5.2

1861 Kata
Hanum tidak peduli dengan apa yang barusan ia dengar. Entah itu Bang Reza sedang meminta ceweknya Bang Raka, atau justru Bang Reza telah merebut kekasih sahabatnya sendiri dengan percaya diri dan tidak tau malunya. Yang Hanum peduli saat ini adalah bagaimana tidak berbentuknya perasaannya setelah mengetahui bahwa pujaan hatinya sudah tidak sendiri lagi atau memang sejak dulu sudah tidak sendiri? Lalu apa arti kebersamaan mereka selama ini bagi Reza? Kenapa pria itu mau saja saat Hanum minta antar jemput, minta temani ini minta itu? Tidak jauh dari si gadis yang tengah patah hati Raka tampak sama menyedihkan dengan dirinya. Raka yang tidak tau harus bagaimana saat kembali dihadapkan dengan permintaan terang-terangan Reza soal Uci. Padahal Reza tau, pria itu tau bahwa selama ini pun hubungan Uci dan Raka bukanlah jenis hubungan yang bisa membuat Reza merasa terancam. Bagi Uci maupun Raka, mereka tidak akan berani berjalan ke arah berseberangan dengan Tuhan mereka. Uci juga tampak lemas tak bertenaga. Pikirnya pertunangan ini tidak akan jadi jika ia melarikan diri. Untuk Raka sendiri, meskipun dirinya yang paling sering bersama Uci, sampai sekarang pun ia tidak terlalu mengetahui apa yang Uci inginkan. Yang Raka tau, meskipun itu agak telat, Reza adalah alasan atas semuanya yang dulu Uci lakukan sampai gadis itu mengenal Adam. Lalu sekarang apa? Apa tepatnya yang ada di pikiran cewek itu? Bukannya Reza cinta pertama dari mantannya tersebut? Lalu apa lagi yang menahannya? Dan bukannya cinta pertamalah yang akan selalu bertahan di hati dan pikiran para perempuan? Kemudian Reza, apa temannya itu tidak merasa tersinggung dengan penolakan bertahun-tahun ini? Apa Reza sudah tidak punya harga diri? “Apa-” bahkan Uci tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. “Apa–” Raka menoleh pada Uci karena keduanya sama-sama mengucapkan hal yang sama, keduanya sama-sama menoleh sih, dengan kemudian membuang muka seperti anak TK yang sedang musuhan. Kemudian Raka mengalah untuk membiarkan Uci mengatakan apa yang sejak tadi ia kumpulkan. “Apa kamu harus mendorong aku dan Raka sampai akhir?” “Lo!” tunjuk Reza pada Raka, “Apa tadi yang pengen lo bilang?” sambungnya meskipun ia kembali dibuat panas oleh ucapan Uci. “Apa lo ga capek ditolak cewek sengklek ini, Jak? Karena gue mulai jengah sama sok jual mahalnya. Padahal dulu gue ajarinnya jual mahal itu seadanya aja, eh sekarang kenapa overdosis begini? Keenakan ya lo, Ci?” ucap Raka dengan nada kelakarnya yang biasa. Reza kembali menekan emosinya karena meskipun perpaduan Uci dan Raka yang selalu mampu membuatnya marah, mereka pula yang mampu membuat Reza diam, tak mampu berkata-kata. Disaat Uci mengatakan seolah Reza menyulitkan dirinya dan Raka, sahabatnya itu justru mengatakan hal yang bertentangan dengan cewek itu. Jadi tolong tunjuki Reza di mana ia harus berpijak? Pada omongan Raka atau Uci? “Kenapa kalian ga ngomong apa-apa ke gue? Terlebih elo, Ka?” ucap Reza mengalah dan ingin mendengar alasan mereka soal kepergian menemui Ibu Raka. “Kenapa aku harus ngomong ke kamu?” tanya Uci sengit. “Buset, Ci.. Jak maksud calon penghuni neraka satu ini tuh, kenapa dia harus ngomong sama elo disaat dia..” Raka tampak memikirkan ulang apa yang ingin ia katakan, disaat dia belum resmi jadi tunangan lo, akan terdengar kasar bukan? “Dia lagi ngambek. Bener kan lo ngambek?” tanya Raka ketus pada Uci. Raka berusaha keras agar Uci sepemikiran dengannya agar semua segera selesai. Ia tidak ingin membuat Reza semakin pusing disaat teman mereka itu terbaring dengan selang di pergelangan tangannya dan perban di dahi namun sepertinya Uci tidak menangkap maksudnya dengan baik, buktinya Uci menatap tajam padanya kemudian memindahkan kursi yang di dudukinya ke sisi Reza, menjauhi Raka. “Ternyata cuma butuh lo kesal untuk buat lo pindah ke sisi, Ejak,” ejek Raka dengan tawa kesalnya. Sumpah ia tengah kesal tapi ia tau sekarang ia harus tertawa. Makanya kalian mendengar tawa sumbang saat ini. “Bodo!” jawab Uci yang tampak mengalihkan marahnya yang awalnya pada Reza menjadi pada Raka. Cewek di seberangnya menatap Uci datar, jelas sekali dia tidak menyukai tindakan Uci yang mendekati Reza, pas sekali dengan Uci yang bertemu pandang dengan Hanum, dengan ragu-ragu Uci kembali mendekatkan kedua tangannya ke pegangan kursi yang didudukinya berniat untuk kembali pindah. Pindah ke tempat yang jauh dari Raka dan juga Reza, namun Reza keburu menangkap dan menarik lengannya sehingga salah satu sisi tubuh Uci menempel pada brangkar, membuat Uci gugup dengan tarikan kencang serta tiba-tiba itu. “Tetap disini, Ci!” “Num.. mari gue antar pulang,” ajak Raka yang sudah tidak tenang melihat bagaimana Reza mampu membuat Uci menurut juga diam, hal yang jarang sekali berhasil ia lakukan. Raka tidak suka saat seseorang berlaku dominan pada Uci, tidak saat ia membebaskan gadis itu melakukan apapun yang hatinya inginkan. Tidak, Raka tidak sedang cemburu, lebih dari cemburu, Raka merasa marah karena merasa seseorang membuat Ucinya tidak berdaya, seperti anjing peliharaan yang takut di pukul oleh majikannya. Karena itulah Raka ingin segera pergi dari sini. “Ga usah! Sejak tadi dan lo baru nyapa gue? Makasih atas usirannya,” ucap Hanum setelah menatap kesal pada Uci kemudian meninggalkan ruangan itu dengan hati cemburu. >>>>  Erwin Chavali tidak mengetahui apa yang menyebabkan anaknya begitu rajin hari ini. Ralin Abriana Chavali mengepel seluruh rumah, mengganti  gorden dan juga bed cover seluruh kamar. Kemudian sudah sedari tadi si putri satu-satunya berdiri di depan mesin cuci dengan setumpuk gorden dan bed cover dengan tampang yang sama sekali tidak mengenakkan untuk dilihat. Erwin membiarkan saja Bian dengan kegiatannya karena tingkah putrinya saat ini benar-benar persis almarhum istrinya saat merasa sangat kesal ataupun marah. Disaat seperti ini, di mana anaknya sibuk dengan dirinya sendiri, Erwin merasa akan sangat baik kalau Dafka datang berkunjung karena Erwin jadi merasa kesepian. Baru saja dipikirkan bell rumahnya langsung berbunyi. Bergegas ke depan Erwin segera membukakan pintu untuk Dafka. Mungkin saking sering bertemu ia dan Dafka jadi memiliki hubungan batin hehe.. “Selamat malam, Om,” ucap wajah yang sama sekali tidak diketahui oleh Erwin. Seorang pria muda dengan bocah laki-laki yang sangat tampan. “Selamat malam.” “Mommy ada?” cicit bocah yang mengintip dari balik tubuh anak muda itu. Bian tidak pernah bilang padanya bahwa ia memacari duda beranak satu. Apa ini orang yang berani mematahkan hati anaknya? “Danis..” ucap si pemuda asing tersebut. “Maaf Daddy,” ucap Danis pada Adri kemudian kembali menoleh pada pria tua yang membukakan pintu untuk mereka “Tante pacar ada?” begitu tanyanya. “Maaf, Om, ponakan saya ini emang suka memanggil orang sembarangan.” “Kamu mencari Bian bukan? Sebentar saya panggilkan anak itu.” Erwin berpikir keras tentang apa yang telah ia lewatkan dari Bian selama ini. Kenapa Bian bisa mengenal sepasang Ayah dan anak di depan? Jangan bilang putri bungsunya selama ini telah merusak rumah tangga orang lain. “Bian, kamu ada tamu.” “Bian ga nerima tamu!” jawab si anak ketus. “Dia mencari Mommynya, dan coba jelaskan sama Papa kenapa anak kecil itu memanggil kamu dengan sebutan Mommy. Apa Papa akan dapat cucu secepat itu?” “Apa?” Bian sama sekali tidak mengerti dengan yang saat ini Papanya bicarakan. Kenapa pula Bian harus memberikan cucu pada Papa secepat itu? Ngomong-ngomong secepat itu versi Papa itu berapa lama ya? Eh?? Mommy? Apa itu Danis? “...iya Bian, itu yang ingin Papa tanyakan, apa yang selama ini diam-diam kamu lakukan?” potong sang Papa melihat wajah anaknya yang berbinar seketika saat ia menjelaskan siapa tamunya. Bian tidak menjelaskan apa-apa melainkan segera ke depan menemui tamu yang dimaksud. “Danis...” panggilnya senang kemudian menggendong dan menciumi wajah tampan keponakan Fateh tersebut. “Hai, Dri,” giliran Adri yang disapa setelah Bian selesai dengan ciuman bertubi-tubi pada pipi lembutnya Danis. “Kami ke sini karena khawatir soal tadi,” ucap Adri sungkan. Tadi adalah hal yang ia rasa paling tepat untuk menjelaskan bahwa ia, Fateh dan Danis khawatir soal dadanya Bian yang terkena minuman panas. “Gue ga apa-apa, dan jangan bahas itu lagi!” Adri meringis dan memilih menurut dari pada urusannya dengan Bian seterusnya jadi pelik. “Dri, ini Papa dan Pa, ini Adri temannya Bang Raka yang cafenya sering Bian datengin,” Bian membiarkan kedua pria itu berkenalan sementara ia mengajak Danis melihat para super hero yang siang ini ia janjikan. “Bikinkan Adri minum dulu, Nak.” Bian nyengir dan segera melaksanakan permintaan Papanya sambil membimbing Danis agar ikut dengannya. “Jadi kamu orangnya? Apa kamu serius dengan anak saya meskipun dia masih sangat kekanak-kanakan? Saya tentu tidak keberatan dengan putra kamu selama tidak akan ada permusuhan antara Bian dan mantan istri kamu nantinya. Atau mereka sudah?” “Maaf, Om, saya perjaka kok, Om. Danis itu ponakannya teman saya.” Ada yang Adri ingin tanyakan pada Ayah dari wanita yang ingin ia jadikan pacar saat ini. Apa wajahnya tampak sudah setua itu? Tapi ia tidak berani bertanya. Bisa-bisanya Papa Bian mengira dirinya duda beranak satu. “Jadi teman kamu yang ponakannya Bian ciumi itu yang memacarinya?” “Bu- bukan Om, maksud saya, saya ataupun teman saya itu masih perjaka dan kami sama sekali tidak macarin anak Om selama ini,” ucap Adri gugup. Kesiagaan Erwin Chavali luntur sudah dan ia mulai bersikap seperti biasa. Mengenali dulu pemuda di depannya dengan menggali informasi secara halus. Kelihaian Erwin membuat dirinya mengetahui dengan mudah bahwa anak muda di depannya ini sedang menyukai anaknya. >>>  Reza menyuapi sendiri makan malamnya karena Uci hanya menunduk dan tidak mempunyai inisiatif seperti Hanum pagi tadi. Tunangan Reza Alaric Sagara benar-benar sesuatu. Semenjak Raka dan Hanum pergi ia benar-benar hanya bicara saat diminta dan selebihnya pura-pura sibuk dengan kuku-kukunya. “Kamu mengantuk?” tanya Reza tanpa menoleh, toh Uci juga tidak menoleh padanya. “Engga.” “Bicara sesuatu, Ci, aku capek harus mancing kamu terus.” “Kamu...” Uci menarik napas kasar, “Cukup kali ini masuk rumah sakit, Jak!” Aku bisa gila karena rumah sakit punya kemampuan nostalgia yang luar biasa untukku, sementara Reza mematung sesaat karena mengira bahwa Lucy Adelina menghawatirkannya. “Aku janji, Ci, aku janji,” ucapnya sangat bahagia. Sepanjang hari bersama Uci hanya kalimat barusan yang bisa menghadirkan seulas senyum di bibirnya. “Mama sama Papa kamu akan benci sama aku kalo lihat kondisi kamu, kan, Jak?” Uci meringis melihat senyum tulus Reza untuknya. Uci beralih menuju sisi brangkar yang Reza tunjuk untuk ia duduki. Ragu-ragu ia duduk disana sehingga wajah Reza seolah berada tepat di depan wajahnya. Uci tidak suka jarak sedekat ini dengan Reza, ia akan mengingat ini untuk selamanya. “Kamu selalu peduli tentang perasaan orang, tapi aku?” “Aku peduli..” ucap Uci, ia sama sekali tidak yakin dengan dirinya sendiri. “...jangan yakinkan aku, Ci. Yakinkan diri kamu sendiri...” Uci kembali terdiam namun kemudian bernapas justru terasa sangat sulit ketika Reza dengan tenang menggenggam tangannya. Begitu mendapatkan kesadarannya Uci berusaha menarik tangannya menjauh dari Reza. “Aku ga mau tau karena orang tua kamu sudah menerima lamaranku,” ucap Reza kemudian menyematkan sebuah cincin di jari mungil milik cewek yang sedang cemberut karena Reza tidak membiarkannya menjauh. Langka sekali ia bisa sedekat ini dengan Uci dan Reza tidak bodoh untuk membiarkan gadis itu menarik diri lagi. “Aku ga pernah tau kalo aku harus memasang sendiri cincin tunangank–” omongan Reza terhenti karena meskipun kesal, Uci memukul tangan Reza yang berniat memasang cincin untuk dirinya sendiri. “Kamu tau, Jak? Aku juga marah saat tau temanku diperlakukan kejam oleh tunangannya dan makin tidak terima bahwa akulah orangnya. Makanya kamu pikir-pikir lagi, Jak. Ya? Please,” Uci memasangkan cincin itu kemudian menggenggam tangan besar Reza dengan kedua tangannya. Memberikan dukungannya agar Reza memikirkan ulang semua ini. Dan Uci pikir, bagaimana Reza bisa berhenti jika ia menjadi begitu menggemaskan dengan tatapan memohonnya itu? Biarlah Reza mengangguk sekilas kali ini. Sekedar memastikan Uci akan duduk lebih lama dengan posisi mereka saat ini. Sejak obrolan delapan tahun lalu, Reza mengetahui bahwa dugaannya tentang Uci sama sekali tepat. Uci menginginkan Reza Alaric Sagara dan sekarang ia sudah mendapatkan Reza Alaric Sagara di depannya dengan segenap hati dan tanpa syarat apapun, lalu apa lagi sekarang? Bisakah Uci membuat semuanya menjadi sedikit lebih mudah?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN