Saat Alex terbangun dia hanya sendiri di ruang perawatannya. Dia menatap sekelilingnya mencari keberadaan keluarganya. Akan tetapi tidak ada siapa pun kecuali dirinya. Alex menunduk, dia pantas mendapatkannya. Ini sudah hari ke empat dia di rawat, keluarganya hanya satu kali datang melihatnya. Itu hari pertama saat dia baru masuk rumah sakit. Dan sejak itu mereka tidak datang melihatnya lagi. Hanya ada asisten rumah tangga yang mengantarkan buah beserta beberapa keperluan lainnya. Alex mendesah kecil, ini adalah konsekuensi dari semua yang sudah dia lakukan pada Bianca.
Semua ini jauh dari ekspekstasinya. Dulu dia berpikir, setelah dia mempermalukan Bianca maka perempuan itu hanya akan menjauhinya. Atau mungkin memusihinya lalu Alex tidak perlu lagi melihat Bianca yang sakit hati saat dia memutuskan untuk berkencan dengan wanita lain. Alex tidak suka melihat Bianca tersenyum saat dia mengenalkan teman kencannya. Perempuan itu berlagak baik-baik saja padahal Alex tahu kalau dia sakit hati dan cemburu.
"Aku tidak menyangka kalau semuanya akan seburuk ini," sesal Alex. Dia bangkit lalu dengan langkah tertatih, dia turun dari ranjang rumah sakit yang menjadi tempatnya tidur beberapa hari ini. Dia masuk ke dalam kamar mandi lalu dia membersihkan dirinya, meskipun sedikit kesusahan karena jarum infus yang tertanam di pungung tangannya.
Keluar dari kamar mandi, Alex merasa sudah lebih segar. Dia tinggal menunggu dokter datang memeriksanya setelah itu Alex akan pulang kerumah, dia merasa sudah baik-baik saja, meskipun masih sedikit nyeri pada perutnya dan juga luka lebam di wajahnya. Alex tidak terlalu peduli dengan lukanya itu, nanti juga akan sembuh dengan sendirinya. Namun sebelum pulang ke rumah keluarganya, dia perlu untuk bertemu dengan Bianca terlebih dahulu. Dia ingin tahu kondisi perempuan itu.
"Dok, apa saya sudah boleh pulang?" tanya Alex ketika dokter baru saja selesai memeriksa luka-lukanya. Dokter kemudian menjelaskan kalau tidak ada luka serius, dia mengalami retak pada tulang rusuknya dan hal itu akan pulih dalam waktu enam minggu. Dokter mengijinkannya untuk rawat jalan.
Setelah mengucapkan kata 'terima kasih', Alex bersiap untuk keluar dari ruang perawatan. Dia mengambi dompetnya lalu meninggalkan rumah sakit menuju rumah keluarga Bianca. Alex sempat mendengar pembicaraan kedua orang tuanya. Bianca hamil, itulah yang dia dengar.
Alex hanya ingin memastikannya. Dia tidak mau semakin merasa bersalah kalau benar Bianca mengandung anaknya. Akan tetapi kalau Bianca tidak hamil, dia mungkin bisa sedikit lega karena tidak perlu menikahi Bianca. Alex memang berpikir untuk bertanggung jawab, tapi menikahi Bianca bukan bentuk dari tanggung jawab yang dia pikirkan. Dia hanya berpikir untuk mencarikan Bianca pria yang baik. Dia bisa bertindak sebagai pelindung perempuan itu.
Alex menarik napasnya lalu menghembuskannya dengan perlahan. Dia mempersiapkan dirinya untuk bertemu dengan Bianca dan juga Doni. Setelah turun dari taksi dia berdiri di depan rumah Bianca. Penjaga keamanan yang sudah mengenalnya mempersilahkannya masuk begitu saja.
Alex masuk melewati pintu dengan jantungnya yang berdetak lebih cepat. Ketika Alex sudah berada di ruang tamu, dia tidak menemukan Bianca atau pun Doni dan juga Janeta di sana.
"Apa Bianca di rumah?" tanya Alex ketika asisten rumah tangga melewatinya.
"Ada, Tuan. Nona Bianca ada di dalam kamarnya," jawab wanita setengah baya itu.
"Om Doni dan Tante Janeta, apakah di rumah juga?"
"Tuan dan Nyonya sedang tidak di rumah, keduanya keluar tadi pagi dan baru akan kembali malam ini." Alex merasa ini adalah kesempatan yang baik untuk berbicara berdua dengan Bianca.
"Kalau begitu saya akan menemui Bianca di kamarnya," kata Alex lalu menaiki anak tangga menuju kamar Bianca yang sudah dia hapal letaknya di mana. Alex mengetuk pintu kamar Bianca tiga kali. Menunggu selama beberba detik dan tidak mendapat jawaban. Alex kembali mengetuk pintu kamar Bianca. Entah mengapa jantung Alex kembali berdebar menunggu pintu itu terbuka.
Alex mengamati penampilan Bianca yang terlihat seperti mummi. Jika saja Alex tidak menangkap sinar takut di mata Bianca mungkin dia akan tertawa melihat penampilan perempuan itu.
"Ka-kamu mau apa ke sini?" Bianca memeluk dirinya dengan kuat hingga tangannya gematar. Napasnya tersengal seolah dia baru saja berlari ratusan kilometer. Sumber rasa sakit itu berdiri tepat di hadapannya. Apakah tidak ada satu orang pun yang mampu membebaskannya dari rasa sakit ini?
"Bii, aku mau minta maaf untuk apa yang sudah aku lakukan sama kamu."
"Iya, aku maafkan. Sekarang bisa kamu pergi?" Sambar Bianca cepat. Semakin lama melihat Alex rasanya semakin sesak. Alex menatap Bianca intens. Ada yang salah dengan Bianca sejak terakhir mereka bertemu.
"Bianca, aku-"
"Pergi. Tolong tinggalkan aku sendiri." Nada suara Bianca melemah, wajahnya sudah seputih kapas. Seperti tidak ada aliran darah di wajah mulus itu. Alex menggeleng tegas.
"Aku tidak akan pergi sebelum kita selesai berbicara." Langkah Alex yang mencoba masuk ke kamar perempuan itu terhalang dengan kaki Bianca. Bianca menggeleng tanda dia tidak mengijinkan pria itu masuk.
"Baiklah. Aku hanya akan menanyakan satu pertanyaan. Setelah itu aku akan pergi." Alex mengigit bagian dalam bibirnya ragu. Sejenak dia diam mengumpulkan tekadnya untuk bertanya.
"Bii kamu hamil?"
"Tidak. Sekarang bisa kamu pergi?" Bianca masuk ke dalam kamarnya lalu mengunci pintu rapat. Alex pun tidak berusaha untuk menghentikan Bianca. Namun dia tidak langsung pergi dari sana. Alex terpaku lama di depan kamar Bianca. Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya. 'Apa aku yang menyebabkan rasa takut yang begitu besar di mata Bianca?'
Alex melangkah bingung meninggalkan kamar Bianca. Bukan ini yang dia inginkan. alex tidak pernah menginginkan Bianca menatapnya seperti itu. Seolah-olah Alex adalah penjahat kelas atas yang harus di hindari.
"Apa yang salah?" Alex terus menerus mencari jawaban dari pertanyaan itu. Dia benar-benar tidak sadar kalau awal dari semua masalah adalah dirinya. Alex berpikir Bianca tidak akan berekspresi seperti tadi. Bianca mencintainya, harusnya Bianca tidak takut padanya karena malam itu. Bianca mencintainya, bukankah seharusnya Bianca bahagia karena Alex lah orang pertama yang menyentuhnya?
Semuanya jadi kacau, Alex baru menyadarinya. Keluarganya, keluarga Bianca semua di luar kendali Alex.
***
Alex kembali ke rumah keluarganya. Saat dia tiba semua keluarganya duduk di ruang tamu. Mereka seperti menanti kepulangannya.
"Siang, Ma, Pa," sapa Alex namun, tidak mendapat jawaban. Alex memilih duduk di samping adik bungsunya, Samudra. Tidak lama setelah Alex duduk dua orang pekerja rumah tangga datang dengan membawa dua koper besar.
"Mama sudah menyipakan barang-barangmu. Semua keperluan kamu ada di dalam itu," kata Yuna menunjuk dua koper besar yang di bawa pekerja rumahnya tadi. Alex melihat koper dan Mamanya bergantian. Dia masih belum mengerti arah pembicaraan itu.
"Kamu tidak boleh tinggal di rumah ini lagi. Kamu Papa asingkan ke Medan. Bekerjalah lebih giat. Karena setelah Bianca melahirkan, kamu harus membesarkan anakmu sendirian."
Bersambung...