Amanda diam dan tertunduk, pasrah bila kedua orangtua Damian menolaknya.
“Kami menyerahkan segala keputusan yang terbaik padamu, Dam. Soal jodoh, jika Nak Amanda ini memang di takdirkan untukmu, insha Allah di lancarkan.”
Amanda mendongak dan tersenyum, pegangan wanita itu semakin erat di lengan Damian.
“Terima kasih, Yah, Bu. Semoga keluarga Amanda juga merestui,” ucapnya.
Damian dan Amanda sangat bersyukur atas restu yang di berikan oleh kedua orang tuanya.
“Kapan rencananya kau akan datang menemui mereka?” tanya Pak Grandi.
Damian menoleh ke Amanda meminta persetujuan.
“Saya akan membicarakannya pada Mama, kalau sudah mendapatkan waktu yang tepat. Saya akan langsung mengabari Damian,” ucap Manda.
Kedua orantua Damian setuju dengan usul Amanda,
“Baiklah, atur saja bagaimana baiknya. Kami akan datang saat mendengar kabar dari Nak Amanda.”
Pertemuan malam itu membuat Amanda bahagia, begitupun dengan Damian. Amanda pulang ke rumah dan membahas tentang keseriusan Damian pada keluarganya.
Amanda kembali dengan senyum bahagia, wajahnya cerah dan melewati Mamanya yang ada di ruang tengah.
“Kenapa pulangnya telat?” tanya Nyonya Soya pada putrinya.
Langkah Manda terhenti dan segera berbalik arah.
“Mama, kok belum tidur. Manda nggak ngeh kalau Mama di sini.”
“Jangan ngalihin pembicaraan, Mama tanya kenapa kamu baru pulang. Lihat jam, Manda. Kamu tuh anak perempuan,” ucap Nyonya Soya.
Amanda melihat jam di pergelangan tangannya, sekarang tepat pukul 10 malam.
“Maaf, Ma. Manda baru pulang dari rumah Damian,” ucapnya.
Nyonya Soya yang mendengar nama Damian disebut langsung penasaran.
“Damian siapa?” tanyanya.
Manda duduk di sofa, dia tahu pembahasan ini akan panjang. Pertanyaan demi pertanyaan akan keluar dari bibir mamanya.
“Damian itu pacar Manda, Ma. Jadi tadi Manda ketemu orangtuanya dan mereka siap untuk melamar Manda kapanpun Mama memberi izin.”
Nyonya Soya berpindah tempat duduk dan mendekati putrinya.
“Memangnya Damian itu kerja di mana?”
“Kami bekerja di perusahaan yang sama, Ma. Damian itu jadi rebutan pokoknya. Mama nggak akan nyesel kalau punya menantu secakep dia,” puji Manda dengan mata berbinar.
Soya mulai tertarik dengan ucapan Manda, perusahaan yang di tempati Amanda bukanlah perkantoran biasa. Gaji yang di dapatkan Amanda setiap bulannya membuat Nyonya Soya memikirkan tentang menerimah Damian sebagai menantu.
“Keluarganya? kekayaannya?” tanya Nyonya Soya.
Amanda tidak bisa menjawab itu, Manda tidak ingin membuat Mamanya bertanya lebih karena akan sulit baginya untuk menjawab nantinya.
“Bentar, Ma. Mama nilai saja sendiri,” ucap Amanda.
Wanita itu mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan koleksi fotonya pada Mamanya. Amanda selalu mengambil kenangan berupa foto saat kantor mengadakan acara makan malam di luar, Amanda mengambil kesempatan itu untuk berfoto bersama Damian.
Mereka selalu berfoto dengan background mewah seperti restorsn atau Hotel, tak jarang Amanda meminta Tomi menfoto mereka di depan mobil ferari milik Tomi.
Nyonya Soya tampak terpukau dengan ketampanan kekasih putrinya, Apa lagi dandanan Damian yang kece seperti pengusaha muda pada umumnya.
“Gimana, Mama suka nggak kalau Amanda menikah sama Damian?” tanya wanita itu tidak membuang kesempatan.
“Mama belum bisa ngasih kesimpulan, bisa saja kan foto-foto ini hanya rekayasa.”
Manda greget dengan sikap Mamanya yang sangat sulit untuk di akali.
“Terserah Mama deh, pokoknya jangan jodoh-jodohkan Manda lagi. Kalau Mama nggak setuju, terserah.”
Wanita itu pergi setelah mengambil ponselnya kembali dari sang Mama. Nyonya Soya tampak berpikir ulang untuk menerima Damian.
**
Damian melihat isi tabungannya, rencana pernikahan dengan Amanda entah dapat terwujud atau tidak. Damian menghela napas panjang.
“Apa aku bisa memilikinya? Tuhan, semoga engkau menyatukan kami.”
Waktu berlalu dan Damian tetap masuk kantor seperti biasanya, Amanda sedikit berbeda setelah pertemuan dengan orangtua Damian malam itu. Lelaki itu mengurungkan niat untuk mengusik kekasihnya.
Di hari ke empat, Amanda datang dengan wajah bersemu merah. Kekasihnya itui sangat bahagia dan langsung memeluk Damian saat tiba di kantor. Rekan kerja yang menyaksikan kejadian itu ikut meledek mereka.
“Cieee, pagi banget dapat pelukannya, Dam,” seru teman-teman seperjuangannya.
Damian hanya bisa tersenyum, dia tidak tahu kenapa Amanda begitu bahagia.
“Semuanya, mohon doanya untuk kami. Damian akan ke rumah untuk melamar, semoga acara kami lancar sampai hari H,” ungkap Amanda yang langsung di aminkan oleh teman-temannya.
“Aamiin, selamat ya, Bro.” Satu per satu rekan mereka menyalami.
“Thank you,” ucap Damian tersenyum bahagia.
Riuh kebahagiaan Amanda juga terdengar di telinga Tomi. Pemuda itu langsung keluar dari ruangannya dan ikut bergabung dengan suka cita kebahagiaan Amanda.
“Selamat, Manda, Damian. Jadi kapan acara lamarannya?” tanya Tomi.
Wajah Damian berubah sayu.
“Dua hari lagi,” ucap Manda mengkode Tomi.
Mereka sudah sepakat dengan rencana yang telah di atur Amanda sebelumnya.
“Begini, Damian. Sebagai sahabat Amanda, saya akan menemani kamu saat akan melakukan acara lamaran.”
Rekan kerja yang mengetaahui perasaan Tomi ke Amanda speecles mendengar pengakuan lelaki itu.
“Nggak usah, Pak. Saya tidak ingin merepotkan,” ucap Damian.
Amanda kembali menatap Tomi dengan tatapan memelas.
“Nggak kok, saya nggak merasa direpotkan. Kita semua turut bahagia dengan kebahagiaan kalian. Jadi jangan sungkan,” ucap Tomi.
Damian menatap Amanda, tapi sang kekasih malah mengangguk setuju.
“Baik, Pak. Nanti akan saya kabari.”
Para staf pun kembali bekerja dan menyelesaikan tugas masing-masing. Amanda tersenyum senang pada Tomi. Wanita itu bersyukur karena Damian tidak curiga sama sekali.
Hingga saat waktu makan siang Amanda mengajak Damian untuk makan di luar, Amanda akan membicarakan hal penting hingga menghindari kantin.
“Makan siangnya di luar aja, ya, Dam. Aku ingin menyerahkan sesuatu,”
Damian mengerutkan kening,
“Menyerahkan, apa?” tanya lelaki itu.
“Ada deh, makanya kita keluar dulu jangan di kantin.”
“Baiklah,” ucap Damian. Mereka pun setuju diajak keluar.
Manda menyiapkan baju untuk di pakai orangtua Damian. Rencana sudah di atur sedemikian rupa, tiba di sebuah Cafe, mereka pun langsung masuk dan duduk di sebuah kursi.
Seorang pelayan datang melayani mereka, Amanda sangat bahagia. Senyum terus terpancar di wajahnya.
“Selamat siang, Kak. Mau pesan apa?” tanya sang pelayan.
Damian menyerahkan soal pilihan makanannya pada Amanda, seperti biasa. Amanda akan langsung memesan semuanya.
“Kami pesan sup aja, sama cumi oseng pedas. Tidak lupa nasi putih, Mba. Minumnya air mineral aja,” ucap Amanda sopan.
“Baik. Kak. Tunggu sebentar, ya.”
Pelayan itu berlalu meninggalkan Damian dan Amanda.
“Dam, ini adalah hadiah dari aku untuk kedua calon mertua aku,” ucap Manda menyerahkan paper bag berisi kado.
Damian melihat merk dari paper bag itu.
“Ini, apa? Kamu nggak usah repot-repot. Ini kan mahal.”
“Nggak kok, kamu tuh jangan lihat apapun dari harganya, lihat dari ketulusannya, emang salah ya, kalau aku mau berbakti sama mereka?”
Damian menghela napas panjang.
“Aku juga punya sesuatu buat kamu, ini dia, taraaa!” Amanda menyerahkan beberapa paper bag lagi.
Damian merasa tidak enak hati melihat belanjaan yang di serahkan oleh Amanda.
“Ini keterlaluan, kamu pasti habisin uang banyak dengan membeli semua ini,” ucap Damian.
Raut wajah kecewa di perlihatkan lelaki itu.
“Ya, tapi aku melakukan ini untuk kita. Kamu nggak seneng aku perhatiin begini? Terus yang boleh perhatiin kamu siapa?” tanya Amanda merajuk.
“Bukan gitu, Beb. Kamu tahu kan, aku nggak pernah pakai barang semahal ini, aku nggak enak.”
Pelayan datang membawa makanan mereka.
“Pesanannya, Kak.” Dengan telaten makanan tersaji di atas meja.
“Silahkan menikmati,” ucapnya ramah.
Damian mengangguk sopan
“Terima kasih.”
Amanda masih cemberut, hanya dengan cara ini dia mampu meluluhkan hati Damian.
Mereka masih saling diam satu sama lain, Damian tidak berkutik dengan diamnya sang kekasih.
“Selama kita pacaran, aku nggak pernah kan belikan kamu barang atau apapun. Aku melakukan ini karena terlanjur bahagia dengan acara lamaran yang akan kita lakukan. Kenapa kamu menilainya salah!”
Damian menatap ke sekeliling, sekarang adalah jam makan siang dan pengunjung sedang ramai.
“Ya udah, aku minta maaf. Aku akan memakai apapun yang kamu belikan untuk aku,” ucap Damian mengalah.
Senyum terbit di wajah Amanda, wanita itu akhirnya berhasil meluluhkan hati Damian.
“Terima kasih, semoga lamaran nanti lancar, ya,” ucap Amanda memeluk Damian mesra.
Damian hanya mengangguk dan menikmati makan siangnya. Amanda ikut makan dengan jantung berdegup kencang. Tadinya dia berpikir rencananya akan gagal. Hanya menunggu hari H dan tanggal pernikahan akan di tetapkan.
**
Waktu berlalu, persiapan Damian sudah hampir selesai sepenuhnya. Cincin telah di siapkan. Berikut dengan seperangkat hantaran.
“Apa-apaan ini, Bu?” tanya Damian heran.
Beberapa stel perhiasan terpampang di atas meja.
“Ini adalah perhiasan peninggalan orangtua Ibu, sudah turun temurun. Selebihnya tabungan dari Ayahmu. Kami menyerahkan ini untuk calon mantu.”
Damian menggeleng dan menolak perhiasan itu.
“Tolong, jangan lakukan ini. Saya sudah sangat berhutang budi pada Ibu dan Ayah.”
Damian adalah seoraang anak angkat, dia sadar betul siapa dirinya di keluarga Grandi.
Grandi keluar dari kamar mendengar ucapan Damian.
“Apa kau menganggap kami orangtuamu?” tanyanya memegang bahu Damian kuat.
Pemuda itu mengangguk lemah, rasa sungkan kerap kali menyelinap di hati kecilnya.
“Kalau begitu, biarkan kami melakukan kewajiban kami sebagai orangtua.”
Netra Damian berkaca-kaca kala mendengar ucapan dari sang Ayah.
“Kau putra kami, kami hanya punya dirimu. Biarkan kami melakukan sebisa yang kami mampu untukmu Damian.” Restanti memeluk Damian.
Pemuda itu memang tidak lahir dari rahimnya, tapi kasih sayangnya melebihi hubungan kandung. Damian di temukan hanyut di sungai, saat itu mobil yang di kendarai Damian dan keluarganya mengalami kecelakaan. Mobil mewah itu terjun di jembatan setelah menabrak pembatas jalan. Kedua orangtuanya meninggal di tempat, berbeda dengan Damian. Ibunya sempat membuka pintu mobil dan mendorong putranya keluar.