Liora Dan Manggala
Ketika teman-teman berkata bahwa ia hanya seorang gadis konyol yang banyak kekurangan, Liora memutuskan untuk tak akan pernah berhenti menjadi yang terbaik. Gadis ini memperbesar tekadnya untuk membaca segala hal dan menulis dengan tekun, walau tanpa cahaya.
Hidup hanya bersama ayah yang bekerja penuh waktu, bahkan kerap kali mengambil lembur di setiap harinya, membuat Liora kekurangan kasih sayang, dan banyak menghabiskan waktu bersama cermin. Menurutnya, benda ini merupakan teman sejati karena ia akan tersenyum ketika Liora tersenyum dan menangis disaat dirinya menangis.
Seperti biasanya, diwaktu matahari belum menyinari bumi, Liora sudah membersihkan rumah dan memasak untuk ayahnya. Semua ia lakukan demi membantu mengurangi beban sang ayah, yang kini hanya tinggal berdua saja dengan dirinya.
"Ayah! Sarapannya sudah ada di meja. Aku berangkat ke sekolah, Yah," ucap Liora dengan suara yang kuat dan terdengar penuh semangat. "Hari ini, aku mampir ke toko donat yang mana lagi ya?" gumamnya sambil meninggalkan kediamannya.
Setelah pekerjaan rumah beres, gadis lugu ini langsung mengayun langkah dengan wajah ceria. Tak perduli akan ejekan dari teman-teman yang melewatinya, ataupun melempar sampah kertas ke arahnya, Liora tetap tersenyum seakan dunia tidak sedang mengejeknya.
Sementara di sisi lain, seorang teman cowok yang begitu ia sukai, tengah sibuk melatih ototnya. Menurutnya, cowok yang bisa bikin hampir seluruh cewek di dunia ini klepek-klepek adalah mereka yang kelihatan cool, perut six pack, agak cuek, dan punya tatapan maut. Hebatnya, semua ini telah bersemayam pada diri Manggala Arta sejak dia masih duduk di kelas delapan.
Cowok yang merupakan cetakan atlet taekwondo tingkat Nasional, sejak Sekolah Dasar ini, memiliki paras yang rupawan, mata tajam, serta tubuh tinggi dan atletis, hingga membuatnya begitu menawan.
"Sayaaang, ayo bangun!" pekik wanita cantik berkaca mata yang tampak mengurai rambutnya. "Ingatkan tentang kado spesial yang kamu dan papa bahas semalam? Galaaa!" Suaranya memenuhi rumah mewah yang dihiasi dengan aneka lukisan wanita, berbagai rupa.
Cowok tampan berlari cepat, meniti anak tangga. "Sudah siap kok, Ma." Manggala tersenyum simpul, sambil menarik kursi yang disusun rapi mengelilingi meja makan.
Di balik senyum indah itu, cowok satu ini adalah gunung es yang kokoh. Baginya, sangat sulit untuk melengkung bibir, jika bukan kepada sang mama. Jika dipikir-pikir, Manggala kesulitan untuk membagi seulas bibir itu sejak kematian kakaknya, Aksara Arta.
Sebenarnya kejadian itu cukup lama terjadi. Tetapi, tampaknya semua bayangan dan kenangan buruk masih saja terekam jelas di ingatannya. Padahal setelah kasus itu, tidak pernah lagi ada masalah ataupun tragedi di dalam kehidupannya. Namun ternyata, ia tetap menjadi tipikal cowok yang kaku dan beku.
Di sekolah maupun sekitar rumah, Manggala tidak memiliki sahabat karib. Ia melangkah kemanapun seorang diri. Ditemani rasa sakit dan penyesalan karena tak mampu menyelamatkan kakaknya. Akhirnya, cowok yang dipanggil akrab dengan sebutan Gala ini, menjalani hari-harinya yang tak pernah berwarna.
Namun, di luar pemikirannya yang tidak berteman tersebut. Di luar rumahnya, ada seseorang yang begitu percaya diri, penuh semangat, dan sangat menyukai apa pun tentang Manggala, termasuk tatapan tajam nan sinis, dan amarahnya.
Liora, gadis belia berbadan gempal dengan pipi chubby, tidak peduli akan sikap cuek lelaki idolanya itu. Meskipun kerap kali diejek oleh teman-teman yang lainnya, ia tetap saja menjadi bayangan bagi cowok penyendiri yang satu ini.
"Belajarlah untuk berbaur dengan teman-teman, Gala! Jika perlu, ajak mereka ke sini untuk melakukan tugas kelompok atau sekedar bermain saja!" saran mama Renata sambil mengusap punggung putranya.
Manggala menarik napas panjang, dan membuangnya perlahan. "Iya, Ma," sahutnya santun.
Setelah selesai sarapan, cowok ganteng ini mencium tangan kanan mamanya dan memohon izin untuk pamit berangkat ke sekolah. Hari ini, ia ingin meraih nilai terbaik demi mendapatkan sesuatu yang berharga dari papanya.
Setibanya di belahan lain dari muka sekolah, Manggala membantu beberapa anak kelas sepuluh untuk menyebrang. Walaupun ia tak mengatakannya, tetapi beberapa murid baru berkumpul di belakangnya, tampak siap untuk mengekor dan tiba di seberang dengan selamat.
"Makasih, Kak Gala!" teriak beberapa cowok dan cewek sambil berlari meninggalkannya.
Saat ini, Manggala hanya mengangkat tangan kanan tanpa menjawab.
Baru saja tiba. Dari pintu masuk pagar besi berwarna putih biru, Manggala sudah menghela napas panjang dengan mata yang terpejam. Bukan tanpa sebab, ia tengah memperhatikan sosok yang kerap kali membuntuti dirinya, kapan pun dan di mana pun berada, ketika memiliki waktu luang.
Padahal hari ini, cowok itu sangat bersemangat untuk melewati waktu yang panjang di sekolah. Apalagi saat papanya mengatakan, akan memberikannya sesuatu jika berhasil mengerjakan ulangan harian, dengan nilai sempurna. Namun sayang, semangat itu langsung luntur, tatkala menatap gadis bulat pendek yang bernama Liora.
Gadis itu sangat suka mengunyah donat, dimana saja ia berada. Seolah, makanan itu dan udara, adalah dua hal penting untuk melancarkan napasnya. Sambil mengejar teman sekelasnya untuk bermain, Liora menahan kotak yang masih dipenuhi dengan susunan donat ukuran besar. Meskipun tubuhnya beberapa kali hampir kehilangan keseimbangan, dan terjatuh. Tetapi gadis itu masih mampu mempertahankan makanan favoritnya agar tidak jatuh.
'Tingkahnya itu, ngeselin banget.' Gerutu Manggala tanpa suara. 'Memalukan.'
Sedang asik berlari kesana-kemari, tiba-tiba saja kaki Liora terhenti. Entah apa yang terjadi, tetapi ketika Manggala berada di dekatnya, Liora seakan tahu dan dapat merasakannya. Mungkin karena ia begitu suka dengan cowok yang satu ini, dan tidak bisa lepas. Padahal, Manggala kerap kali mengatakan hal kasar dan menatap tajam ke arahnya.
Liora berdiri tegak, menghentikan gigitan asik dan langkahnya. Bukan tanpa sebab, ia tengah menikmati udara sepoi-sepoi yang menghampiri wajahnya, sebagai tanda bahwa Manggala berada di sekitarnya.
Bibir ranum itu melengkung sempurna, menyambut cowok yang pernah menyelamatkan dirinya dari aksi bully setahun yang lalu. "Hai!" sapa Liora, sembari membalik arah.
Manggala terkejut, dan menatap dengan mata terbuka lebar. "Kamu!" ucapnya kesal.
"Hahaha. Iya, ini aku. Liora!" jawabnya penuh rasa percaya diri.
Manggala menegangkan rahangnya dan menatap tajam. "Bagaimana kamu bisa selalu tahu, kalau aku berada di belakangmu?"
"Itu mudah saja, tapi ... rahasia," jawabnya yang kembali mengunyah.
"Hentikan itu! Sangat tidak sopan dan menjijikkan." Manggala meninggalkan gadis merepotkan tersebut, agar tak merusak moodnya.
Liora terdiam dan berpikir sejenak. "Tapi kan, sayang. Mubasir, biar aku habiskan dalam satu gigitan saja!" katanya yang tidak pernah benar-benar mendengarkan Manggala, jika itu tentang donat.
"Menyebalkan!" gerutu Manggala sambil menekuk dahinya.
Liora tidak perduli, ia terus saja membuntuti Manggala, seraya menjilat bagian ujung jari jemarinya yang bulat dan pendek. Ketika Manggala mendengar suara kecapan itu, hatinya semakin panas, dan perutnya terasa mual.
Manggala pun menghentikan langkah dan membalik tubuh secara tiba-tiba, kemudian ia memasang wajah marah. "Hentikan itu!" bentaknya tidak main-main.
Liora tersenyum simpul karena bibirnya yang dilumuri coklat, menempel sempurna di d**a Manggala hingga meninggalkan jejak di seragam putih milik cowok idolanya.
"Hah!" Liora menarik napas dalam, matanya tampak membesar dan bulat.
'Akhirnya ... aku bisa merasakan, bagaimana jika berada begitu dekat dengan Gala. Terima kasih, Tuhan ... .'
"Astagaaa!" pekik cowok paling dingin di SMP unggulan di kota Bunga, sambil menengadahkan kepala.
Suara teriakan penuh kekesalan dari bibir Manggala, menyadarkan Liora dari lamunannya. Dengan cepat, gadis itu menjauh dan memohon maaf dengan kepala tertunduk.
"Aku tidak sengaja, maafkan aku! Lain kali, jangan berhenti tiba-tiba, Gala. Aku bisa mati muda," kata gadis itu terdengar lugu karena jantungnya kini menderu.
"Aaak!" pekik Manggala sekali lagi. "Dasar pipi donat, gendut!" ejek Manggala dan kali ini Liora tersinggung, hingga membuatnya terdiam.
Manik mata Liora berkaca-kaca, hatinya tersayat dengan cepatnya. Rasanya, ia ingin sekali mengutuk Manggala. Sayangnya, ia terlalu suka. Baginya, tidak semua kekesalan bisa diluapkan. Selain itu, perlu hati yang tulus untuk menampungnya. Rasanya Liora, punya banyak tempat untuk kata-kata tajam, dari bibir Manggala.
Liora melipat dahi. "Maaf!" pintanya sekali lagi, tanpa membalas perlakuan kejam cowok idamannya tersebut. "Jangan marah!" mohonnya dengan kepala tertunduk.
Bersambung.
Jangan lupa untuk meninggalkan komentar, tab love, dan follow aku ya, makasih.