Bianca kembali ke kamarnya setelah mengobrol selama tiga puluh menit dengan teman orang tuanya. Rasanya tidak nyaman mengobrol dengan orang baru pertama kali bertemu. Dia menarik selimut dan membungkus tubunya rapat-rapat. Dia mengusap keringat yang mengalir dari keningnya. Bianca menarik napasnya lalu menghembuskannya dengan perlahan. Bianca melakukannya berulang kali hingga debar jantungnya berdetak normal.
Bianca sontak menoleh ketika pintu kamarnya di ketuk. "Mama," katanya lega. Janeta tersenyum tipis menyembunyikan rasa tercubit di hatinya melihat reaksi Bianca.
"Baimana perasaanmu, Sayang?" tanya Janeta lembut. Dia menarik selimut yang membungkus tubuh putrinya. Bianca membiarkan selimut itu lepas darinya. Dia merasa nyaman karena orang duduk di sampingnya adalah mamanya. Dimana wanita itu tidak akan menyakitinya atau menatapnya aneh.
"Aku baik-baik saja, Ma," jawab Bianca. Sejujurnya Bianca merasa takut dan juga merasa malu sepanjang mengobrol dengan Tante Mia, dia benar-benar menahan diri untuk tidak segera pergi dan mengurung dirinya di kamar.
"Kamu mau ketemu Alex, nggak?" tanya Janeta hati-hati. Mia tadi menyarankan agar Bianca berdamai dengan sumber masalahnya dengan begitu rasa kurang percaya dirinya akan berangsur berkurang.
Bianca menggeleng tegas. "Sampai kapan pun, aku tidak mau melihat wajahnya lagi, Ma," jawab Bianca datar. Wajahnya tidak menunjukkan emosi apapun. Berbanding terbalik dengan hatinya yang hancur saat di ingatkan lagi dengan pria yang pernah menjadi sumber kebahagiannya.
"Mama tinggal dulu iya, Sayang." Janeta beranjak dari sisi anak satu-satunya itu.
"Ma." panggilan Bianca membuat langkah Janeta terhenti. Dia berbalik lalu menoleh pada putrinya yang menunduk.
"Aku serius dengan permintaanku kemarin. Aku tidak ingin lagi tinggal di sini, di kota ini." Bianca mengangkat kepalanya. "Papa bahkan tidak lagi mau berbicara denganku," kata Bianca lagi. Bianca hanya tidak tahu kalau pria yang dia sebut papa itu tidak mampu melihat wajah putrinya karena merasa bersalah tidak mampu menjaga anak satu-satunya.
"Papa bukannya tidak mau bicara dengan kamu, Sayang. Tapi, akhir-akhir ini dia sangat sibuk."
"Dulu ... sesibuk apapun Papa, dia selalu menyempatkan waktunya untukku, Ma. Aku rindu Papa yang dulu." Bianca sadar, sejak kejadian itu tidak mungkin hubungan mereka balik lagi seperti dulu. Akan selalu ada pembatas yang menghalangi.
"Istirahatlah, Sayang. Mama akan bicara sama Papa kamu nanti untuk meluangkan watu mendengarkan cerita putrinya ini."
***
Ini yang ketiga kalinya Mia datang ke rumah mereka dan hanya Bianca yang menemaninya mengobrol. Seperti sudah diatur, setelah tiga puluh menit kedua orang tuanya akan datang entah dari mana. Begitu melihat Mama dan Papanya sudah datang, Bianca langsung pamit naik ke kamarnya.
"Bagaimana perkembangannya?" tanya Doni tanpa berbasa-basi. Mia menggeleng.
"Belum ada perkembangan apapun, Pak. Dia masih menahan diri dan gemetaran saat mengobrol dengan saya." Mia lalu mengambil sebuah buku dari bawah meja kaca sofa yang memang dia letakkan di sana sejak pertemuan pertama. Menuliskan kata-kata yang sama seperti dua pertemuan sebelumnya. Dia kemudian memberikan buku itu kepada Doni.
"Jadi, benar-benar tidak ada perkembangan sama sekai, iya." Janeta dan Doni saling menatap Doni mengusap bahu istrinya untuk menguatkan wanita itu.
"Jangan menangis, Sayang. Kita pasti bisa melewati ini," bisik Doni. Janeta mengangguk namun dia tetap tidak bisa menahan air matanya. Mia menatap keduanya dengan prihatin, sebenarnya ada satu hal lagi yang ingin dia sampaikan. Tapi dia tahu itu bukan prioritasnya.
"Kalau begitu saya pamit dulu, Pak, Buk," kata Mia. Dia tidak bermaksud untuk menyela keduanya. Janeta berdiri lalu mengantar Mia hingga depan pintu.
"Bicaralah dengan Bianca sebelum dia salah paham lebih jauh." Janeta menatap suaminya yang mengusap wajahnya kasar.
"Apa aku sanggup melihat dia menangis, Janeta?" Doni menatap mata istrinya putus asa. Sejak dulu kelemahannya adalah melihat putri dan istrinya menangis. Doni tidak sanggup melihat keadaan Bianca yang akan membuatnya semakin merasa bersalah karena ketidak mampuannya melindungi Bianca dari Alex. Mengingat laki-laki itu, Doni belum melakukan apapun terhadapnya. Bukan berarti dia hanya diam dan membiarkan pria itu lolos. Doni tidak akan membiarkannya. Jika pria itu tidak mati, setidaknya dia akan merasakan dinginnya kamar ICU.
"Kamu belum mencobanya, Sayang. Jangan membiarkan putri kita menunggu dan salah paham. Kamu dengarkan kalau dia tidak mau tinggal di kota ini lagi?"
Pada akhirnya Doni tidak bisa menunda untuk berbicara dengan Bianca. "Boleh Papa masuk?" tanya Doni setelah mengetuk pintu kamar Bianca dua kali.
Senyum di bibir Bianca terbit, dia lalu mengangguk mempersilahkan papanya masuk ke dalam kamarnya. Doni mengelus kepala Bianca sayang. Dia lalu dudk di hadapan putrinya itu.
"Papa nggak marah lagi, kan, sama Bianca?" Doni menggeleng.
"Papa tidak pernah marah sama kamu." Suara Doni terdengar bergetar. Melihat Bianca yang membungkus dirinya di tengah panasnya cuaca sekarang ini membuat Doni tidak kuasa menahan dirinya.
"Boleh Papa memeluk kamu?" Bianca tidak menjawab perkataan sang Papa namun, sebagai gantinya dia langsung masuk ke pelukan pria itu. Doni menggigit bibirnya kuat-kuat menahan tangisnya pecah di hadapan Bianca.
Bahu Bianca bergetar di pelukan papanya. Dia terisak-isak menumpahkan semua beban yang ada di pundaknya. "Maafin Bianca, Pa. Maaf karena sudah membuat Papa malu," ucap Bianca di sela-sela tangisnya yang semakin kencang. Doni mengucap punggung putrinya.
"Papa akan membalas pria itu, Sayang. Papa janji akan membuat dia menyesal karena telah melukai kamu begitu dalam," janji Doni. Bianca mengangguk, dia tidak peduli bahkan jika Alex sekarat sekali pun. Dia berharap pria itu merasakan apa yang dia rasakan.
"Aku ingin Alex merasakan apa yang aku rasakan, Pa."
"Dia akan merasakan lebih sakit dari yang kamu rasakan, Sayang." Bianca mengeratkan pelukannya pada sang Papa terlebih ketika rasa pusing dikepalanya semakin menjadi. Bianca mencoba menggelengkan kepalanya, akan tetapi pandangannya mulai mengabur.
"Bii," Doni mengurai pelukannya.
"Bianca!" panggilnya lagi ketika putrinya perlahan menutup matanya. Doni meraih tubuh putrinya ke dalam gendongannya lalu dengan langkah cepat dia keluar dari kamar Bianca.
"Siapkan Mobil!" Teriaknya pada sopir keluarganya.
"Apa yang terjadi?" Janeta mendengar teriakan suaminta langsung berlari menghampiri pria itu.
"Kita kerumah sakit sekarang." tidak bisa menjelaskan kondisi Bianca. Dia juga tidak tahu apa yang membuat putrinya tiba-tiba pingsan dan kehilangan kesadaran. Selama perjalanan menuju rumah sakit, Janeta masih mencoba menganggil-manggil nama Bianca. Kedua orang tua Bianca itu panik.
"Lebih cepat, Pak!" perintah Doni setengah membentak. Menuruti majikannya supir bernama Pak Saman itu menambah kecepatan laju mobil yang dia kencarai itu. Tidak lama kemudian mereka tiba di salah satu rumah sakit terbaik di kota itu.
Doni turun dari mobil terlebih dahulu lalu menggendong Bianca, di ikuti Janeta di belakangnya. Perawat dan Dokter jaga dengan cepat bertindak menghampiri mereka. Bianca di bawa langsung ke ruang UGD. Pemeriksaan berlangsung hampir satu jam lamanya.
"Selamat, putri bapak sedang mengandung." kata-kata itu bagaikan petir di siang bolong. Baik Janeta maupun Doni tidak ada yang mengeluarkan suara. Keduanya hanya diam dan saling menatap.
Doni mengepalkan tangannya kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Rasanya dia ingin membunuh seseorang sekarang dan tentu saja sasarannya adalah Alex. "Sayang," panggilan dari istrinya tidak Doni hiraukan, dia tetap melanjutkan langkahnya meninggalkan ruang tunggu UGD.
"Doni." Janeta menyamakan langkahnya lalu menangkap tangan suaminya. Janeta menggelengkan kepalanya melihat awan gelap di sekitar suaminya. Doni melepaskan tangan Janeta dari tangannya.
"Jangan menghentikanku, Janeta. Kali ini aku tidak bisa diam lagi, dia harus menerima balasan dariku. Tunggu di sini dan jaga putri kita, pastikan dia tidak tahu tentang kondisinya saat ini." Doni mengusap setitik air mata yang jatuh di pipinya. Janeta berhenti, dia tidak bisa lagi menghentikan Doni. Dia berdoa, semoga pria yang dia cintai itu tidak lepas kendali dan melukai dirinya sendiri.
Doni keluar dari lobby rumah sakit menuju mobilnya terparkir. "Saya akan menyetir sendiri, Pak Saman," kata Doni datar pada Pak Saman yang setia menunggu mereka di sana. Pak Saman mengangguk lalu memberikan kunci mobil pada Doni.
"Pak Saman tunggu di sini. Jika istri saya butuh sesuatu, tolong bantu dia," ucap Doni memberi perintah.
"Baik, Tuan." Pak Saman mengangguk patuh, dia merasa takut melihat tatapan dingin majikannya itu.
Doni menyetir dengan kecepatan rendah, dia sedang berbaik hati memberikan waktu untuk Alex sedikit lagi sebelum dia benar-benar membuat pria itu sekarat. Doni menghentikan mobilnya saat lampu lalu lintas berganti merah. Pandangannya terhenti pada seorang laki-laki yang menuntun putrinya menyebrang jalan. Doni tersenyum, dia teringat dengan Bianca kecilnya. Dulu putrinya juga sangat takut menyebrang, bahkan saat jalan sepi pun dia akan menunggu orang lain membantunya. Namun, senyumnya tidak bertahan lama digantikan dengan kemuraman. Kesedihan Bianca, kesakitan Bianca dan ketakutan putrinya terbayang di depan wajahnya.
Doni kembali melajukan mobilnya menuju gedung perkantoran milik Lukas. Doni memarkirkan mobilnya lalu dengan langkah tegas dia berjalan menuju ruang kantor Alex. Doni tidak perlu ijin dari sekretaris Alex saat dia membuka pintu ruangan pria itu.
"Om Doni-"
Doni tidak mengatakan apapun dan langsung melayangkan tinjunya ke wajah Alex. Tidak meberikan jeda, Doni kembali melayangkan tinjunya bertubi-tubi ke wajah dan perut Alex. Wajahnya begitu dingin dan datar sehingga Alex tidak mampu menebak apa yang ada di kepala pria setengah baya itu. Doni benar-benar tidak membiarkan Alex kesempatan menahan atau membalas serangannya. Gerakannya begitu cepat dan terlatih meskipun usianya tidak muda lagi. Doni melayangkan kakinya mengenai ulu hati Alex membuat pria itu jatuh tersungkur. Doni menarik kerah kemeja Alex, wajah pria itu sudah berlumuran darah.
"Apa kau tahu apa salahmu?" tanya Doni. Tanpa perasaan dia menginjak perut Alex. Alex menatap Doni dengan wajah kesakitannya. Ringisan yang keluar dari mulutnya tidak membuat Doni mengendurkan tekanan kakinya di perut Alex.
Alex menganggukan kepalanya dengan susah payah. Dia meyakini kalau Doni sudah tahu pelaku sebenarnya dibalik foto tellanjang Bianca. Alex sebenarnya sudah menduga kalau hal ini akan terjadi, sejak awal dia sudah mempersipkan dirinya untuk mendapatkan hal ini. Hanya saja saat berhari-hari terlalui sejak kejadian itu, dan tidak ada tanda-tanda akan kemarahan dari Doni. Alex pikir kalau dia tidak akan ketahuan, ternyata pria itu hanya mengulur waktu untuk menghajarnya.
"Kenapa?" Pertanyaan datar dari Doni membuat lidah Alex kelu, dia sendiri tidak menyangka bahwa dia sekejam ini terhadap Bianca. Penah terpikir untuk mengakui kesalahnnya dan ingin bertanggung jawab. Namun entah apa yang mempengaruhinya hingga hal itu tidak kunjung terlaksana.
"Maad, Om."
"b******n," maki Doni kasar, dia kembali melayangkan tinjunya tepat di bawah mata Alex. Doni baru melepaskan Alex setelah pria itu benar-benar tidak bergerak lagi. Saat dia berbalik dia melihat Lukas yang berdiri di ambang pintu. Doni menyunggingkan senyumnya melihat wajah sendu sahabatnya itu.
"Aku tidak akan minta maaf untuk ini. Bahkan aku belum puas meninjunya," desis Doni serius. Dia sungguh-sungguh masih ingin melayangkan tinjunya lagi. Namun, dia menahannya, tidak akan menyenangkan kalau Alex meregang nyawa lebih cepat. Ini belum cukup bagi Doni, dia masih ingin membuat pria itu sekarat lagi dan lagi.
Lukas menghela napasnya, dia meminta orangnya untuk mengantar Alex ke rumah sakit. "Maaf. Atas nama keluargaku, aku minta maaf untuk kelakukan tidak terpuji Alex," ucap Lukas tulus. Sejak mengetahui kelakuan Alex, Lukas tidak berani menunjukkan wajahnya di hadapan Doni. Dia sangat malu dengan kelakukan putra sulungnya itu. Bahkan saat dia tahu kedatangan Doni ke kantornya, dia tidak berniat menghentikan sahabatnya itu. Lukas mengeraskan hatinya, melihat putra yang dia banggakan selama ini di hajar habis-habisan oleh sahabatnya sendiri. Alex pantas mendapatkannya.
Dua orang yang berstatus ayah itu saling terdiam dengan perasaannya masing-masing. Doni dengan perasaannya yang hancur karena kondisi putrinya. Lalu Lukas yang merasa bersalah karena kelakukan buruk putranya terhadap Bianca.
"Bianca... " Doni menjeda ucapannya. "Dia sedang mengandung," katanya dengan lirih seraya menahan rasa sakit yang kembali menghantam hatinya. Ini berita menyakitkan yang harus dia bagi pada Lukas. Lukas tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Di satu sisi dia turut merasakan perasaan sakit Doni namun, disisi lainnya ada setitik bahagia. Tapi, apa pantas Lukas mengungkapkannya. Seandainya kehadiran bayi itu karena hubungan yang sah. Kesakitan ini tidak akan pernah mereka rasakan.
"Bianca tidak sedang dalam kondisi baik untuk menerima berita ini. Jadi, aku memutuskan untuk menyingkirkan bayi itu." Doni sebenarnya tidak tega, akan tetapi kondisi mental Bianca lebih penting dari apapun sekarang ini. Mendengar itu, Lukas tanpa pikir panjang langsung menjatuhkan tubuhnya di hadapan Doni. Dia menggelengkan kepalanya. Lihat! karena ulah anaknya, seorang Lukas Harisson berlutut di hadapan Doni.
"Apa yang kau lakukan, Lukas?" Doni menarik sahabatnya itu berdiri. Mereka kini duduk berhadapan di sofa ruangan Alex. Tidak ada yang ingin tahu bagaimana keadaan pria berusia hampir dua puluh enam tahun itu.
"Bisakah kau mengubah keputasanmu itu. Dia cucu kita," pinta Lukas ada setitik senyum samar di sudut bibirnya ketika membayangkan seorang anak kecil yang akan memanggilnya Opa atau Kakek.
"Aku tidak menganggapnya cucu. Dia buah dari kebrengsekan anakmu."
"Doni."
"Aku tidak akan berubah pikiran, Lukas. Kau juga tahu kalauBianca sedang sakit." Penolakan bernada tegas itu tidak menyurutkan tekad Lukas.
"Aku akan membantu untuk mencari Psikolog dan Pskiater terbaik."
"Itu yang aku lakukan sekarang. Dan kehadiran bayi itu akan menghambat pemulihannya." Doni tetap pada pendiriannya.
"Kami yang akan mengurusnya setelah lahir. Jadi kalian bisa tetap melanjutkan konsultasi pemulihan mental Bianca." Doni berdiri dari duduknya.
"Jawabanku tetap tidak," ucapnya lalu melangkah keluar dari gedung perkantoran itu. Lukas juga bergegas meninggalkan kantornya setelah memberi pesan pada sekretarisnya.
***
Saat Doni kembali ke rumah sakit, Bianca sudah di pindahkan ke ruang rawat inap. Doni memasuki kamar rawat putrinya dengan langkah pelan. Dia berusaha untuk tidak menimbulkan suara sekecil apapun agar tidak mengganggu tidur Bianca.
"Apa kata dokter?" tanya Doni pada Janeta yang menyambut kedatangannya.
"Semua baik-baik saja. Setelah dia bangun kita bisa pulang," jawab Janeta seadanya. Doni duduk di sisi Bianca yang sedang tidur denagn pulas.
"Kita harus menyingkirkan bayi itu sebelum Bianca tahu kehadirannya," ucap Doni tanpa berani menatap wajah istrinya.
"Untuk saat kita hanya harus fokus pada kondisi kesehatan Bianca," katanya lagi. Janeta sangat mengenal suaminya. Dia tahu kalau Doni juga berat mengambil keputusan itu. Akan tetapi Janeta meyakini kalau keputusan itu bukanlah keputusan yang tepat.
"Aku tidak setuju dengan ini. Sebaiknya kita konsultasi dengan psikolog yang menangani Bianca. Untuk saat seperti ini kita tidak boleh salah mengambil langkah." Janeta selalu berhasil menenangkan keadaan. Doni memeluk istrinya erat untuk mencari kekuatan, dia sangat lelah dengan semua masalah yang menimpa mereka. Doni hanya berharap semuanya cepat berlalu. Dan keluarga mereka kembali seperti dulu lagi.
***
Lukas dan Yuna kini berada di ruang perawatan Alex. Dokter mengatakan kalau Alex mengalami retak pada tulang rusuknya lalu tulang hidungnya juga patah. Wajahnya kini terlihat biru dan membengkak di beberapa bagian pipi dan bawah matanya. Yuna tidak mengatakan apapun saat dia di beritahu kalau Alex di bawa ke rumah sakit karena mendapat banyak pukulan di tubuhnya dari Doni. Mereka semuanya tahu kalau Alex yang bersalah.
"Bagaimana keadaan Bianca, Luke?" tanya Yuna menatap suaminya yang hanya terdiam sejak mereka tiba di kamar perawatan Alex. Lukas menghela napasnya berat.
"Dia mengandung, Sayang. Dia mengandung cucu kita. Akan tetapi Doni bersikeras untuk tidak mempertahankan bayi itu demi kesehatan mental Bianca," kata Lukas pelan. Dia sudah mencoba untuk menghubungi Doni berkali-kali. Berharap sahabatnya itu mengubah keputusannya. Katakan saja Lukas egois, dia hanya merasa tidak semestinya bayi itu menanggung kesalahan Alex. Yuna mendesah berat, dia semakin merasa bersalah karena ulah Alex.
"Aku bisa merasakan apa yang mereka rasakan, Luke. Apalagi dengan kondisi Bianca yang mengandung, mereka pasti sangat terpukul. Aku sendiri tidak tahu harus berbuat apa jika bertemu dengan Janeta nantinya. Ini semua salahku karena tidak bisa mendidik Alex dengan baik." Lukas menggelengkan kepalanya. Tidak setuju dengan perkataan istrinya. Satu-satunya yang bersalah adalah Alex. Karena itu setelah Alex pulih, dia harus menjalani hukumannya.
"Bianca di rawat di rumah sakit ini juga. Kamu mau menjenguknya?" Yuna tidak langsung menjawab. Sejenak dia menatap ragu suaminya. Lalu dia menggeleng kecil.
"Sebenarnya aku malu bertemu Janeta. Tapi aku juga ingin tahu kondisi Bianca." Keduanya akhirnya memberanikan diri untuk menemui sahabat mereka.
Saat mereka tiba di depan kamar perawatan Bianca. Mereka melihat ketiga orang itu hendak keluar. Bianca langsung merapatkan dirinya ke belakang tubuh Janeta saat melihat kedatangan Lukas dan Yuna. Senyum sopan yang muncul di kedua sudut bibirnya tidak mampu menutupi rasa takutnya.
"Kalian sudah mau pulang?" tanya Lukas menebalkan mukanya menerima tatapan tidak mengenakan dari pasangan suami istri itu. Doni mengangguk. Hubungan mereka sekarang seakan kaku tidak sama seperti dulu lagi. Hubungan yang hangat dan erat.
"Bagaimana dengan kondisi Bianca?"
"Baik, Om, Tante," jawab Bianca gugup. Pakaian satu lapis yang dia gunakan membuatnya tidak percaya diri. Bianca memang hanya mengenakan gaun motif bunga berwarna biru yang panjangnya mencapai mata kaki. Meski sangat tertutup nyatanya tidak membuat Bianca merasa aman. Dia memeluk dirinya sendiri seperti orang yang kedinginan.
Yuna berusaha keras menahan air matanya agar tidak jatuh melihat reaksi Bianca. Dia begitu tidak percaya dengan perubahan Bianca saat ini. Bulan lalu mereka masih makan bersama dan saling bercerita. Sekarang Bianca seolah sangat jauh dari jangkauannya.
"Doni, apa kita bisa bicara sebentar?" tanya Lukas. Dia masih mencoba untuk membuat sahabatnya itu untuk merubah keputusannya tentang nasib bayi yang di kandung Bianca. Doni yang mengerti arah pembicaraan Lukas langsung menggeleng, menolak berbicara dengan Lukas.
"Maaf, kami mau pulang. Bianca harus banyak istirahat." Doni dan Janeta sudah mendapatkan jawaban dari Mia—psikolog yang menangani Bianca. Untuk sementara mereka tidak bisa mengambil tindakan apapun tentang bayi yang Bianca kandung. Keputusan sepenuhnya di serahkan ketangan Bianca. Dia ingin melahirkan bayi itu atau tidak.
Keputusan Doni, mau tidak mau membuat Lukas menyingkir dari hadapan mereka. Memberikan jalan pada ketiga orang itu untuk lewat.
"Janeta, aku maaf," ucap Yuna menghentikan langkah Janeta dan Bianca.
"Bianca, Tante juga minta maaf atas nama Alex yang sudah melukai kamu sedalam ini." Yuna meminta maaf dengan sangat tulus pada Bianca dan juga Janeta. Janeta mengangguk seraya mengusap bahu sahabatnya.
"Kami berjanji untuk memberikan hukuman pada Alex. Dan juga kami berharap hubungan kita tidak renggang setelah ini," kata Yuna lagi. Janeta dan keluarganya bukan hanya sahabat tapi sudah seperti saudara. Hubungan persahabatannya mereka sudah terjalin sejak bertahun-tahun lalu. Yuna tidak ingin hubungan mereka putus karena ulah Alex.
Janeta tersenyum tipis. "Hubungan kita tidak akan renggang, aku bisa pastikan itu. Tapi, untuk saat ini tolong berikan kami waktu untuk pemulihan Bianca. Ini yang terpenting sekarang."
Bersambung...
Bersambung...