Daniel kembali ke kantor untuk memikirkan segalanya, Tomi mulai bangkrut dan perlahan kondisi perusahaan di ketahui oleh semua karyawan. Awalnya, data statistik itu tidak bocor. Namun, perlahan mau tidak mau semuanya terungkap.
Para karyawan mulai gelisah, takut kehilangan pekerjaan mereka.
"Apa kalian sudah tahu? Perusahaan diujung tanduk. Entah apa kita masih bisa menerima gaji bulan ini atau tidak," seru salah satu staf saat semua orang sedang makan siang di kantin kantor.
"Hey, jangan menyebarkan berita hoax, jangan menjatuhkan perusahaan ini," timpal yang lainnya.
"Tidak, ini bukan berita hoax, ini real. Kebangkrutan perusahaan mulai terendus media, entah bagaimana bisa. Padahal semuanya terlihat baik-baik saja."
Anita yang ada diantara mereka, memilih tertunduk dan tidak ikut nimbrung.
"Jangan main-main, eh itu Nita! Tanyakan saja padanya."
Seketika semua pandangan mengarah pada wanita itu.
"Eh iya, dia kan sekertarisnya Pak Tomi. Coba tanyakan padanya."
Anita mencoba menghindar, dia segera bangkit dan berjalan menjauh.
"Hey, kau mau kemana?" tanya yang lainnya.
Mereka akan mengejar, tetapi langkahnya terhenti saat mendengar berita di televisi.
[Info bisnis di sekitar Indonesia, Angkasa grup berhasil duduk di tangga kedua teratas setelah berhasil mengantarkan perusahaan-perusahaan kecil yang bergerak di bidang property. Sepuluh besar bidang ini membuat gebrakan dengan menggandeng perusahaan-perusahaan dari kalangan bawah.]
Semua karyawan tercengang.
"Eh, bukankah mereka itu adalah perusahaan yang kita kunjungi sebelum libur tahun baru kemarin?" tebak salah satu dari mereka.
"Ya, kau benar. Bagaimana mereka bisa bekerja sama dengan Angkasa grup?"
Anita menggigil di tempatnya, MC membacakan satu per satu nominasi dari 10 besar terbaik. Dan nama Tomi Corporation tidak di sebut disana.
"Wah, kalau semuanya benar. Ini artinya gawat, kita bisa kehilangan pekerjaan."
Anita bergegas pergi, tapi Amanda menghalangi langkahnya. Wanita itu tampak shock dengan wajah tak biasa.
"Nit, apa semua itu benar?" tanya Amanda dan menggapai tangan Anita.
Anita yang telah mendapatkan peringatan dari Tomi, bingung mau berkata apa?
"Jawab saja, Nit? Apa perusahaan benar-benar krisis?" sentaknya tegas.
Anita mengangguk perlahan, dia pasrah. Tak ada gunanya untuk menutupi segalanya.
Riuh terdengar bisik-bisik dari semua orang, mereka mengeluh dengan alasan yang sama. Amanda segera pergi dan menemui Tomi, saat dia melewati lobby. Mobil Tomi melintas meninggalkan parkiran.
"Tidak, Tomi berhenti!" Amanda berteriak tapi semua itu percuma.
Mobil Tomi telah menghilang dibalik pagar. Amanda berusaha menghubunginya tapi nomor lelaki itu sedang tidak aktif.
Dia lalu teringat Damian, Amanda segera kembali ke ruangannya untuk meminta lelaki itu mengantarkannya keluar.
Bruk, pintu dibuka dengan kasar. Damian terkejut dan menatap Amanda berlari ke arahnya.
"Pelan-pelan atau kau akan terjatuh," ucap Damian menghampiri.
"Dam, aku baru dengar kabar jika perusahaan tengah mengalami krisis, aku sangat mengkhawatirkan Tomi sekarang. Ayo, pergi."
Damian menggapai tangan Amanda dan menenangkannya.
"Hey, beri waktu padanya untuk sendiri. Kami sudah berusaha sekuat mungkin tapi apa boleh buat."
Amanda menatapnya tidak percaya.
"Kau tahu, tapi tidak bilang padaku? Dam, aku ini sekertarismu."
Amanda tak tega dengan Tomi, setelah apa yang dilakukan lelaki itu selama ini. Semua pengorbanannya. Dukungannya, semua itu membuat Amanda berhutang budi.
"Dia meminta kami untuk tidak menyebar luaskan masalah ini."
Tapi, semua karyawan kini semua sudah tahu, tidak ada lagi yang perlu di tutupi."
Damian membawa Amanda ke pelukannya. Berharap Amanda bisa tenang, dan tidak mempengaruhi bayi mereka.
"Tenanglah, Manda. Kami akan berusaha mencari jalan keluar."
Amanda menggeleng, dia tak yakin dengan itu.
"Katakan, bagaimana caranya? Perusahaan ini di rintisnya dari bawah, dari semangat Tomi yang luar biasa, aku ingin menyemangatinya Dam, tapi tak kuat untuk mengejarnya."
"Katakan padaku, bagaimana caranya untuk menyelamatkan perusahaan ini?"
Damian gemetar, tak siap mengambil resiko yang lebih jauh. Apalagi kehamilan Amanda semakin besar.
"Dam, mengapa kau melamun? Aku sedang bicara padamu."
Damian tersenyum kikuk, di tatapnya wajah cemas Amanda dan mencium keningnya.
"Aku janji padamu, aku tidak akan membiarkan Tomi jatuh. Akan kulakukan segalanya untuk menyelamatkan Tomi untukmu."
Terdengar aneh di telinga Amanda, wanita itu menatapnya sekali lagi lalu berkata.
"Aku hanya menganggap dia sahabat, sekaligus saudaraku, Dam. Tolong jangan salah paham."
Damian tersenyum kecil dan membawa Amanda duduk di sofa.
"Aku tahu, aku tahu kau hanya milikku."
**
Damian dan Amanda mencari keberadaan Tomi, mereka telah ke rumah lelaki itu, ke tempat nongkrong bahkan ke villa milik Tomi. Tapi, sayangnya dia tidak menemukan apapun.
Amanda begitu mencemaskannya, dia sangat khawatir hingga terus melakukan panggilan suara.
"Nomornya masih tidak aktif, Dam. Kira-kira dia kemana?"
Damian menggeleng, hingga malam tiba. Dia meninggalkan Amanda pada Rama di galeri lukisan tempat Rama bekerja.
"Jangan terlalu memikirkan semua ini, kau harus rileks demi bayi kita. Aku yakin Tomi akan datang besok untuk kembali bekerja."
"Tidak ada yang bisa di kerjakan, bagaimana mungkin dia akan datang?"
Damian pun menghela napas, lelaki itu segera turun dan menemani Amanda.
"Hadap sini,"
Cekrek.
Amanda dan Damian terkejut saat Rama mengambil foto mereka.
"Papa, ngagetin aja deh. Ngapain sih?" tanya Amanda.
Rama tersenyum dan menyimpan ponselnya.
"Tidak, papa hanya senang sekali melihat kalian tampak akur. Damian sangat baik hingga mengantarkanmu sampai ke tangan papa."
Damian menyalami mantan mertuanya itu.
"Ish, apa-apaan sih. Lebay banget deh."
Damian langsung pamit saat itu juga. Malam sudah larut, dan dia harus mencari Tomi sekali lagi.
"Pa, aku duluan. Ada urusan penting," ucapnya.
"Baiklah, hati-hati."
Damian melirik Amanda sebelum kembali ke mobil.
Lelaki itu segera pergi mencari Tomi, pikirannya terus melayang. Ada tanggung jawab besar di sana, janji yang harus di tepati dan resiko besar yang akan membuatnya menderita.
Damian merasa bingung, saat dia melintasi taman. Sosok Tomi yang duduk termenung terlihat disana.
"Akhirnya aku menemukanmu," ucap lelaki itu dan segera turun.
Damian berjalan mendekat, perlahan tapi pasti dia mendekati dan melihat Tomi sedang merenung.
"Pak, kami semua mencarimu," ucap Damian dan duduk di sampingnya.
Tomi tampak kacau, kali ini dia benar-benar terlihat sangat berantakan.
"Mereka pasti ketakutan, aku tidak akan lari dari tanggungjawabku."
"Pak," ucap Damian sedih.
"Besok, aku akan memulai menghentikan mereka satu per satu. Aku tidak akan menahan mereka lagi, banyak pekerjaan yang menunggu dan semuanya akan baik-baik saja."
"Kita masih bisa bangkit, Pak."
Tomi tertawa mendengarnya, lebih tepatnya dia meremehkan ucapan Damian.
"Sadarlah, aku sudah bangkrut dan telah di siarkan di info bisnis. Aku bahkan ragu pak Wijaya akan tetap bertahan atau ikut pergi meninggalkan kita."