Suara Meresahkan di Kamar Tamu
Bab 4 : Tak ada yang terekam
Permainan selesai, Syilvina terlihat meringis lalu menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Kenapa dia? Apa dia sedang bad mood atau apa? Kuraih dia ke dalam pelukan dan mengelus punggungnya yang berbaring dengan membelakangiku.
"Sayang, kamu kenapa?" bisikku.
"Nggak kenapa-kenapa, Bang. Aku hanya capek dan ngantuk. Aku tidur dulu," jawabnya namun masih dengan mode memunggungiku.
Dengan masih memeluknya, aku juga mulai memejamkan mata. Sudah lama tak bisa memeluknya seintim begini. Kalau malam-malam kemarin, kala melihatnya sudah tertidur pulas, aku tak berani menyentuhnya lagi. Aku tahu, dia pasti kelelahan mengurus rumah juga anak-anak kami. Semoga lelahmu menjadi ladang pahala untukmu, istriku. Kucium punggung lalu semakin mengeratkan pelukan. Aku sangat mencintainya, istriku yang tak pernah banyak menuntut, walau terkadang aku sibuk dan tak sempat perhatian kepadanya.
***
Azan subuh sudah berkumandang, aku segera membuka mata. Syilvina melempaskan diri dari pelukanku. Ia langsung melangkah menuju kamar mandi, aku mengekor di belakangnya dengan maksud ingin ngajak mandi bareng. Akan tetapi, istriku sudah keburu menutup sebelum aku ikutan masuk. Hmm ... Mungkin dia lagi buru-buru. Lagi-lagi, aku harus berpikir positif dan menjauhkan pikiran aneh yang suka datang tiba-tiba.
Oh iya, apakabar kamera CCTV yang kupasang di kamar tamu itu, ya? Apa hantunya sudah masuk jebakan? Segera kulangkahkan kaki keluar dari kamar dan menuju kamar paling pojok itu.
Kubuka kamar lalu mengambil benda kecil itu dan memasukkannya ke kantong celana. Aku akan melihat isinya jika sudah di kantor nanti.
Aktifitas pagi berjalan seperti biasanya. Sarapan bersama, lalu melihat Arsha dan Arka berangkat sekolah dengan dibonceng motor oleh Riko adikku.
"Rik, ini uang jajan bulan ini. Jangan minta sama Ayah dan Ibu lagi," ujarku kepada Riko. "Hati-hati berangkatnya!"
"Iya, Bang, terima kasih." Riko tersenyum lalu menyimpan uang satu juta yang kuberikan kepadanya, untuk uang bensin dan jajan di kampusnya.
Riko tak pernah meminta, hanya aku saja yang sangat paham akan kebutuhan adikku itu. Dia juga terbilang hemat, uang satu juta itu jatah untuk dua minggu. Jadi satu bulan, aku memberinya jatah dua juta. Aku ingin sedikit meringankan beban orangtuaku yang sudah kebagian jatah membayar uang kuliahnya tiap semester. Dia baru naik semester tiga. Aku berharap agar kuliahnya lancar dan setelah lulus nanti bisa mendapatkan pekerjaan yang bagus.
"Abang berangkat ke kantor dulu, ya, Sayang," ucapku kepada Syilvina sambil mengulurkan tangan kepadanya.
"Iya, Bang, hati-hati, ya!" jawab Syilvina sambil mencium punggung tanganku lalu memberikan tas kerjaku.
"Abang pulang malam, nggak usah ditunggu. Kamu tidur duluan aja malam ini." Kukecup dahinya.
Syilvina terlihat menyunggingkan senyum. Hmm ... Apakah dia senang aku pulang malam atau bahkan tak pulang? Astaghfirullahal'adzim, lagi-lagi aku berprasangka buruk.
Kuusap bahunya lalu mencium pipi putri bungsunya dalam gendongan Syilvina.
"Abang berangkat dulu, Sayang. Assalammualaikum," ucapku sambil tersenyum.
"Waalaikumsalam." Syilvina menjawab sambil menyuruh Arshi untuk melambaikan tangan ke arahku.
Kubalas lambaian tangan Arshi, lalu membalik tubuh dan masuk ke mobil. Entah kenapa, perasaanku terasa tidak enak begini. Kukeluarkan kamera CCTV itu dari saku celana, rasanya sudah tidak sabar untuk melihatnya.
***
Satu jam kemudian, aku telah tiba di kantor. Saat hendak menuju ke ruanganku, terdengar ada suara yang memanggil namaku. Segera kuhentikan langsung dan menoleh ke arah suara.
"Pak Radit, anda ditunggu Pak Sofian di ruanganya," ujar Vika, sang manager yang sampai hari ini masih betah single itu. Banyak para karyawan yang mengincar dia, namun tak ada satu pun yang ia tanggapi. Orangnya cantik, namun pelit senyum dan jutek campur sangar juga.
"Pak Radit, kok malah bengong sih?" Jari lentik putih mulus itu bergerak-gerak di hadapanku.
Astaga, kenapa aku ini? Segera kuusap wajah dan tersenyum kecut. Pikiranku jadi error begini, ada apa gerangan?
"Maaf, Mbak Vika, saya rada nggak enak badan. Terima kasih, saya akan segera menghadap ke ruangan Pak Sofian," ujarku sambil membalik badan.
Entah hanya perasaanku atau apalah, Vika terlihat khawatir menatapku yang hanya berbohong mengaku tak enak badan. Ah, nggak mungkin itu. Dia wanita berhati batu yang sangat sinis. Sebulan yang lalu, temanku Hilman baru saja ditolak cintanya oleh dia. Kasihan temanku itu, aku jadi sedikit sensi dengan Bu Vika sebab aku nggak suka wanita sok, walau aku tak termasuk gerombolan pria yang mengidolakan dia. Aku sudah punya keluarga bahagia, dan tak berminat untuk tergoda WIL.
***
Jam istirahat kantor tiba, segera kukendorkan kancing kemeja dan mengakhiri pekerjaan yang diberikan Pak Sofian.
Ah, sampai lupa dengan benda kecil di saku celanaku ini. Hmm ... Jadi tak sabar untuk melihat penampakan hantu itu.
Tanpa menunggu lama lagi, segera kukeluarkan memory benda kecil itu dan memasukannya ke laptop untuk melihat isi rekaman.
Satu menit, dua menit hingga lima menit, tak ada apapun yang terlihat, hanya kamar yang gelap.
Apakah tadi malam hantu itu tidak datang? Aku makin penasaran. Jadi, hari ini aku harus pulang sore lagi biar bisa memasang kamera ini lagi. Hantu itu harus bisa direkam biar otak jahatku tak lagi menghasut untuk berprasangka yang macam-macam.
Bersambung ....