1. Seseorang dari masa lalu
Anjani mendesah lirih, sembari menahan ngilu pada sebongkah merah di dalam hatinya sana. Melihat kembali sosok pria yang enam tahun lalu menggoreskan luka dihatinya bukanlah hal yang mudah bagi gadis berkulit putih itu. Akan tetapi, Anjani harus berusaha menekan rasa sakit di dadanya. Ia tidak boleh terlihat lemah, di hadapan sosok yang telah membuatnya trauma pada sosok bernama lelaki hingga membuatnya menarik diri dari pesona lelaki manapun.
Arjuna Fusena.
Namanya selalu Anjani sebut dalam setiap doanya. Selama enam tahun ini, ia tidak pernah alpa mendoakan pria yang lebih dewasa lima belas tahun darinya itu. Dalam doanya, ia meminta apabila mereka memang berjodoh, ia hanya ingin diberikan jalan agar mereka dipersatukan. Dan apabila mereka memang tidak berjodoh, ia hanya meminta agar dihapuskan perasaan cinta yang telah mengakar sejak ia berusia empat belas tahun di hatinya.
Karena, di umurnya yang kini menginjak angka dua puluh empat tahun, ia belum pernah sekalipun menjalin hubungan asmara dengan seorang lelaki. Anjani kerap menghabiskan waktunya hanya untuk bekerja dan bekerja. Selebihnya ia hanya akan menghabiskan waktu dengan sepupu dan juga keluarganya.
“Jani, ayo duduk.”
Ajakan dari sang mama akhirnya membuyarkan apa yang sedang dilamunkannya saat ini. Anjani mengangguk, lantas bergerak mengikuti sang mama duduk di salah satu bangku tamu undangan.
Rupanya, acara kejutan yang dimaksud sang mama adalah acara peresmian klinik gigi milik Arjuna. Arjunanya, yang enam tahun lalu menghilang tanpa kabar, setelah mematahkan hatinya.
Anjani masih memaku pandangannya pada sosok di depan sana. Yang tengah memberikan sambutan pada tamu undangan dan informasi seputar kesehatan mulut. Suaranya yang berat, pembawaannya yang tenang juga senyumnya yang menawan, masih sama seperti enam tahun lalu. Anjani kembali mendesah lirih dan mengepalkan jemarinya, berharap mampu meredam gejolak hebat di dadanya.
Bohong, jika ia tidak bahagia dengan kembalinya Arjuna. Tetapi ia terlalu takut untuk mengakuinya. Sebab ia tahu, Arjuna akan selalu menganggap dirinya sebagai keponakan pria itu.
“Anjani, kok kamu diam saja? Kamu sepertinya nggak bahagia lihat Om Ar lagi,” ucap Sinta—ibunda Anjani yang lagi-lagi membuyarkan lamunan sang puteri.
Anjani menoleh perlahan dan mencoba untuk tersenyum. Bersamaan dengan itu, Arjuna di depan sana menutup sesi sambutannya.
“Terima kasih untuk semuanya yang telah menyempatkan hadir pada peresmian Juna Dental Clinic siang hari ini. Semoga dengan berdirinya klinik gigi ini, bisa membawa manfaat bagi kita semua. Terima kasih sekali lagi, dan selamat siang.”
Anjani seketika kembali memandang sosok di depan sana yang juga tengah memandangnya. Juna. Itu adalah nama panggilan yang ia berikan pada Arjuna, karna mirip dengan nama panggilannya. Sementara selama ini, baik keluarga dan juga teman-teman Arjuna, memanggil pria itu dengan panggilan Ar. Anjani tak menyangka jika Arjuna—Om Juna menggunakan nama panggilan yang ia berikan untuk nama klinik.
Jangan baper, Jani! Itu bukan berarti Om Juna memiliki perasaan yang sama denganmu. Ingat, dia juga sudah menikah. Tentu kamu juga masih ingat bagaimana dia mengabaikanmu enam tahun lalu. Suara hatinya mengingatkan.
Anjani melebarkan manik matanya begitu menyadari Arjuna berjalan ke arah tempatnya dan sang mama duduk. Seketika itu pula gadis berambut gelombang itu berdiri. Ia ingin segera kabur dari sana.
“Lho, kamu mau ke mana, Jani? Acaranya masih belum selesai.” Sang mama memegangi pergelangan tangannya.
“Eee, Jani lupa, Ma, sore ini ada janji dengan Amel,” dusta Anjani menyebutkan salah satu pengajar di Love Daycare sembari matanya terus mengawasi pergerakan Arjuna. Beruntung, segerombolan para gadis mencegat perjalanan Arjuna untuk meminta foto bersama, sehingga ia mempunyai waktu cukup untuk kabur sebelum Arjuna tiba di hadapannya.
“Tapi, itu Om Ar lagi jalan ke sini, Nak.” Lagi-lagi sang mama berusaha untuk mengalanginya untuk kabur.
“Salam saja untuk Om Juna, Ma. Jani harus pergi sekarang.” Tanpa memedulikan omelan sang mama lagi, Anjani benar-benar meninggalkan tempat acara. Ia bahkan mengabaikan seruan Arjuna yang memanggil-manggil namanya hingga beberapa kali.
“Mbak.” Arjuna mencium khidmat punggung tangan kakak tirinya, begitu seruannya pada Anjani diabaikan. Gadis mungil yang kini telah beranjak dewasa. Salah satu dari sekian alasannya untuk pulang ke kota ini, benar-benar membencinya.
“Anjani bilang sedang ditunggu teman kerjanya, Ar,” kata Sinta memberitahu. “Sepertinya dia sedang ada masalah. Tapi Mbak nggak tahu masalah apa. Sejak sampai sini tadi, mukanya murung terus. Padahal dulu kalau ketemu kamu, mau dia sedang ada masalah apapun pasti kembali ceria.”
Arjuna terhenyak dan merasakan salivanya yang meluncur ke tenggorokan sepahit empedu. Jelas, Anjani murung karena harus melihatnya lagi. Ia yang meninggalkan gadis itu enam tahun lalu, tepat seminggu setelah Anjani menyatakan cinta padanya.
Maafkan saya, Jani.
…
Enam tahun lalu
Arjuna baru saja menyelesaikan jam praktiknya di sebuah rumah sakit swasta. Ia masih merapikan barang-barangnya, ketika salah satu perawat memberitahu Anjani datang dan ingin menemuinya.
Arjuna pun bergegas meninggalkan ruang praktiknya dan begitu ia membuka pintu, ia menemukan Anjani yang duduk di bangku tunggu masih dengan seragam sekolahnya.
“Om Juna.” Gadis itu berdiri begitu melihat sosoknya. Tersenyum riang seperti biasa.
“Jani kenapa ke sini?” Arjuna bertanya setelah memperempit jarak di antara keduanya. “Diantar siapa ke sininya?”
“Satu-satu dong, Om, tanyanya,” protes Anjani.
“Iya, maaf.” Tangan Arjuna secara refleks mengusap pipi kemerahan keponakan tirinya. “Kita ke kantin saja, yuk. Sambil minum,” ajak Arjuna akhirnya.
“Ayo, Om.” Anjani dengan cepat mengiyakan ajakan Arjuna. Paman dan keponakan tak sedarah itu akhirnya berjalan beriringan menuju kantin rumah sakit yang terletak di sisi utara gedung.
Mereka mengambil tempat di meja paling pojok, agar obrolan mereka tidak terganggu oleh lalu-lalang pengunjung kantin. Mereka lantas memesan minuman segar untuk membasahi tenggorokkan yang terasa kering karna siang ini matahari begitu terik.
“Om Juna bohong! Katanya mau datang ke sekolah kalau Jani lulusan. Tapi malah Jani yang menyusul ke sini.” Anjani cemberut, menagih janji sang paman yang tak ditepati.
Arjuna menghela napas sebelum menjawab. “Jani kan tahu saya sibuk. Tadi saja saya baru selesai menerima pasien dari pagi. Kebetulan rekan saya sedang cuti untuk dua hari ke depan.”
Anjani mengangguk paham dan urung melanjutkan kalimat protesnya lagi. Gadis itu kembali menyeruput jus mangganya lagi lalu mengitari pandangannya ke sekeliling kantin. Kantin masih sangat ramai, karena saat ini masih termasuk jam makan siang. Sejujurnya kedatangannya kali ini menemui sang paman karena ia ingin mengatakan sesuatu yang sudah ia pendam selama bertahun-tahun. Dan hari ini, bersamaan dengan hari kelulusan, juga umurnya yang sudah bisa dikategorikan masuk usia dewasa, maka ia berniat nmengutarakan perasaannya pada pria yang lebih dewasa lima belas tahun darinya itu.
“Kenapa, Jani? Ada yang ingin kamu sampaikan?” Suara Arjuna memecah lamunan Anjani. Gadis itu pun tersenyum lebar dan mengangguk malu-malu. “Ya sudah katakan sekarang.”
“Tapi jangan di sini, Om,” tolak Anjani. Ia khawatir jika ada seseorang bisa mendengar pembicarannya dengan sang paman.
Arjuna mengerutkan kening, dibuat penasaran oleh gadis di hadapannya. “Ada apa, Anjani? Kamu ingin meminta kado untuk hari kelulusan kamu?” tanya Arjuna yang mendapat gelengan dari lawan bicaranya. “Lalu apa?”
“Kita bicara di mobil saja ya, Om,” pinta Anjani terdengar ragu-ragu.
Keriput-keriput halus di kening Arjuna pun kian kentara. Ia benar-benar dibuat penasaran dengan sikap Anjani siang ini.
Mereka akhirnya berjalan menuju mobil Arjuna yang terparkir di lahan parkir khusus tenaga medis di rumah sakit tersebut. Arjuna sedikit merasa tidak nyaman begitu ia dan Anjani memasuki mobilnya. Tentu saja karena ia adalah pria normal dan karena Anjani bukan lagi gadis kecil yang dulu kerap mengompol di celana. Anjani telah beranjak dewasa dengan lekukan tubuh yang hampir sempurna.
Dia keponakanmu, Arjuna!
“Om, nanti kalau Anjani sudah libur sekolah, kita jalan-jalan ya, Om,” pinta Anjani mencari topik pembicaraan untuk mengulur waktu. Sementara ia menunggu kesiapan diri untuk menyatakan perasaannya.
“Memangnya ada film bagus di bioskop? Saya kurang update soalnya.” Arjuna berusaha untuk memfokuskan tatapannya pada pemandangan depan mobil, karena pemandangan di sampingnya benar-benar tidak aman bagi jantung dan ….
Anjani masih delapan belas tahun, Arjuna!
“Ada film horor hollywood terbaru, Om. Dari trailer-nya seru banget sepertinya. Ya, Om, nanti kita nonton bareng?” Kali ini Anjani menggunakan jurus mautnya. Memasang ekspresi memelas dan menggerak-gerakkan lengan sang paman. Kulit tangannya yang halus menyentuh lengan kokoh sang paman dan membuat sang paman semakin merasa tidak nyaman.
“Iya, nanti kita nonton.” Arjuna mau tidak mau menyanggupi, berharap puteri dari kakak tirinya itu segera menjauhkan jemari mungilnya dari lengannya. Dan benar saja, begitu ia menyanggupi, Anjani menjauhkan tangannya dari lengan miliknya karena gadis itu berseru dengan antusias dengan bertepuk tangan.
Perbincangan mereka beralih dari topik seputar sekolah Anjani, lalu beralih seputar lagu yang tengah booming saat ini. Arjuna lebih banyak menyimak dan berusaha menjadi pendengar yang baik bagi keponakannya. Pria berusia tiga puluh tiga tahun itu memang tidak begitu mengetahui dengan apa-apa yang sedang digemari oleh masyarakat sekarang. Entah itu lagu atau bahkan film yang tengah booming di pasaran.
“Jadi kita di sini cuma mau bahas ini aja?” tanya Arjuna yang sudah mulai bosan mendengarkan ocehan Anjani. Ia sudah ingin pulang untuk beristirahat, setelah seharian harus menangani lebih dari dua puluh pasien.
Anjani yang tengah menggebu-gebu bercerita ingin melihat langsung konser salah satu musisi luar negeri, seketika terdiam. Gadis itu kembali teringat tujuan awalnya mengajak sang paman berbicara di dalam mobil sekarang ini.
“I—itu ….” Anjani mengepalkan tangan berharap mendapat kekuatan dari sana. Maniknya bergerak gelisah, antara ragu dan khawatir jika sang paman justru akan menghindarinya setelah ini.
“Kenapa, Jani? Katakan sekarang apa yang ingin kamu sampaikan, saya benar-benar lelah dan ingin pulang.”
Anjani kembali memakukan tatapannya pada Arjuna. Arjunanya yang sejak empat tahun lalu ia cintai secara diam-diam. Dan hari ini ia ingin mengutarakan perasaannya, berharap Arjunanya bisa memahami apa yang tengah dirasakan hatinya kini.
Desakan dari perasaan cinta yang menggebu, Anjani perlahan memangkas jarak antara dirinya dan sang paman. Ia tiba-tiba saja mengecup bibir Arjuna. Awalnya ia hanya menempelkannya saja, namun ketika tidak mendapat penolakan dari sang pria, Anjani semakin memberanikan diri untuk memberikan kecupan-kecupan lembut pada bibir tipis milik Arjuna.
Arjuna yang sangat terkejut dengan tindakan Anjani sempat terhenyak beberapa saat. Nuraninya berperang antara menghentikan permainan Anjani atau turut dalam permainan. Akan tetapi, ia adalah pria normal yang tak bisa begitu saja mengabaikan pesona Anjani. Dengan gerakan lebih berpengalaman, ia justru menyambut ciuman Anjani. Keduanya hanyut dalam pusaran gairah yang selama ini coba mereka bendung karena terbentur norma-norma sosial. Hingga Arjuna yang menyadari jika tindakan mereka salah, akhirnya mengakhirinya lebih dulu.
Anjani menunduk malu begitu Arjuna mengakhiri pagutan bibir mereka. Ia tidak menyesal karena telah memberikan ciuman pertamanya untuk Arjunanya. Ia justru senang Arjuna justru menyambut ciumannya dan ia semakin yakin Arjuna memiliki perasaan yang sama dengannya.
Setelah didekap keheningan selama beberapa saat, Anjani akhirnya berbicara lebih dulu. Ia sudah menunggu momen ini selama bertahun-tahun lamanya dan tak akan menundanya lagi.
“Om Juna, sebenarnya Jani sudah lama jatuh cinta sama Om Juna,” lirih Anjani berkata malu-malu.
Akan tetapi, pernyataan cinta Anjani sama sekali tidak ditanggapi oleh Arjuna. Bahkan hingga satu minggu lamanya, Anjani justru mendapat kabar, jika Arjunanya memutuskan menikah lalu pindah ke luar kota. Meninggalkan Anjani dengan goresan luka dihatinya hingga membuat gadis itu takut untuk jatuh cinta lagi.
Bersambung