Tuhan tak pernah pilih kasih dalam menyayangi manusia di dunia ini. Hanya manusia yang kurang bersyukur atas apa yang mereka miliki. Yang mereka sesalkan hanya nasib buruk yang mereka terima, tapi semua berkah yang Tuhan berikan pada mereka seolah tak terlihat.
....................
Banyak hal yang Sabhira sukai di dunia ini. Ia suka menonton film di bioskop bersama ibunya, ia suka membaca n****+ dan komik, dan juga menggambar. Kata Aurora, gambarnya sangat bagus dan terlihat hidup. Entahlah bagaimana penilaian orang dewasa terhadap gambar asal-asalan yang ia buat di buku catatan khususnya, yang selalu ia bawa kemana pun. Seringkali ketika bosan, ia akan duduk di taman lalu memperhatikan sekitarnya, lalu menggambar apapun di buku catatannya dengan pensil yang selalu ia bawa. Hingga buku catatannya pun hampir penuh, berisi banyak gambar absurd yang justru membuatnya merasa senang. Buku catatan berisi gambar itu seolah menjadi buku harian khusus untuknya, yang tentu saja digambarkan melalui lukisan, bukan hanya tulisan biasa.
Hal ini Sabhira lakukan karena ia tak punya teman untuk bertukar cerita, walau ia hampir tak menyembunyikan apapun pada ibunya. Sayangnya tak semua hal bisa ia ceritakan pada Aurora, terutama soal betapa ingin ia memiliki ayah seperti teman-temannya yang lain. Seorang ayah yang tentu menyayanginya dan menjadi cinta pertama dari setiap anak perempuan di dunia ini. Namun tentu ia tak memilikinya dan tidak pernah merasakan seperti apa kasih sayang seorang ayah itu.
Sabhira menggelengkan kepalanya, mencoba menghilangkan pemikiran itu dari kepalanya. Ia tidak mau membuat ibunya sedih hanya karena keinginan konyolnya ini. Ia tahu ibunya pasti trauma dengan pernikahannya dahulu, meski ia masih kecil tapi saat itu adalah hal-hal paling mengerikan dalam hidupnya. Ketika ia tak berdaya saat sang ayah membabi buta dan semena-mena pada sang ibu. Memory itu seolah melekat padanya, membuatnya takut dengan hal yang sama terjadi pada ibunya lagi.
Tidak.
Sabhira tidak akan membiarkannya. Meski sekarang pun ia belum dewasa, ia sudah bertekad untuk menjaga dan membahagiakan ibunya. Ia akan sangat sinis menghadapi pria-pria yang mencoba mendekati ibunya, terkecuali dokter Nathan. Ia terbiasa melihat pria itu sejak masih balita. Dokter Nathan pria kedua yang baik pada ibunya, setelah kakeknya tentu saja. Walau ia cukup tahu jika dokter Nathan memiliki rasa ketertarikan pada ibunya, tapi ia tahu ibunya masih belum membuka hati untuk siapapun. Jadi ia menghargai perasaan ibunya. Toh hanya mereka berdua pun sudah cukup bahagia.
Tangan lentik Sabhira mulai menggambar air mancur yang ada di depannya, di taman rumah sakit yang menjadi tempat favoritnya saat menunggu ibunya selesai praktek. Ia sudah duduk di sini hampir satu jam dan tidak merasa bosan sama sekali. Toh di sini menyenangkan, udaranya hangat dan ia bisa melihat beberapa anak bermain di sini atau beberapa pasien yang sekedar berjemur di sore hari. Katanya sinar matahari bagus untuk kesehatan, terutama di pagi hari. Itu yang ia tahu dari Aurora.
Namun tatapan Sabhira teralih pada sebuah gelas yang terjatuh ke rerumputan dan menumpahkan isinya. Seorang pria yang tengah duduk di kursi roda mencoba untuk mengambil gelas itu tapi sepertinya dia kesulitan, terlebih satu tangannya juga diinfus. Tanpa bicara apapun, Sabhira langsung beranjak dan mendekat ke arahnya. Ia mengambil gelas itu dan menyerahkannya pada pria tadi. “ Mau dibuang, Om?” tanyanya dengan sopan, mengingat gelas itu adalah gelas sekali pakai. Padahal bisa saja pria yang pasti adalah pasien itu mendiamkan saja sampah gelas itu di rumput, tapi pasti dia adalah orang yang peduli akan kebersihan sehingga tidak membiarkan sampahnya mengotori taman yang indah ini.
Pria yang terlihat tampan itu menganggukkan kepalanya. “ Makasih ya.”
Sabhira terdiam sejenak, melihat pria dengan kepala yang diperban itu membuatnya mengingat sesuatu. Wajah tampan itu sepertinya tak asing. “ Maaf, om yang korban kecelakaan seminggu yang lalu ya?” tanyanya penasaran, dan menyebalkannya adalah terkadang ia sulit menyembunyikan rasa penasarannya. Jadi langsung mengutarakannya begitu saja. Padahal Aurora selalu mewanti-wanti agar ia bisa berhati-hati saat bicara dengan orang asing, apalagi pada pria dewasa yang tidak dikenal.
Meski terlihat ragu, pria itu mengangguk. Ia pun teringat akan ucapan perawat soal gadis remaja yang menyelamatkannya dengan menelpon ambulan, sehingga nyawanya terselamatkan. Dari ciri-ciri yang perawat itu bilang, rambut cokelat panjang yang bergelombang dan bola mata yang sama cokelatnya, pria itu berpikir... mungkinkah gadis ini yang menolongnya?
“ Syukurlah kalau om sudah sehat,” ucap Sabhira dengan senyum yang sangat manis.
“ Kamu yang menolong saya?” tanya pria itu dengan suara yang terdengar ragu.
Sabhira terlihat kikuk tapi ia mengangguk juga. “ Kebetulan waktu itu juga baru mau pulang ke rumah.”
“ Kenapa?”
“ Apa?” Sabhira terlihat tak mengerti dengan pertanyaan yang pria itu lontarkan padanya.
“ Kenapa kamu menolong saya?”
“ Karena saya harus menolong siapapun yang bisa saya tolong. Mommy selalu mengatakan untuk melakukan apapun demi menolong orang yang kesusahan di jalan. Meski hanya sekedar memberi senyuman, katanya satu senyum bisa membuat suasana hati orang lain membaik. Apalagi melihat orang kecelakaan, nggak mungkin saya diam saja,” ucap Sabhira dengan sangat lancar.
Padahal gadis di depannya terlihat masih sangat muda, tapi dari cara bicaranya terdengar dewasa sekali. Pria itu pun kemudian tersenyum. “ Terima kasih banyak karena sudah menyelamatkan saya.”
Sabhira menggelengkan kepalanya. “ Saya hanya menghubungi pihak rumah sakit terdekat aja. Selebihnya om sendiri yang telah menolong hidup om dengan bertahan untuk tetap hidup.”
Ajaib!
Baru kali ini pria itu melihat anak perempuan sebijak ini. Mendadak ia teringat akan seseorang yang telah lama pergi dari hidupnya. Anak perempuan yang juga manis tapi bedanya dia sangat manja dan kekanakan. “ Siapa namamu?” tanyanya kemudian.
Agak ragu tapi Sabhira mencoba untuk positif thinking jika pria di depannya ini tidak akan macam-macam dengan namanya. Apalagi katanya ia sudah menyelamatkan hidupnya, kan? “ Sabhira. Kalo om?”
“ Langit.”
Sabhira hanya mengangguk-angguk mengerti. Nama yang unik, menurutnya.
“ Kamu lagi ngapain di sini?” tanya Langit penasaran.
“ Nunggu mommy.” Sabhira tersenyum menyebut ibunya. Lalu sekilas ia melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul lima sore. “ Saya duluan ya Om Langit. Mommy udah selesai kayaknya,” ucapnya yang segera membereskan buku catatannya. “ Semoga om lekas pulih,” pamitnya sembari mengangguk sopan.
Langit hanya menatap kepergian Sabhira, takjub dengan kesopanan gadis semuda itu. Pasti ibunya adalah wanita yang sangat baik sehingga bisa mendidik anak perempuan hingga bisa seperti itu. “ Andai Cahya masih hidup, pasti dia bisa jadi ibu yang baik untuk anak kami, seperti anak perempuan itu.”
..................
“ Kamu darimana aja? Mommy udah nungguin loh,” ucap Aurora ketika anak perempuannya masuk ke dalam ruangan.
“ Dari taman, Mom. Kan mommy juga biasa selesai jam lima,” ucap Sabhira.
“ Iya sih tapi hari ini mommy udah selesai dari lima belas menit yang lalu.”
“ Ya udah sekarang ke Green cafe yuk, Mom!” ajak Sabhira dengan senyum yang penuh arti itu.
“ Vanilla frape lagi pasti deh?” tebak Aurora yang membuat Sabhira tertawa. Ia sangat tahu kesukaan anak perempuannya ini. Apapun yang berbau vanilla atau matcha, dia sangat menyukainya. “ Ya udah yuk!”
“ Oh iya. Besok temenin ke toko buku ya, Mom. Aku mau cari komik baru,” ucap Sabhira lagi.
Aurora mengusap puncak kepala putrinya dengan lembut. “ Tapi hari ini harus pijitin mommy ya?”
“ Siap, bos!"
.........................
Langit masih terdiam di atas ranjangnya dengan perasaan bosan. Sudah satu minggu lebih ia harus berada di tempat yang paling ingin ia hindari. Tempat dimana istri dan anaknya pergi meninggalkannya dan tak akan pernah kembali. Terasa menyesakkan. Namun takdir justru membawanya ke tempat ini, semakin membuatnya tak mengerti apa rencana Tuhan yang sebenarnya.
Selama sakit pun, hanya ibunya yang sering berkunjung dan beberapa temannya. Yang paling sering berkunjung tentu saja Arslan, dia bahkan menertawainya karena tak mau mendengar ucapannya untuk pulang naik taksi saja kala itu. Jadi seharusnya kecelakaan itu tak terjadi jika ia mendengar ucapan sahabatnya. Seolah musibah sahabatnya ini menjadi hiburan tersendiri untuknya. Menyebalkan!
“ Lusa anda sudah boleh pulang.”
Langit hampir saja tak sadar dengan pemeriksaan yang sedang ia jalani saat ini. Seorang dokter yang mungkin usianya tak jauh darinya itu terlihat sibuk memperhatikan catatannya sementara perawat di sampingnya sibuk memeriksa keadaannya.
Sudah boleh pulang.
Ucapan dokter itu membuat Langit sedikit lega. Setidaknya dengan tidak berada di tempat ini, ia tidak harus terus terbayang akan tempat dimana istrinya meregang nyawa.
“ Tapi anda tetap harus terapi untuk kaki anda dan kami akan memantau perkembangannya juga. Untuk sementara waktu jangan terlalu banyak beraktifitas meski berada di rumah. Saya akan meresepkan beberapa obat untuk anda,” lanjut dokter yang bernama Nathan itu lagi. Katanya dia adalah dokter yang ikut mengoperasi Langit beberapa waktu lagi. “ Untuk hasil CT Scan tidak ditemukan masalah lagi. Jadi sekarang anda hanya perlu memulihkan tulang kaki saja. Dengan beberapa kali terapi semua akan kembali menjadi normal.”
Langit tidak terlalu menghiraukan, toh ada ibunya yang sangat antusias mendengarkan semua ucapan dokter itu.
“ Kalau begitu kami permisi.”
“ Terima kasih, dok,” ucap Ines dengan nada yang tulus. “ Tuh apa ibu bilang. Kamu bisa cepat pulih,” ucap wanita itu yang langsung menoleh padanya.
“ Tapi dengan kaki pincang sebelah begini, aku bisa apa, Bu? Padahal bisnisku baru lancar lagi tapi malah ada musibah begini.” Langit terlihat kesal dengan takdir yang diterimanya.
“ Husss! Syukur kamu masih hidup. Udah cukup kehilangan yang ibu alami, ibu nggak mau lagi kehilangan siapapun,” ucap Ines yang menggelengkan kepalanya. Ia memegang tangan putranya dengan lembut. “ Jangan pernah tinggalin ibu.”
“ Apa sih, bu? Langit masih di sini. Nggak kemana-mana.”
Ines mengangguk mengerti. “ Ibu tahu. Hanya ibu takut banget. Cukup ayah sama adik kamu aja yang ninggalin ibu, kamu jangan.”