Kepulangan Arjuna membuat hidup Anjani tidak tenang. Ia harus selalu waspada agar tidak bertatap muka dengan paman tirinya itu. Gadis bersurai kecokelatan itu merasa belum siap jika harus bertukar sapa dengan pria yang telah membuatnya trauma untuk jatuh cinta lagi. Selama enam tahun ini, entah sudah berapa pria yang telah dibuat patah hati oleh Anjani. Anjani sendiri bahkan tidak tahu, entah sampai kapan ia akan membenci sekaligus mencintai Arjuna.
Dan sudah dua kalinya, Anjani menolak ajakan sang mama untuk berkunjung ke rumah Nenek Dewi, di mana Arjuna tinggal di sana. Karena Nenek Dewi tak lain adalah ibu kandung Arjuna. Anjani selalu saja mempunyai segudang alasan untuk menolak ajakan Sinta—mamanya.
Tidak ada hari libur bagi Anjani. Meski hari ini adalah akhir pekan, ia tetap pergi ke daycare untuk bekerja. Meski tidak banyak anak yang dititipkan ketika akhir pekan, Anjani lebih suka berada di kantornya. Entah itu mengecek laporan bulanan. Menyusun jadwal kegiatan anak-anak, baik kegiatan belajar mengajar, permainan edukatif juga menyusun menu makanan anak-anak.
Anjani masih di ruangannya dan tengah berkutat dengan Macbook miliknya, ketika ponselnya berdering. Rupanya sang mama yang menghubungi. Dengan malas, Anjani pun akhirnya menjawab panggilan itu. Karena biasanya di akhir pekan seperti ini, sang mama sudah merancang sebuah acara untuk dirinya. Jika bukan diminta menemani ke arisan atau kondangan, sang mama akan mengajaknya ke rumah Nenek Dewi. Lagi.
Anjani: [Ya, Ma?]
Mama: [Jani pulang jam berapa, Nak?]
Anjani: [Jani pulang sebentar lagi, Ma. Kenapa?]
Memang benar ia sudah akan pulang sebentar lagi. Pekerjaannya sudah selesai dan begitu tiba di rumah, ia akan beristirahat sembari menonton film/series. Seperti perempuan muda pada umumnya, ia menyukai aktor-aktor tampan dengan pahatan sempurna di perut. Dan rela begadang untuk menamatkan film/series favoritnya. Namun selera Anjani seringkali menjadi bahan olok-olokkan kedua sahabatnya—Fitri dan Ami. Karena Anjani memang lebih menyukai aktor berusia dewasa dibanding yang seumuran dengan dirinya dan kedua sahabatnya. Sedangkan malam nanti, ia sudah membuat janji dengan kedua sahabatnya untuk menghabiskan malam Minggu di sebuah kafe.
Sambungan telepon pun berakhir setelah sang mama berpesan padanya untuk pulang tepat waktu karena hari ini adalah hari ulang tahun sang papa. Tanpa menaruh curiga pada sang mama, Anjani pun pulang ke rumah tepat waktu. Ia bahkan lupa jika hari ini adalah hari kelahiran sang ayah tercinta. Setelah memastikan mobilnya terparkir sempurna di halaman rumah, Anjani turun perlahan. Dengan santai ia langkahkan kaki menuju teras. Pintu rumah sudah terbuka lebar dan ia bisa menangkap gelak tawa kedua orang tuanya, dan entah siapa lagi.
Ketika akhirnya Anjani tiba di ujung ruang tamu yang berdampingan dengan ruang makan, langkahnya terhenti seketika. Begitu mendapati sosok yang sudah dua minggu ini selalu coba ia hindari, tengah duduk bersama orang tuanya, Nenek Dewi, Tante Sinta dan juga Malik. Malik sendiri adalah anak dari Tante Sinta.
Ruangan senyap selama beberapa detik lamanya karena kedatangan Anjani. Sebelum akhirnya Malik, anak laki-laki yang tengah beranjak dewasa menghampiri Anjani dan menuntun Anjani untuk bergabung di meja makan.
Anjani tak bisa mengelak. Otaknya mendadak tak bisa ia gunakan untuk berpikir. Ia yang masih setengah linglung, mengikuti Malik yang menuntunnya duduk di salah satu kursi yang berhadapan langsung dengan Arjuna. Anjani lantas tersenyum canggung pada semua orang yang berada di meja makan, terkecuali pada Arjuna.
“Maaf kalau Jani telat,” ucapnya kemudian. “Soalnya Mama nggak kasih kabar, kalau hari ini ada acara perayaan ulang tahun Papa.”
“Sengaja Mama nggak bilang. Kalau Mama bilang, pasti kamu ada aja alasannya untuk kabur lagi,” tukas sang mama yang dengan sigap menyendokkan nasi di piring Anjani.
“Jani memangnya nggak kangen sama Nenek ya? Kenapa nggak datang waktu acara makan-makan di rumah?” Kali ini Nenek Dewi yang bertanya. Wanita yang sehari-harinya duduk di kursi roda itu memandang sang cucu dengan penuh kerinduan.
“Maaf ya, Nek, kebetulan Jani ada acara,” dalih Anjani. Berusaha tetap mempertahankan senyum di wajahnya pada sang nenek.
“Tapi janji ya, lain kali Jani harus datang. Nggak boleh alasan apa pun lagi pokoknya.”
“Iya, Nek. Jani usahakan.”
“Bukan diusahakan, Anjani. Kamu harus datang,” tukas Nenek Dewi memaksa.
“Iya, Nek, iya. Jani janji akan datang,” jawab Anjani akhirnya mengiyakan.
Acara perayaan hari lahir Suseno—papa Anjani pun akhirnya dimulai. Suseno memimpin doa dengan khidmat meminta keselamatan, kesehatan, kelancaran rezeki dan doa terakhir membuat Arjuna seketika menatap Anjani. Doa Suseno yang meminta agar segera didatangkan jodoh untuk puteri satu-satunya.
Anjani sibuk mengirim pesan pada kedua sahabatnya selama sesi makan berlangsung. Ia meminta bantuan pada Fitri dan Ami untuk diselamatkan dari acara keluarga itu. Tentu saja lagi-lagi alasannya karena ia ingin menghindari Arjuna. Anjani bahkan berjanji akan metraktir kedua sahabatnya itu selama satu minggu penuh, asalkan ia bisa diselamatkan dari acara keluarga di mana ada Arjuna di sana.
Tepat ketika semuanya menghabiskan makanan pada piring masing-masing, penyelamat Anjani datang dengan segala kehebohannya. Fitri berakting menangis berpura baru saja diputuskan oleh kekasihnya. Sedangkan Ami memasang wajah sendu, turut berpura sedih demi kelancaran drama yang tengah dimainkan mereka.
“Loh, loh, Fitri kenapa menangis?” Sinta terkejut dengan kedatangan dua sahabat dari putrinya. Terlebih Fitri yang menangis cukup kencang.
“Fitri habis diputusin pacarnya, Tante.” Ami mewakili menjawab sembari berkedip pada Anjani.
Anjani yang mengerti dengan kode yang diberikan Ami pun mulai memerankan perannya. Gadis itu berdiri menghampiri kedua sahabatnya dan memasang wajah prihatin. “Kamu beneran putus, Fit?”
Fitri mengangguk dan segera memeluk Anjani. Tangisnya semakin kencang hingga memekakkan telinga Anjani. Jika bukan demi bisa kabur dari rumah, Anjani jelas akan mencubit pinggang Fitri.
“Kita ke kamar ya,” ajak Anjani pada kedua sahabatnya. Lalu ia memandang orang-orang di meja makan yang tengah memerhatikannya. “Semuanya, Jani pamit ke kamar dulu ya. Kasihan Fitri,” pamitnya kemudian.
“Ya sudah sana, temani Fitri dulu,” perintah Sinta yang tak tega melihat salah satu sahabat puterinya menangis sesenggukkan.
Sepeninggal Anjani dan kedua sahabatnya, suasana meja makan kembali riuh oleh celotehan Malik yang bercita-cita ingin menjadi pembalap Moto GP. Orang tua Anjani, Nenek Dewi dan Wulan dengan sabar mendengarkan celotehan Malik. Berbeda dengan Arjuna yang semakin gemas dengan sikap Anjani yang selalu menghindarinya. Ia bahkan tidak diberi kesempatan oleh gadis itu untuk sekadar bertanya kabar.
Semua salahmu, Arjuna. Salahmu!
Hati kecilnya memaki. Jika saja enam tahun lalu ia meluangkan waktunya sedikit saja untuk memberi pengertian pada Anjani, mungkin hubungan mereka tidak akan merenggang seperti ini. Tapi ia sendiri pun tak yakin, jika saat itu ia mampu untuk melepaskan Anjani. Karena semakin ia menyangkal perasaannya, semakin kuat pula perasaan cinta mengakar pada hatinya.
Bersambung