Tomi sedang memeriksa laporan saat Amanda masuk ke ruang kerjanya.
Tok tok tok.
“Masuk,” ucap lelaki itu tanpa melihat siapa yang datang.
“Ehm,” Amanda berdehem.
Tomi mendongak dan terkejut melihat kedatangan sahabatnya itu.
“ Wow, apa gua sedang mimpi? Lo ada di kantor,” Tomi berdiri dan menghampirinya.
Amanda meliriknya tajam.
“Ish, maksudnya apa sih. Jadi gue pulang nih!” ucap wanita itu merajuk.
Tomi melambaikan tangan.
“Oh, tidak bisa! Lo punya banyak hutang ke gua. Nggak mungkin gua lepasin.”
Amanda tersenyum dan Tomi memeluknya.
“Ha, dua minggu tidak bertemu dan lo makin kurusan, nggak enak banget buat di peluk.”
Amanda spontan menginjak kaki Tomi hingga lelaki itu mengadu kesakitan.
“Auw! Lo mau bunuh gua, ya?”
“Siapa suruh, ngomongnya jorok banget.”
Tomi mengerutkan kening.
“Jorok? Pikiran lo tuh yang jorok. Perasaan dari dulu gua ngomong kek gitu lo biasa aja.”
Amanda cengengesan di tempatnya. Pertengkaran dengan Tomi adalah hal yang paling dirindukan.
“Gue mau balik bekerja, Tom. Lo masih nerima gue nggak? Kalau nggak gue cabut, cari lowongan di tempat lain.”
Tomi menepuk kedua pipinya bergantian. Matanya terbelalak. Dia masih tak percaya jika Amanda telah kembali.
“Lo, serius? Nyokab lo udah ngasih izin, hebat banget lo.”
Amanda mengangguk mantap. Wanita itu meraih kursi dan duduk di sana.
“Iya, gue harus kerja sekarang. Keuangan keluarga gue berada di level paling bawah. Dan ada hutang yang mesti gue bayar sama Daniel.”
“Daniel?”
“Iya, jadi ceritanya panjang banget, Tom. Hidup gue berantakan. Nyokab kelilit hutang dan Daniel datang menawarkan bantuan. Makan siang nanti kita bahas deh.”
“Oke, terserah kau saja.” Perasaan Tomi mulai tak enak. Daniel sudah mengambil langkah dan Tomi tidak bisa membiarkannya.
Amanda tampak kikuk, menunggu kepastian.
“Gue masih boleh kerja nggak nih?” tanya Amanda sekali lagi.
Tomi terdiam cukup lama, lalu kembali menatap sahabatnya.
“Yup, ada satu lowongan yang kosong. Emm, tempat lo sebelumnya udah di isi sama anak magang. Jadi, mau nggak mau lo mesti menempati tempat baru. Itu juga kalau lo mau.”
Amanda mendadak lemas mendengarnya, itu artinya dia harus berpisah dengan Anita. Lenyap sudah keinginannya untuk mengobrol dengan wanita itu.
“Oke deh, Tom. Apapun posisinya gue terima. Asal gue di gaji.”
Tomi tak kuasa menahan tawanya.
“Hahaha, kasian banget lu. Kalau begitu lo jadi istri gua aja, entar gaji lo bisa lebih besar dari gua, mau lo?”
Plak.
Tanpa rasa bersalah, Amanda menjitak kepala Tomi.
“Kelakuan lo, bener-bener Tom. Pantesan nggak laku-laku,”
Tomi mengerjap tak percaya.
“Sadis bener Bumil, heran.”
“Cepetan nggak, katanya mau ngasih gue kerjaan. Gimana sih?”
“Iya, iya bawel.”
Tomi menggapai tangan Amanda, dan membawanya keluar. Semua staf menatap mereka, Amanda heran kemana Tomi akan membawanya.
“Lo, tunggu di sini. Gua tanya HRD dulu, dimana posisi yang cocok buat lo.”
Amanda di minta menunggu tepat di depan ruangan Damian. Rasa gugup hinggap di hatinya. Besar keinginannya untuk masuk dan menyapa lelaki itu, tapi batasan seorang karyawan biasa mengurungkan langkahnya.
Amanda tertunduk menatap sepatu yang dia kenakan, sontak saja netranya berembun.
“Hay, Manda. Waow, lo udah kembali? Selamat ya, akhirnya,” sapa salajh satu staf yang melewatinya.
“Thank you, iya hari ini gue akan kembali bekerja.”
Amanda merasa risih saat beberapa karyawan laki-laki menatapnya seolah menggoda.
“Emm, Bu Amanda emang bener, kalau Ibu udah pisah sama Pak Damian?” tanya salah satu staf yang baru bergabung.
Amanda tertegun mendengarnya. Teman-teman akrab Amanda sontak saja menghentikan lelaki itu.
“Ngomong apa sih, lu. Bisa diem nggak!”
Suasana hati Amanda mendadak sedih. Dia tahu, cepat atau lambat hal seperti ini akan di hadapinya.
“Jangan di dengerin. Dia emang suka gitu orangnya, ceplas ceplos.”
“Pergi lo! Anak baru jangan banyak tingkah.”
Amanda tak dapat menyalahkan mereka, kenyataannya dia dan Damian memang tak bersama lagi.
“Nggak apa-apa, gue dan Damian sebenarnya memang, … .”
“Manda!” panggil Tomi.
Ketiga staf tadi seketika menunduk memberi hormat pada Tomi.
“Selamat pagi, Pak,” sapa semuanya.
“Pagi, kalian ngapain di sini? Sana, kembali ke tempat masing-masing.”
Semua orang segera berhamburan.
“B-baik, Pak. Permisi.”
“Saya juga permisi, Pak.”
Tomi menatap tajam pada Amanda. Seolah memberi peringatan.
“Hey, Nona. Sebaiknya jaga diri dan jangan banyak bicara pada mereka.”
“Kenapa?” tanya Amanda polos.
“Turuti saja, dan ya. Soal hubunganmu dengan Damian. Tidak perlu jelaskan apapun pada staf kantor.”
Amanda tidak mengerti mengapa Tomi mengatakan itu.
“Tapi, kan.”
“Itu syarat yang harus lo sanggupi, untuk bekerja di sini.”
“Oke, Tom. Terserah. Lalu, dimana posisi yang lo maksud tadi?”
Tomi tersenyum, lelaki itu berencana menyatukan kembali Damian dan Amanda sebelum Daniel masuk ke kehidupan sahabatnya.
“Sini, ikut gua.”
Amanda terbelalak saat Tomi menariknya masuk ke ruangan Damian.
“Tom.” Amanda menggeleng. Dan menarik lelaki untuk mundur.
“Lo mau kerja atau enggak?”
Debar jantungnya semakin kuat, Amanda belum siap bertemu secara langsung dengan mantan suaminya, entah kenapa dia merasa sungkan. Terakhir kali bertemu dengan Damian, mantan suaminya itu memberinya ponsel tapi tak sekalipun menelpon.
“Sebaiknya lo nurut kata gua,” Tomi mengetuk pintu ruangan Damian. Mengabaikan Amanda yang tengah berkeringat dingin.
“Dam, boleh aku masuk?” tanya Tomi dan membuka pintunya setengah.
Damian sangat sibuk, dia mendongak dan berdiri menyambut kedatangan atasannya itu.
“Silahkan, Pak.”
“Aku dengar kau sangat sibuk belakangan ini, bagaimana jika aku mengusulkan untuk memberimu sekertaris.”
Damian tertegun mendengarnya. Masih dalam posisi memunggungi Amanda, Tomi menunggu jawaban Damian.
“Aku pikir, aku masih bisa menghandelnya. Aku tidak suka bekerja dengan orang baru,” jawaban Damian membuat Amanda dilema.
“Sebenarnya, kita punya pelamar hari ini. Seorang perempuan. Dia bukan orang baru sih, kau juga mengenalnya. Dia sangat membutuhkan pekerjaan. Jadi, jika kau butuh sekertaris maka … .” Tomi sengaja menggantung ucapannya.
“Baiklah, terserah pak Tomi saja.”
Tomi tersenyum mendengarnya, Damian adalah lelaki yang tidak tegaan. Tomi membuka pintu dengan percaya diri.
“Dia sekertarismu yang baru,” ucap Tomi dan membawa Amanda berdiri tepat di hadapan Damian.
Baik Damian dan Amanda sama-sama gugup dan saling menatap. Tak ada kata yang terucap, keduanya tampak salah tingkah.
“Meja Amanda akan dibawah masuk, kalian akan satu ruangan. Pekerjaan kedepannya akan meningkat dua kali lipat. Jadi, mohon kerja samanya.”
Amanda terpaku di tempatnya, penampilan sang mantan suami membuatnya terkesiap.
“Apa kalian mendengarkan aku? Ehhhmmm.”
Damian dan Amanda mengangguk.
“Bagus, kita akan bertemu saat makan siang. Jadi, silahkan kembali bekerja.” Tomi melangkah keluar meninggalkan mereka.
Damian sangat terkejut melihat kedatangan Amanda, ya, ini seperti mimpi.
“Emm, hay.”
Damian berubah 190 derajat. Dia tak menyahut juga mengalihkan pandangan.
Pintu kembali di ketuk dari luar, kesempatan Damian untuk pergi dari sana.
Klik.
“Pak, Pak Tomi meminta kami membawa kursi dan meja ini.”
Wajah dingin itu, bukan hanya membuat Amanda bingung tapi juga membuat para OB menatapnya sungkan.
“Masuklah, atur saja dimana posisinya.”
Para OB itu mengangguk dan membawa mejanya masuk. Damian lantas pergi menemui Tomi di ruangannya. Amanda akan mengikuti lelaki itu. Tapi langkahnya di tahan oleh para OB.
“Bu, Bu mau kemana? Ini mejanya di simpan dimana?”
Amanda menghela napas.
“Bu!” iya, Pak.”