saat itu. Namun nyatanya Tuhan lebih menyayanginya. Buktinya dia memiliki kesempatan untuk hidup, tapi kenapa istri dan anaknya tidak? Tidak. Pria itu tak pernah ikhlas hingga detik ini. Kata siapa mengikhlaskan orang yang kita cintai pergi itu mudah? Sampai saat ini ia tidak mampu melakukannya. “ Jadi, dia yang beruntung karena masih hidup pasca kecelakaan itu? Sementara istri dan calon anakku jadi korbannya. Ini tidak adil.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN