5.3

1919 Kata
Di luar hujan deras namun tidur Reza sedikitpun tidak terganggu. Satu-satunya manusia yang merasa bersalah atas apa yang menimpa Reza hanya bias diam dan duduk tegap sambil memperhatikan semua luka yang pria itu dapatkan. Juga menikmati luka tak kasat mata yang laki-laki itu berikan untuknya. Uci menatap benda mengkilap yang sejak tiga jam lalu melingkari jarinya. Benda itu bagus, Uci akui. Tapi hanya jika ia lihat di etalase toko perhiasan, hanya jika benda itu berjejer bersama teman-temannya yang lain di dalam etalase dan di timpa pendar keemasan dari lampu toko perhiasan. Tetapi saat terpasang di jarinya, Uci benar-benar benci. Ia juga merasa sangat tidak nyaman karena keberadaan cincin itu juga membuat ketakutannya kembali muncul. Uci melepaskan cincinnya dan meletakkannya di samping hape Reza, di atas meja. “Aku pinjam hapenya ya, Jak,” bisik Uci, ia berjalan menuju pintu setelah memastikan Reza benar-benar sudah pulas. Duduk di bangku besi dingin dengan percikan hujan mengenai ujung jari kakinya yang hanya dilindungi sendal jepit rumahan, Uci mencoba menghubungi Raka menggunakan ponsel Reza. Mengenai apa komposisi hati temannya itu (re: Raka, meski Uci tidak tau cukupkah dengan kata teman ia menamai Raka), Uci tidak pernah bisa menebak. Jika bukan karena Raka yang menggedor pintu kontrakan Adam, yang sekarang menjadi milik Uci, pagi-pagi buta maka Uci tidak akan tau bahwa Reza mengalami kecelakaan saat berniat menemuinya. Raka lah yang mengantarnya ke Reza, dengan kesadaran penuh. Bahkan Raka rela berangkat subuh-subuh dari rumah orang tuanya hanya agar mereka berdua bisa menemui Reza di sini. Raka selalu berusaha menutupi perasaannya dari Indah dan Reza. Menyisakan kesulitan untuk Uci yang berusaha menolak semua cara Indah, Reza dan keluarganya agar Uci kalah telak. Ya, semua hal tentang pernikahan adalah permainan bagi Uci. Ia tidak ingin kalah karena kalah artinya menyerahkan sisa hidupnya, memenjarakan hatinya. Coba saja Raka bersedia untuk lebih terbuka pada Indah dan Reza mengenai perasaannya maka Reza tidak mungkin senekat ini. Uci tau ia egois, ia ingin semua orang tau perasaan Raka untuknya hanya agar tercipta situasi serba tak enak antara Raka dan Reza. Semua hanya agar ia terbebas dari desakan semua orang, desakan keluarganya, desakan perasaan Reza. Uci tidak pernah benar-benar memikirkan Raka, pria baik hati yang harus terjebak dengan dirinya sampai detik ini. Sudah beberapa kali mendial kontak Raka, Uci selalu dialihkan pada pesan suara. Pasti anak itu tidak bisa mendengar dering hapenya. Mana mungkin terdengar jika musik di kelab jauh lebih bising dari ringtone hape? Si bodoh itu dan kebiasaannya benar-benar keterlaluan. “Sudah tau tidak kuat masih keras kepala,” gerutu Uci dan memutuskan untuk menyerah menghubungi Raka. Ataukah karena Raka tak ingin bicara dengan Reza? Pikirnya, Uci kesal sekali karena melupakan ponselnya, ia jadi begitu panik ketika mendengar Reza kecelakaan. Jadilah dia disini dengan Raka yang mungkin sudah tengelam dengan berisiknya suasana kelab atau justru Raka hanya menatap layar ponselnya mengira bahwa Rezalah yang menghubunginya. Karena selama ini Raka tidak pernah sekalipun mengabaikan panggilan Uci, tidak sekalipun. Melihat tetesan hujan menyerbu bumi melalui sinar lampu jalanan, air mata gadis itu menjadi tidak bisa ditahan. Dulu ia pernah sangat mengharapkan pernikahan. Dulu pikirnya dengan tetap keras kepala maka ia akan dapatkan pernikahan sederhana bersama Adam. Tidak perlu besar-besaran seperti pernikahan Kak Echa dan Bang Edo, tanpa pesta pun tak apa karena saat itu Papa bicara tentang dirinya yang belum bekerja, Uci membuang jauh-jauh pesta pernikahan impiannya agar Adam tidak kesusahan memenuhi pernikahan impiannya yang sudah ia rangkai sejak remaja tersebut. Yang biasa saja asal sama kamu, itu yang selalu Uci ucapkan diakhir sesi telfonan mereka setiap malam semenjak Adam jauh darinya. Sebaliknya, bagi Adam, aku akam sanggupi apapun syaratnya asal sama  kamu. Adam sudah begitu serius padanya, si pertama yang sangat menginginkannya. Tapi Uci mengacaukan rencana masa depan mereka. Tak hanya mengacaukan rencana, Uci bahkan membuat Adam pergi untuk selamanya. Kalau bukan karena Uci yang keras kepala menyusulinya, Adam tentu tidak akan terlibat kecelakaan. Pemikiran ini kembali muncul, berikut isak dan perih tak tertahankan. Pikiran Uci tak bisa ia kontrol lagi. Uci tidak bias terus disini, ia harus segera berdekatan dengan segala hal tentang Adamnya. Meremas ponsel milik Reza kuat, ia bangkit tanpa ragu membuat jarak antara dirinya dan tetesan hujan semakin dekat. Saat Uci nekat menerobos hujan, dengan niat berlari pada nisan satu-satunya pria yang sampai saat ini merajai hatinya, tiba-tiba tubuhnya berbalik dan bersarang di d**a seseorang. Reza. Pria itu meringis saat wajah Uci menghantam dadanya dengan keras. “Main hujannya kalau aku sudah bebas dari perban sialan ini saja,” bisik Reza dan Uci menegang. Bukan. Bukan karena Reza tau ia akan kembali mencari Adam namun karena ia melepaskan cincinnya dan sekarang Reza sudah bangun. Kesempatan tidak datang dua kali, itulah kenapa Reza tidak menyia-nyiakan gadis yang sudah terlanjur berada dalam dekapannya. Kita tinjau Uci, ia justru kasak-kusuk mencoba melepaskan diri dari Reza. Lagi-lagi pelukan Reza membuatnya tidak nyaman. Reza membuatnya sesak, tangan kiri pria itu dengan kurang ajarnya memeluknya tepat di pinggang sedang tangan kanannya di punggung. Kurang ajar sekali bukan? “Jak..Jak!!! Awas dulu, Jak!” pekik Uci merasa tidak nyaman dengan posisi ini. Tapi seperti tidak mampu mendengar suara Uci yang jaraknya hanya sejengkal dari telinganya, Reza tidak bergeming. “Reza!!!” kini Uci memukul punggung tunangannya. Kuping perempuan itu sudah memerah, malu, karena sudah tidak ada sekat antara dadanya dengan Reza. “Gue ga tanggung jawab kalo tunangan lo kabur lagi ya, Jak,” ucap seseorang yang muncul dari gelapnya malam dan dalam keadaan basah. Raka sudah menahan diri saat melihat Uci berusaha menghubunginya. Meskipun sangat menyayangi cewek itu, ia juga harus mulai menyayangi dirinya sendiri  mulai sekarang bukan? Salah satunya dengan cara belajar mengambil jarak. Tapi tidak bisa, Raka tidak bisa membiarkan perempuan itu berada dalam pelukan orang lain terlebih dalam paksaan. Dan ujian berat lainnya yang harus ia lalui adalah bersikap seperti biasa, disaat ia sudah gatal ingin menonjok sahabatnya sendiri. Entah bagaimana cara kerja otanya Reza sehingga ia selalu memaksa Uci disaat Raka mati-matian menekan dirinya demi kenyamanan wanita yang sama-sama mereka sayangi. Kaget melihat Raka yang kuyup dan memanfaatkan kelengahan Reza, Uci mendapatkan kesempatan untuk kabur. Ia mendekati Raka, menarik temannya dari guyuran hujan. Pak!!! Uci menampar keras wajah Raka kemudian meyembunyikan tangannya di belakang tubuhnya. Ia menatap Raka dengan mata merah yang sudah terlatih untuk menahan tangis. “Lo tau apa salah lo,” ucap Uci berlalu meninggalkan kedua cowok itu dalam diam dan saling pandang. Tentu saja Raka tau apa salahnya, membiarkan Reza melakukan apa yang ada diotaknya, apalagi memangnya? Raka kan tameng terakhir yang Uci miliki. “Hm.. Gue ganggu quality time kalian, makanya ditampar,” ucap Raka meramaikan suara hujan. “Sakit loh, Jak... Calon bini lo emang calon penghuni neraka,” rengek Raka mendekati Reza dan memeluk temannya yang masih saja tidak berani terang-terangan menunjukkan ketidak sukaannya dengan kehadiran Raka. Di dalam ruang rawat inap, Uci kembali memakai cincinnya. Ia belum punya cara lain untuk menyingkirkan benda itu. Setidaknya untuk saat ini. Setelah meyakinkan diri ia bisa bersikap ketus pada Raka, Uci memutuskan untuk keluar dan menemukan Raka yang memeluk Reza. Alih-alih memeluk Uci yang terlihat paling menyedihkan disini, Raka malah memeluk Reza, luar biasa sekali. Dan entah kenapa Uci sangat cemburu dengan Reza yang mendapat pelukan disaat dirinyalah yang paling menderita disini. “Ejak bisa makin sakit kalo dipeluk sama badan lo yang berair itu,” ucap Uci setelah menenangkan dirinya secepat yang ia bisa. Menenangkan diri dari keterkejutan melihat pemandangan Raka yang memeluk Reza. “Berair kepala lo di  dengkul!! Lo pikir gue sedang dalam fase membusuk? Makanya berair?” Raka melepaskan diri dari Reza dan menyeka bekas basah di tubuh bagian samping temannya itu. “Lo emang lagi busuk! Lo nusuk gue dari belakang! Perilaku lo baunya ga jauh dari bangkai. Busuk!!!!” “Nah.. Mulai lagi kan, Jak? Ga akan pernah bisa tunangan lo ini bersikap baik ke gue,               jangankan baik mendekati baik aja ga akan dia bisa,” adu Raka pada temannya yang masih diam saja sejak dirinya di tampar sampai adegan peluk-pelukan barusan. “Kalian bikin gue makin pusing,” ucap Reza dan meminta keduanya masuk. Hujan semakin deras dan kali ini disertai dengan angin. “Tidur, Ci,” ucap Reza menggerakkan kepala pada ranjang yang tadi ditempatinya. Uci gelagapan, ia cepat-cepat menggerakkan kedua tangannya, menolak dengan halus. “Kamu yang harus cepat tidur. Aku mau kamu cepat sembuh supaya tante ga sedih.” “Iya, aku tidur, kamu juga harus tidur,” ucap Reza lembut. “Iya, pasti. Aku mau urusin Raka dulu,” ucap Uci berbalik ke Raka dan mencubit lengan Raka kemudian menariknya kembali ke luar. Sementara Raka mengaduh kasakitan. “Kalo lo cowok, udah tewas lo gue buat!! Jauh-jauh ga lo dari gue, dasar mantannya setan!!!” teriak Raka saat kulintnya berhasil di jepit oleh kuku jempol dan telunjuknya Uci. “Iya, elo setannya,” jawab Uci yang sayup-sayup terdengar oleh Reza. Ia melihat pintu kembali tertutup dan ia kembali terasing dari dua orang itu. Bukankah Reza yang harusnya diurusi? Lagi-lagi Reza merasa terasingkan di antara mereka. Bahkan seharian ini Reza harus meminta terlebih dahulu pada Uci untuk di bantu ini-itu. Sekarang lihat Raka, ia tidak perlu bersusah payah seperti dirinya hanya untuk diurusi oleh Uci. Uci meminta ponsel Raka dan segera memesan sepaket pakaian dan jaket melalui aplikasi ojek online. Ia diam dengan tampang datar, tidak ada ekspresi kesal seperti yang ia tunjukkan beberapa saat yang lalu ketika mereka masih berada di dalam ruang rawat inapnya Reza. “Gaji gue habis di elo ya, Ci,” ucap Raka mengusap kepala Uci untuk mendapatkan perhatiannya. “Jangan sakit, lo harus langsung gabung sama Reza, rajangnya muat untuk dua orang,” balas Uci. Raka yang kehabisan uang sama sekali bukan urusannya Uci. Memegang pipi Raka yang tadi ia tampar dengan tangan kirinya sementara tangan kanan dibiarkan terjatuh di sisi tubuhnya. Uci tak berani bertanya apakah itu sakit. Tangannya sendiri bahkan masih berdenyut saking kerasnya pukulannya tadi. “Lo gila emang ya? Lo nyuruh gue baring di samping Ejak saat dia pengennya elo yang ada disana,” ucap Raka dan meraih tangan kanan Uci lalu meremasnya pelan. “Gue yang ditampar tapi gue kok malah ngerasain perihnya tangan mungil sialan milik setan macem elo sih, Ci?” tanya Raka. Ia kemudian membawa tangan Uci pada pipinya, “Tuhkan Ci.. Panas. Lo nampar pake hati banget si.” “Jangan macam-macam, Ka, gue baru sehari jadi tunangan orang,” dan dibalasi Raka dengan cibiran namun ia tetap membawa telapak tangan itu untuk ia kecup. Tak terlalu lama setelah itu, pakaian yang Uci order sampai. Ia mendorong Raka masuk ke ruangan Ejak. Menyuruhnya berganti pakaian dan bergabung dengan Reza di ranjangnya. Sementara Uci membelikan teh hangat untuknya. “Rokok sebatang ya, Ci?” mohon Raka. Ia sengaja mengangkat telunjuk kanan di depan wajahnya, menunjukkan keseriusan untuk jumlah rokok yang ia minta. “Lo jangan cari masalah dulu lah, Ka, soto aja, Ci,” sahut Reza yang entah dari detik keberapa keluar dari ruang rawat inapnya. Tunangan Uci itu mengambil inisiatif sendiri karena tampang Uci sudah seperti akan melahap Raka hidup-hidup. >>>>  “Papa ga ada di rumah,” ucap Bian pada tamunya. Sumpah, Bian tidak tau fakta bahwa kamu akan jadi sering melihat mantanmu setelah kalian putus. “Aku mau ketemu kamu,” ucap Dafka pendek. Bian menaikkan sebelah alisnya, kemudian melirik hujan badai di belakang Dafka. Ga salah ni? Nyari aku? Yang ga pantas di sayangi?? Ditengah hujan begini? “Maaf sebelumnya, apa masih ada yang harus dibahas? Atau ada barang kamu yang masih di aku? Seingatku aku sudah mengembalikan semua bar-” omongan Bian di potong begitu saja. “Aku cuma mau ketemu kamu, dan aku ga pernah minta semua itu dikembalikan.” “Sekali lagi maaf ya, Ka, aku ga bisa biarin kamu masuk. Juga ...” Bian mengepalkan tangannya yang berada di balik pintu. Ia sengaja tidak membuka lebar pintu rumahnya begitu tau bukan untuk Papanya ia membukakan pintu. “Jangan terlalu sering datang kalau tidak ada yang begitu penting. Jangan mau buang waktu kamu hanya untuk nemani Papaku nonton bola. Aku bisa menemani Papaku sendiri dan tolong, tolong jangan mencuri peran Abangku dalam hidup Papa. Kami bisa menjalani hidup tanpa peran pengganti,” ucap Bian kemudian menutup dan langsung mengunci pintu. Ia tidak ingin Dafka berlalu lalang lagi dalam hidupnya dan kemudian bersikap perhatian setelah apa yang laki-laki itu katakan padanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN