9. Aktualisasi Kepalsuan

1676 Kata
“Gimana dia, Sheil? Sudah tenang?” Fabian menanti jawaban Sheila, sepupunya, yang juga seorang dokter anak setelah wanita itu memeriksa keadaan Abby. Sheila meletakkan tas medisnya di atas meja kopi yang berada di depan kursi yang diduduki Fabian. Wanita berusia 30-an yang terlihat anggun dengan setelan blazer ungu itu kemudian duduk di seberang Fabian. Ruangan berdesain retro yang menjadi tempat bersantai itu ikut terasa sunyi dan suram seperti penampilan Fabian sore itu. “Aku sudah memberinya obat. Sekarang Libby sedang tidur,” jawab Sheila. “Aku bingung, Sheil.” Fabian memegang tengkuknya dengan satu tangan sambil mendesah kesal. Dari tempat duduknya, Sheila menggeleng-gelengkan kepala seperti sudah tahu apa yang sedang dipikirkan Fabian. Eits, tunggu dulu! Sheila bukan dokter anak sekaligus cenayang, dia dokter anak sekaligus psikolog. “Kamu itu bingung dibuat sendiri,” cetusnya, “apa susahnya si Libby dipertemukan dengan cewek yang kamu bilang sudah menculiknya.” Sheila kemudian mencondongkan tubuhnya ke depan dan menatap Fabian dengan penuh selidik. “Beneran dia yang menculiknya? Kayaknya bukan deh. You know what, anak sekecil Libby tidak mungkin kena Stockholm Syndrome. Rasa sayang anak-anak itu pure. Anak-anak belum memiliki perasaan primitif yang positif terhadap penculiknya. Ya, hal itu mungkin terjadi pada kasus Natascha Kampush. Namun, usianya sudah 10 tahun saat dia diculik dan di sekap selama delapan tahun. Masalahnya, anak kamu itu masih balita. Perasaan dan sikapnya tidak bisa menyangkal kebenaran kalau ada orang yang berbuat jahat atau orang yang berbuat baik kepadanya. Biasanya, anak-anak seusia Libby akan menunjukkan rasa sayang kepada orang yang benar-benar baik kepada mereka. Begitu cara main perasaan anak-anak.” Fabian mengembus napas. Semua ucapan Sheila sepertinya tidak terserap dengan baik olehnya. Pria itu masih tampak cemas dan bingung. Pikirannya bercabang-cabang hingga dia tidak bisa fokus pada penjelasan Sheila. “Kamu ngerti enggak sih, Bian?” Sheila bertanya dengan nada jengkel. Fabian menggeleng. “Enggak. Kamu ngomong apa sih tadi?” “OMG!!!” Sheila memelototi Fabian. “Ibarat KRL nih. Aku sudah nyerocos dari Tanah Abang sampai Rangkasbitung dan balik lagi. Kamu masih enggak ngerti?! Kamu enggak ngerti atau budek?!” Fabian mengernyitkan dahi. Dia tersengat rasa kaget mendengar peringatan keras Sheila. Kenapa semua cewek tiba-tiba jadi galak kayak si cewek gila itu? “Resek kamu, Sheil. Kupingku masih normal!” balas Fabian sewot. “Aku tuh cuma lagi pusing mikirin Libby.” “Mikirin Libby atau emaknya Libby?” sindir Sheila. “Cih! Aku sudah enggak minat mikirin si p***n itu.” Sheila menegakkan punggung. “Tunggu dulu. Aku butuh eksplanasi secara detail. Selama ini aku hanya mendengar cerita Libby dari kamu. Waktu Libby hilang, posisi Libby ada di rumah ini atau sedang bersama Riris?” “Enggak penting. Buat apa sih kamu mau tahu?” Fabian berusaha menghindari pertanyaan Sheila. “Tinggal menjawab saja, susah bener sih,” desak Sheila. “Kalau Libby berada di rumah ini, dia tidak akan berada di tangan si cewek gila itu.” Raut wajah Fabian tampak muram. Tatap geram pada sesuatu dan seseorang yang tidak ada di hadapannya terlihat begitu nyata. Hal itu membuat Sheila memahami apa yang telah terjadi tanpa harus bertanya lebih jauh lagi. Namun, wanita itu masih ingin memperjelas sesuatu yang mengganjal di hatinya. “Berarti tuh cewek enggak nyulik anak kamu dong. Istri kamu yang bawa anak kamu pergi, berarti—“ “Sama saja,” potong Fabian, “Mereka bekerja sama. Aku yakin itu.” “Mm, yang kamu maksud cewek gila itu siapa sih?” Sheila kembali mengemukakan kekepoannya. “Kamu enggak perlu tahulah. Dia itu cewek yang enggak patut untuk dikenal. Nyebelin banget pokoknya,” jelas Fabian dengan gemas. Sheila mencebik, lalu membuat lelucon yang tidak lucu untuk Fabian. “Hati-hati. Antara benci dan cinta itu batasannya tipis. Jangan kelewat sebal sama orang. Ujung-ujungnya, nanti kamu kualat.” “Ngomong apa sih kamu, Sheil? Enggak banget. Cewek kayak dia itu enggak ada dalam kamusku.”Fabian menepis dengan tegas. “Tapi, dia hebat lho. Dia bisa ngerawat Abby sampai Abby enggak mau lepas dari dia. Itu artinya sudah ada ikatan batin di antara mereka.” “Masa bodoh dengan penilaianmu. Bagaimanapun, Abby tidak akan lagi bertemu dengannya.” Sheila mengembus napas dengan cepat. Sepupunya itu tidak pernah main-main kalau membenci seseorang. Namun, kita lihat saja nanti. “Ya, sudahlah. Aku akan kembali ke rumah sakit. Kalau Libby rewel lagi, hubungi aku.” “Oke. Thanks, ya, Sheil.” “Sama-sama.” Fabian bangkit dari duduk, lalu berjalan ke tepi jendela kaca besar di sisi lain dinding ruangan tersebut. Dia menyandarkan lengan ke kosen jendela sambil bersedekap sementara pandangannya menembus ke luar. Pikirannya travelling ke tepi jurang keraguan yang membuat dadanya berdebar kencang. Seluruh ucapan Sheila tadi tidak sepenuhnya ia abaikan. Ada beberapa kalimat yang sebenarnya menyentuh hati dan tidak bisa dipungkiri. Ingatan Fabian pun berputar kembali ke waktu dia menemui Iva untuk mengintimidasinya. Fabian terenyuh sekaligus bahagia melihat bagaimana Iva memperlakukan anaknya. Meskipun saat itu Fabian hanya melihat dari celah pintu, tetapi dia bisa melihat dengan jelas ketulusan Iva kepada putrinya. Wanita itu membacakan sebuah buku cerita sambil meninabobokan Abby. Sungguh pemandangan yang mengharukan dan langka. Selama ini, dia tidak pernah melihat sang mantan melakukannya. Putri semata-wayangnya sehari-hari hanya bercengkerama dengan pengasuh, sedangkan sang mantan menghabiskan waktu dengan banyak hal di luar rumah. Upaya Iva untuk menanamkan kemandirian sejak dini pada Abby pun tak luput dari ingatannya. “Pak, Non Libby bangun. Dia nangis lagi menanyakan Mama. Apa saya perlu menghubungi Bu Sheila lagi?” Suara tanya Suster Ning menginterupsi lamunan Fabian dan membuat pria itu menoleh. Fabian menelan ludah. Di kepalanya bergulung keraguan yang tak bertepi. Namun, akhirnya dia memutuskan hal yang tak terduga. “Bilang sama Libby, saya akan menjemput mamanya.” *** Iva masih berada di ruang kerjanya di kafe saat Fabian tiba-tiba masuk tanpa permisi. Wanita itu langsung memasang wajah sejutek Cruella de Vil si ratu antagonis dalam film Disney begitu Fabian melihat ke arahnya. “Suruh siapa kamu masuk? Tanpa permisi lagi,” sembur Iva. Fabian langsung menuju meja Iva dan berdiri di sampingnya. “Aku sudah mengetuk pintu, tapi tidak ada jawaban. Aku khawatir kamu kenapa-napa. Ternyata, kamu sedang melamun.” “Heh, telingaku tidak budek ya! Kalau kamu mengetuk pintu, aku pasti mendengarnya.” Iva menepis dengan berlagak percaya diri, padahal dia sendiri tidak yakin mendengar ketukan pintu. Pasalnya, dia memang sedang melamun mengingat Abby. “Sudah, akui saja kalau kamu memang tidak mendengar.” Fabian meletakkan kedua tangan di atas meja, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan menatap Iva lebih dekat. Cantik juga si gila ini. Fabian pun secara tidak langsung menilai penampilan Iva. Sejak dia masuk, Fabian mengamati tubuh langsing di balik blus merah bermodel V-neck dan celana jeans biru tua yang dikenakan Iva. Bahkan, belahan d**a ranum milik wanita itu yang sedikit terekspos tak luput dari pengamatannya. Fabian sempat menelan ludah setelah mengeksplorasi tubuh Iva dengan pandangannya. Namun, Fabian segera mengerjapkan mata menarik kembali kekagumannya pada Iva. Dia justru melontarkan ledekkan yang membuat Iva naik darah sesaat kemudian. “Kamu sedang ngelamunin aku, ya?” Fabian tersenyum mengejek. Iva mengangkat sebelah ujung bibirnya dan memandang Fabian penuh emosi. “Cih, najis! Ge-Er banget sih. Mau apa kamu ke sini?” “Libby sakit. Dia nanyain kamu terus,” balas Fabian. Iva tercengang untuk beberapa saat. Dadanya mendadak sesak oleh kabut kecemasan. Keinginan untuk bertemu dengan gadis kecil itu kembali menjerat hasrat. “Kamu sudah memanggil dokter?” “Tentu sudah. Yang jadi masalah, dia menangis terus ingin ketemu sama kamu.” Iva mengembus napas. Dia ingin sekali bertemu dengan Abby, tetapi dia akan sulit lagi pergi dari gadis kecil itu. Seminggu ini Iva sudah berjibaku untuk melupakan Abby. “Kalau dia rewel, bacakan cerita dari buku favoritnya. Jangan lupa sambil mengusap-usap kepalanya dengan lembut,” jelas Iva. “I can’t do it.” “Why? Kamu kan ayahnya. Apa harus selalu nanny yang melakukannya? Begitu caramu merawat anak?” cerocos Iva. “Baik aku maupun pengasuhnya, kami tidak bisa melakukan itu. Apalagi, pengasuhnya pengasuh baru,” kelit Fabian. Iva mengangkat sebelah alisnya dan melihat Fabian dengan pancaran penuh heran. “Kenapa?” “Karena cuma kamu yang bisa melakukannya.” Fabian menegakkan tubuh, lalu berjalan mengitari meja, dan kemudian mencekal tangan Iva. “Jangan banyak bicara. Abby butuh kamu. Ayo kita pergi!” Iva berusaha melepaskan cekalan Fabian, tapi pria itu tidak membiarkannya. Fabian tetap mencekal erat tangan Iva. “Dasar cowok enggak waras bin edan, lepaskan tanganku!” Fabian mengeraskan rahang. Kesalnya sudah memuncak. “Jangan buat aku memaksamu!” “Minta bantuan kepada orang lain itu ada aturan mainnya!” Fabian akhirnya melepaskan cekalannya dari tangan Iva. Ia mengembus napas lalu menatap Iva penuh harap. Kedua tangannya dia letakkan di samping tubuh seperti sedang dalam mode “siap gerak!”. “Aku minta tolong sama kamu, kamu ikut bersamaku ketemu Abby. Please!” lanjutnya dengan wajah memelas. Iva terenyuh melihat dan mendengar permohonan Fabian. Selain itu, kerinduannya pada Abby sudah menggebu-gebu. Iva akhirnya mengalah. “Baiklah. Aku akan menemui Abby.” Dalam sekejap, wajah Fabian tampak cerah. Dia kemudian mempersilakan Iva untuk berjalan melewatinya saat hendak keluar dari ruang kerja Iva. Fabian dan Iva berjalan bersama menuruni anak tangga. Malam itu, kafe yang menyuguhkan live music tersebut kebetulan sedang ramai pengunjung. Iva berjalan lebih dulu meninggalkan Fabian saat tiba di lantai dasar kafe, tetapi Fabian berhasil mengejar dan menyamakan langkah mereka. Tanpa ada badai yang menggerakan hatinya, Fabian meraih tangan Iva dan menggenggamnya erat. Fabian seperti sengaja memperlihatkan bahwa dia dan Iva ada hubungan istimewa. “Kamu apa-apaan sih?” tanya Iva dengan suara pelan tapi bernada geram. Meskipun dia senang orang lain akan melihatnya seperti benar-benar sedang menjalin kisah asmara dengan Fabian, tapi Iva merasa risi dengan tindakan pria itu. Fabian mendekatkan wajahnya ke telinga Iva dan menjawab dengan suara yang sama pelan. “Aku hanya mengaktualisasikan apa yang kamu tunjukkan pada publik di lobi hotel waktu itu.” “Gila!” “Santai saja. Toh, kamu itu jalan sama duda. Bukan sama suami orang.” Sial. Fabian bisa membalas tantangan Iva meskipun dalam keadaan terjepit, pikir Iva.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN