Satu Ruang Bersama

525 Kata
“Apa kau lelah?” tanya Kei saat melihat wajah Mira tampak tertekuk lesu sembari menguap beberapa kali. “Tidak,” jawab Mira, lagi-lagi semua yang ia katakan sangat berbeda dengan apa yang hatinya inginkan. Dia berbohong, walau sebenarnya ingin sekali berteriak jujur. Dasar bodoh! Tentu saja aku lelah. Aku ini manusia biasa yang butuh istirahat. Sampai kapan aku harus duduk dan terpaksa tersenyum seperti ini?! Menyebalkan. — Batin Mira. Ingin sekali rasanya ia melempar semua pakaiannya dan terbaring di atas kasur yang empuk. Mira lelah dengan semua pesta pernikahan paksanya ini. Helaan napas pun kembali terdengar dari mulut gadis itu. Ia terus menampilkan senyumannya dan seolah menikmati semua persembahan yang diberikan oleh para penari wanita itu. Padahal sejujurnya, Mira sama sekali tidak menikmati semua itu. Mira hanya ingin kasurnya, dia ingin istirahat dari semua hal yang melelahkan ini. “Ikut aku,” ujar Kei, tangan pria itu tiba-tiba meraih lengan Mira dan menarik gadis itu pergi dari istana utama. “Kau ingin membawaku kemana?” tanya Mira. “Kamar.” Kamar? Aku dan dia? Satu ruangan berdua dan tidak ada orang lain?! Tidak, tidak, ini tidak boleh terjadi! Mira menggelengkan kepalanya kuat, menepis semua pikiran kotor yang terus mengusik benaknya. “Ada apa denganmu?” tanya Kei, ia menghentikan langkahnya, kemudian menatap Mira dengan keningnya yang berkerut heran. “Kenapa kau menggelengkan kepalamu seperti itu? Apa kepalamu bermasalah?” tanya Kei lagi. Sontak Mira terdiam, aksi geleng kepalanya pun ikut terhenti, pikiran kotornya berhasil ia tepis saat manik matanya menatap Kei yang tampak menyebalkan dalam pandangannya. “Aku pikir, aku tidak perlu ke kamar, lebih baik kita kembali ke aula istana utama saja,” usul Mira, ia tengah berusaha menghindari kamar untuk menjaga stabilitas jantungnya agar tetap berdetak dengan baik dan normal. Sungguh, membayangkan berada di dalam kamar dan hanya berdua dengan pria itu, mampu membuat darah Mira seolah terpompa dengan cepat, begitupun dengan jantungnya yang terasa berdebar lebih kencang dari sebelumnya. “Kalau itu keinginanmu, silakan saja. Kembalilah ke istana utama sendiri,” cakap Kei. Pria itu kemudian berbalik, ia kembali melangkahkan kakinya, berjalan menuju ke arah kamarnya. “Kau ... kau tidak ikut denganku?” tanya Mira. Kei mengabaikannya, pria itu terus berjalan meninggalkannya seorang sendiri. “Hei, tunggu aku!” Gadis itu akhirnya mau tak mau menyusul Kei yang sudah lenyap dari pandangannya. *** Mira masuk ke dalam kamar. Di sana terlihat Kei sedang membuka jubahnya dan melemparkannya ke sembarang tempat. “Ada apa kau datang kemari?” tanya Kei yang melihat Mira berjalan masuk ke dalam kamarnya. “Ck, pertanyaan macam apa itu. Aku datang ke kamar tentu saja untuk tidur,” jawab Mira sembari naik ke atas ranjang dan mulai menjulurkan kakinya yang terasa kebas. “Kau yakin?” “Yakin apa?” “Kau yakin ingin tidur di kamarku?” tanya Kei, memperjelas pertanyaannya. “Kamarmu? Bukankah ... ini kamarku juga?” Yang Mira tahu, jika laki-laki dan perempuan sudah menikah, maka mereka akan tidur di kamar yang sama. Karena itu, Mira berpikir ini adalah kamar mereka, sekalipun Mira sangat ingin tidur terpisah, tetapi mengingat Kei yang suka mengancamnya, jadi Mira hanya bisa mengikuti kemanapun pria itu menginjakkan kakinya. Seperti Kei berada di kamar ini, dan Mira pun juga ada di sini. “Ah! Sepertinya kau tidak sabar ingin melakukan 'itu' denganku, ya?” terka Kei sembari mengerlingkan matanya. “Apa maksudmu?” tanya Mira, tak paham.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN