Soya telah berada di rumah saat Rama dan Amanda kembali. Raut wajah tak bersahabat menyambut kedatangan mereka. Amanda yang melihat tatapan tajam dari mamanya tetiba tertunduk takut.
“Darimana kalian? Jam berapa sekarang!”
Rama berjalan duluan dan meletakan segepok uang di atas meja.
“Kami mencarikan, oh salah. Aku berinisiatif mencarikan uang untukmu. Amanda ku bawah, karena takut di rumah sendirian.”
Soya berusaha tetap tenang, jelas sekali kemarahan tersirat dari sorot mata wanita itu.
“Amanda, pergi ke kamarmu, sekarang!”
Amanda terkesiap, gugup dan takut menjadi satu mendengar titah mamanya.
Kakinya seolah terpaku di tempatnya, dia tak dapat melangkah dan lemas seketika.
“Kau tidak mau mendengar mama?”
Amanda menggeleng cepat.
“Nggak, Ma. Manda dengerin mama kok.”
“Pergilah ke kamarmu, Nak. Papa akan bicara dengan mamamu empat mata saja,” ucap Rama. Pandangan lelaki itu tak beralih dari istrinya.
“Baik, Pa.” Amanda melangkah dengan hati-hati, perlahan dia tiba di kemarnya dan menutup pintu.
Blash.
Amanda terkejut mendengar suara benda jatuh, di bawah sana. Mamanya sedang melampiaskan amarah yang di tahannya sedari tadi.
“Beraninya kamu, Pa. Kamu menjual semua barang-barang koleksi mama tanpa persetujuan dariku.”
Amanda menutup kedua telinganya. Sebelum kembali ke rumah, Dia sudah tahu hal ini pasti akan terjadi.
“Apa ada yang salah? Kau membutuhkan uang, dan kami membantumu untuk mendapatkannya.”
Mereka saling beradu argument membuat Amanda deg-degan.
“Sadarlah, kau tidak pernah berguna bagi keluarga ini. Diantara barang-barang itu, apa kau pernah membelikannya untukku! Aku tidak pernah menuntutmu untuk membelikannya, lalu kenapa kau menjualnya?”
Rama tertegun, dia tertohok mendengar ucapan istrinya.
“Bisakah kau diam saja, Pa. Jangan membangkang. Jadilah Rama seperti dulu, penurut dan mendengarkan semua kata-kataku.”
“Tidak, kau bilang aku tidak berhak menyentuh barang-barangmu. Tapi, saat penagih itu datang. Dia bahkan berlaku kasar pada kami. Dengar Soya, jika kau mau rumah tangga ini tetap utuh. Relakan semua milikmu dan bayar Daniel secepatnya. Aku tidak akan membiarkan siapapun menyentuh putriku. Dia satu-satunya harta milikku.”
Rama mengakhiri pembicaraan dan masuk ke kamar tamu. Soya yang melihat itu segera mengejarnya.
“Mau apa kamu disini? Ini bukan kamar kita.”
Rama menatapnya kecewa.
“Tidak ada kita sebelum kau merubah tabiatmu itu. Sebelum masalahmu dengan Daniel selesai, kau adalah kau dan aku adalah aku.”
Deg.
Pintu ditutup. Soya mematung dengan airmata berlinang. Amanda mendengar semuanya, dia menyetujui langkah yang di ambil papanya. Walau mereka harus menyakiti perasaan Soya.
**
Waktu berlalu dan Rama tetep kekeh dengan keputusannya. Lelaki itu tetap menempati kamar tamu, dan bangun lebih awal untuk mengantar Amanda bekerja.
“Selamat pagi, Nak,” sapanya ketika melihat Amanda telah siap dengan pakaian kantor.
“Pagi, Pa,”
Rama menyiapkan sarapan untuknya dan untuk Amanda. Soya yang baru bangun terperangah melihat penampilan anak dan suaminya.
“Mau kemana kalian? Baru jam tujuh. Pagi-pagi begini sudah rapih.” Soya meraih gelas dan menuangkan air lalu meminumnya.
“Amanda akan kembali bekerja, Ma. Papa yang akan mengantarkan Amanda. Dan rencananya Papa akan mencari pekerjaan, mungkin juga, papa akan kembali melukis.”
Soya yang sedang minum hampir tersedak karenanya.
“Uhhuuk uhuk!”
“Ma, hati-hati.” Amanda dengan sigap mengelus pundaknya.
“Bekerja, papa kamu mau kembali bekerja. Apa nggak salah?”
Rama yang mendengarnya tampak biasa saja.
“Amanda habiskan sarapanmu. Jangan sampai kau terlambat, Nak.”
Rama membuat nasi goreng untuk sarapan mereka pagi ini.
“Baik, Pa.”
Soya terbelalak. Tak ada nasi yang tersedia di meja untuknya. Lagi wanita itu menuju ke dapur untuk mengecek penggorengan.
Rama dan Amanda tampak lahap menikmati sarapan.
“Apa-apaan ini? Mana sarapan untuk mama?”
Amanda mendongak, Rama masih bersikap tidak peduli.
“Pa!” seru Soya agar suaminya menoleh ke arahnya.
“Kau tidak akan kemana-mana, kan. Kau bisa masak sendiri nanti. Kami terburu-buru.” Rama menggapai minumannya, dan menyudahi sarapannya.
“Ayo, Nak. Apa kau sudah selesai?”
Amanda mengangguk patuh.
“Iya, Pa.”
Wanita itu berdiri dan menggapai tangan mamanya. Setelah salim mereka langsung keluar, Rama tak berpamitan, sikap dinginnya. Lagi-lagi membuat Soya tersudut.
Dengan langkah cepat, Rama menuju ke mobil dan memasuki kursi pengemudi.
“Pa, apa kita tidak terlalu keras?” tanya Amanda setelah mereka berada di dalam mobil.
“Mamamu bisa sangat kejam padamu, apa menurutmu papa bertindak kejam?”
Amanda menggeleng.
“Tidak, Papa melakukan yang terbaik.”
Mereka tersenyum bersama, dua detik kemudian. Mobil melaju meninggalkan kediaman megah itu.
“Amanda, jika kau pulang kantor, kau bisa menelpon papa untuk menjemputmu.”
“Itu tidak perlu, Pa. Ada Tomi kok di sana.”
Rama fokus menyetir, lalu teringat dengan mantan menantunya.
“Oh iya, ada Damian juga disana. Semoga hubunganmu dengan Damian bisa kembali baik. Jangan biarkan cucu papa lahir sebelum kalian rujuk.”
“Tapi, Pa.”
“Damian lelaki yang baik, Papa sangat yakin akan itu.”
Amanda pun terdiam, mobil berhenti tepat di depan kantor Tomi Corporation.
“Baiklah, kalau begitu papa langsung pamit. Doakan, semoga papa juga mendapatkan pekerjaan hari ini.”
Amanda memeluk papanya sebelum keluar dari mobil.
“Tentu, Pa. Semoga berhasil.”
Amanda keluar dari mobil setelah menyalami papanya, dia berdiri sebentar di pinggir jalan menunggu mobil Rama berlalu dari sana. Kedatangan Amanda di kantor membuat semua orang merasa bahagia.
“Amanda!” seru Anita salah satu teman akrabnya.
“Hey, Nit. Wow, sepatunya cocok banget di kamu,” puji Amanda setelah melihat kaki jenjang wanita itu.
“Thank you, berkat kamu juga kan. Eh, kamu beneran udah masuk kantor hari ini?”
Amanda mengangguk sumringah.
“Syukur deh, kantor tuh rasanya seperti kuburan semenjak kamu cuti. Sepi banget, apalagi pak Tomi sama Damian. Eh, Pak Damian maksudnya. Waktunya hanya habis untuk bekerja dan bekerja, nggak ada saling sapa atau bercanda kayak dulu lagi.”
“Masa sih?”
Anita sangat cerewet, tanpa di tanya pun. Dia dapat menceritakan keadaan kantor sejelas-jelasnya. Amanda bersyukur memilikinya, bukan hanya karena Anita jago mencari informasi. Tapi, wanita itu juga bisa di andalkan untuk mengawasi lelaki yang dicintainya itu.
“Eh, ngomong-ngomong. Semua sepatu kemarin milik siapa? Kamu kan nggak pernah terlihat makai sepatu-sapatu branded seperti itu.”
Amanda terkekeh.
“Itu punya nyokab, koleksinya banyak banget, kemarin sampai tasnya pun aku obral. Udah banyak banget di rumah, nggak tahu mau di simpan dimana lagi.”
“Kok, kamu nggak pake?”
Langkah Amanda terhenti, dia lalu melihat sepatu yang sedang dia kenakan. Sepatu pemberian Damian.
“Aku lebih nyaman dengan sepatu seperti ini. Suka aja.”
“Dasar!” Anita tertawa melihat Amanda memamerkan sepatunya.
Aura kecantikan wanita itu kembali terpancar, berada di tempat yang dia rindukan membuat moodnya kembali happy.