Nyonya Soya dan suaminya dikagetkan dengan kedatangan Tomi, lelaki itu menerobos masuk. Sengaja membuat keributan agar Damian bisa mencari cara untuk menemui istrinya.
"Lepas! Saya bilang saya temennya Manda, saya datang untuk bertemu sama mamanya!" Suara Tomi menggema hingga kedalam rumah.
"Tapi, Pak."
Dua security tak mampu menahannya.
"Ada apa ini!" ucap Nyonya Soya menghentikan langkah mereka.
Tomi menyentak tangan yang memegang kedua lengannya.
"Ini, Nyonya. Katanya dia temennya Non Manda."
Rama menatap Tomi dan berhasil mengenalinya.
"Dia teman sekaligus bos di tempat Manda bekerja. Kalian bisa pergi," ucap Rama.
Tomi menjadikan pekerjaan sebagai alasan untuk menemui mereka.
"Ada apa Nak Tomi, tumben main ke sini."
Nyonya Soya tak mengenalinya. Tetapi dia masih bersikap ramah dengan membalas jabatan tangan yang dilakukan lelaki itu.
"Aku datang untuk menemui Manda, Om. Dia tidak masuk ke kantor hari ini. Sedangkan pekerjaannya menumpuk. Nomornya tidak bisa di hubungi."
Rama menoleh pada istrinya.
"D-dia ada di kamarnya," ucap Nyonya Soya tenang.
"Apa dia tidak ingin bekerja lagi, aku tidak mendapatkan surat izin atau konfirmasi darinya."
Nyonya Soya menatap Tomi, tiba-tiba wanita tua itu menunjuki lelaki itu.
"Aku ingat, kau, ya kau yang menjadi perwakilan dari Damian. Kau bersama pihak lelaki dan menjadi supir keluarga mereka saat acara pelamaran."
Tomi yang masih berdiri, memilih duduk di sofa dengan santainya.
"Ya, Tante benar. Damian dan Amanda adalah teman saya. Mereka saling mencintai, saya bukan supirnya Damian. Saya adalah atasan mereka, kedatangan saya waktu itu, semata-mata karena turut berbahagia tidak ada yang salah kan?"
"Salah! Karena dirimu aku jadi salah paham dan menganggap Damian dari kalangan keluarga berada. Sekarang masa depan Amanda sudah hancur, dia telah menikah dengan lelaki miskin."
Nyonya Soya menatap tidak suka padanya.
"Tante, apa yang salah menurut Tante. Manda bahagia, begitupun Damian. Mereka baru saja memulai hidup baru, Damian mapan dan Manda tidak kekurangan. Bukankah itu sudah cukup?"
“Jangan ikut campur kamu.”
Tomi melihat sisi lain dari wanita itu. Angkuh dan congkak.
“Tante tahu, aku tidak pernah melihat orangtua sekejam anda. Memisahkan anaknya hanya karena uang.”
Nyonya Soya kehilangan kesabaran.
“Pergi kamu, jangan pernah datang ke rumah saya lagi.”
Tomi dan Nyonya Soya saling bersih tegang.
“Pa, jangan diam saja. Sana usir dia keluar dari rumah kita. Mulai hari ini, Manda nggak boleh lagi bekerja di kantornya begitu pun dengan Damian.”
Tomi mengerutkan kening mendengar ocehan wanita itu.
“Apa uirusannya dengan Anda, Damian akan selalu bekerja di tempat saya, jika Amanda ingin resign, boleh saja tapi setelah kontrak kerjanya selesai.”
Nyonya Soya menatap Tomi kesal.
“Jika Damian tetap bekerja di sana, aku akan melaporkan kalian ke polisi dengan tuduhan bersekongkol melakukan penipuan. Kita lihat siapa yang akan menang.”
Tomi kehilangan kata-kata, bukan tak mampu mengelak. Tapi, dia merasa percuma untuk melawan wanita itu.
Suara gaduh terdengar riuh di luar sana. Netra Tomi melebar dan segera berlari keluar. Damian ketahuan oleh security yang bertugas di luar rumah. Dia tak sempat menemui Amanda dan berakhir dengan tangan di tekuk kebelakang.
“Lepaskan dia!” ucap Tomi mendorong para penjaga.
Nyonya Soya dan suaminya terkejut melihat Damian.
“Ah, jadi kalian datang berdua dan berusaha menipu kami, hebat sekali.”
Nyonya Soya bertepuk tangan melihat keberanian Damian.
“Kalian pikir, Amanda ada di rumah? Tidak! Amanda tidak ada di sini. Dan kau, bersiaplah untuk perceraian kalian.”
“Ma,” Damian merangkak mendekati ibu mertuanya.
“Berhenti, jangan dekati aku. Pergi kamu!”
Damian merendah serendah-rendahnya.
“Aku janji, Ma. Aku akan membahagiakan Amanda dan tidak akan membuatnya menangis. Tolong jangan pisahkan kami. Semua yang aku miliki akan aku berikan untuk Mama.”
Nyonya Soya bergeming.
“Aku tidak butuh apapun darimu, aku hanya ingin mengambil apa yang menjadi milikku. Kau tidak akan pernah pantas bersanding dengan Amanda!”
“Tante cukup!” ucap Tomi.
Rama mematung di tempatnya, dia bagai boneka yang hanya menurut dengan omongan istrinya.
“Damian ayo pergi, berhenti memohon pada wanita yang berhati batu. Sampai kapanpun dia mencari, mereka tidak akan menemukan orang yang setulus dirimu. Amanda tidak akan pernah bahagia. Ingat ucapanku!”
Tomi membantu Damian bangkit, wajah nyonya Soya tak berubah, dia tetap pada keputusannya.
Dengan gontai. Damian melangkah ke mobil. Lelaki itu menoleh sekali lagi pada arah jendela kamar milik istrinya.
“Sayang kau dimana?” ucap Damian khawatir.
“Pergi sana, orang miskin sepertinya tidak pantas di sini.”
Tomi membukakan pintu mobil dan mempercepat langkah Damian. Tidak ingin berlama-lama, setelah Damian di dalam, Tomi segera meluncur meninggalkan rumah itu.
“Manda benar, ibu mertuamu berhati batu. Tidak mudah untuk menggoyahkannya. Dalam benaknya hanya ada uang, uang, dan uang.”
Tomi terus meracau, dia tak pernah menemukan orangtua sejahat dan sebebal keluarga Amanda.
“Bro, apa kau baik-baik saja?” tanya Tomi mendapati Damian terpejam.
Semalaman tak dapat tidur, bahkan saat matahari sudah naik di atas kepala, Damian belum makan sesuatu.
“Aku hanya lelah, Pak. Aku tidak tahu kemana mereka membawa Amanda dan siapa lelaki yang menerima perjodohan dengannya.”
Tomi melirik Damian.
“Kau masih belum menyerah, dengar. Aku sangat yakin Manda bisa menjaga dirinya. Kalau pun hubungan kalian kembali, apa kau bisa memenuhi standar tante Soya?” Maksudku soal uang dan keserakahannya.”
Damian menggeleng.
“Aku tidak tahu.”
“Dia meminta aku memecatmu, karena Amanda juga tidak akan bekerja di kantor kita lagi. Gila, ibu mertuamu benar-benar tak punya hati.”
Damian tertegun mendengarnya.
“Apa Bapak akan memecatku?”
“Tidak, kau akan bekerja di kantorku selama kau mau.”
Damian sedikit lega mendengarnya.
**
Waktu berlalu dengan cepat, tanpa kabar dan ponselnya tak di aktifkan lagi, Damian terus menunggu telepon dari istrinya.
Manda benar-benar menghilang, membuat Damian semakin frustasi.
Damian seperti mayat hidup, Bu Restanti bahkan tak tega meninggalkan putranya sendirian.
“Dam, seseorang membawa surat untukmu. Ibu masuk ya, Nak?”
Tak ada jawaban, maupun tolakan. Bu restanti memberanikan diri memasuki kamar.
Makanan Damian belum tersentuh dari pagi tadi.
“Dam, kau harus makan agar kau sehat. Jangan seperti ini.”
“Damian baik-baik saja, Bu. Berikan suratnya,” pintanya lemah.
Bu Restanti menyerahkan amplop polos di tangannya. Damian membuka perlahan dan terbelalak melihat isinya.
“Ada apa?” tanya ibunya penasaran.
Dalam surat itu, Damian diminta untuk datang menghadiri sidang yang akan segera berlangsung. Perceraian telah di daftarkan ke pengadilan.
“Astagfirullah,” ucap Bu Restanti shock.
“Mungkin sudah jalannya, Bu. Manda bahkan sangat sulit untuk di hubungi.”
“Kamu menyerah, Dam?”
“Tepatnya aku tidak memiliki pilihan, Bu. Manda seperti rembulan yang tak dapat aku gapai, memilikinya hanya seperti mimpi.” Tangis Damian jatuh membasahi wajahnya.
Bu Restanti ikut terpukul melihat nasib pernikahan Damian di ambang kehancuran.