Bab 4. Datang?

775 Kata
Dira menatap lama halaman rumah tempat ia dibesarkan, tidak ada yang berubah. Sudah sekitar seminggu ia tidak pernah ke rumah orang tuanya lagi, dan Dira sudah sangat merasakan rindu pada kedua orang tuanya. Dengan senyuman lebarnya Dira berjalan hendak masuk ke dalam rumah. Tetapi batu saja ingin mengentuk pintu, suara tangisan Ibunya membuat Dira cemas. "Ibu kenapa?" Tanya Dira sambil memperhatikan Ibunya yang sedang menangis, dan Ayahnya yang berada di samping Ibunya mencoba menenangkan Ibunya dengan mengelus pelan bahunya. "Ibu kenapa?" Dira yang sudah duduk di samping Ibunya kembali bertanya karena tidak jawaban yang keluar dari mulut Ibunya. "Ayah, Ibu kenapa?" Akhirnya Dira bertanya pada Ayahnya. "Tadi Dina telpon. Nenek kamu butuh uang untuk melakukan operasi. Ibumu sedih karena tidak tahu gimana bisa mendapatkan uang itu. Ayah merasa nggak berguna." Dira dapat mendengar nada sedih saat Ayahnya berbicara. Ibu Dira yang mendengar ucapan dari suaminya mengeleng tidak setuju dengan ucapan terakhir dari suaminya. "Ayahnya jangan ngomong kayak gitu. Emang nenek sakit apa Yah?" Tanya Dira dengan nada tercekat menahan isak tangis. "Operasi sendi." "Biaya operasinya berapa?" Tanya Dira. "10 juta" Jawab Ayahnya. "Ibu gak usah nangis, Dira akan berusaha mendapatkan uang itu." Dira sebenanya juga binggung ingin mencari di mana uang sebanyak itu. Tapi Dira akan berusaha untuk mendapakat uang itu. "Tidak apa-apa Dira. Ibu dan Ayah akan mencoba mencari jalan keluar." "Nggak papa Bu. Dira akan berusaha untuk mencari uang untuk operasi nenek. *** "Pak tolong tanda tangani berkas ini." Ucap Bimo yang sekarang berdiri di depan meja Devan setelah meletakkan berkas itu di atas meja. "Em." Balas Devan. Setelah membaca sekilas isi beberapa berkas, ia langsung mendatangani kertas itu. Setelahnya Devan langsung menyodorkan berkas itu. Sekretaris Devan segera mengambil berkas yang disodorkan Devan dan langsung keluar dari ruangan Bosnya. Devan kembali fokus pada lapyop di hadapannya. Tidak lama kemudia suara ponselnya menganggu kosentrasi Devan. Dengan sedikit kesal ia langsung mengangkatnya sambungan telponnya. Tanpa melihat siapa yang menelepon. "Halo." "Devan bisa kita ketemu?" Devan terkejut mendengar suara itu, dengan reflek ia melihat nomor sambungan di ponselnya dan hasilnya tidak ada nama di situ hanya nomor ponsel saja. Devan tidak menyangka setelah lama mereka tidak berjumpa Vanee kembali menghubunginya. Perempuan yang pernah ia sukai ketika masa remaja. Hanya saja cintanya bertepuk sebelas tangan. Segala cara Devan untuk menaklukan hati Vanee walaupun sudah ditolak berkali-kali. Hingga akhir dari usahanya adalah ketika Vanee pergi tanpa memberi kabar sama sekali bahkan ucapan selamat tinggal. "Oke, Jam makan siang, di C'kavei." Setelah membalas ajakan itu langsung saja Devan mematikan sambungan telpon itu. "Ada apa?" Tanya Devan tanpa basa-basi setibanya di Cafe C'kavei." "Kamu tidak ingin berbasa basi gitu sama aku?" Tanya Vanee. Vanee melihat penampilan pria di hadapannya, tidak ada yang berubah hanya tampak lebih dewasa. "Aku tau kau marah karena tidak mengabarimu. Tapi aku terlalu sedih saat itu hingga tidak ingin orang mengetahui kondisiku." Ucap Vanee dengan suara yang tercekat menahan tangisnya. Setelah menjauh dari Devan, Vanee sadar bahwa ia sudah sangat tergantung dengan kehadiran Devan disisinya. "Maaf kan aku." Vanee memegang tangan Devan yang berada diatas meja dengan erat. Devan hanya mengangguk singkat. Sulit rasanya untuk tidak memaafkan Vanee. Karena Devan tau pasti ada alasan kenapa perempuan itu pergi tanpa kabar meninggalkannya. Kalau di tanya tentang perasaannya saat ini. Devan tidak tau, ia tidak bisa memahami perasaannya saat ini. *** Tepat jam sembilan malam Devan sampai di rumahnya. Devan mengetuk berulang kali tapi sayangnya tidak ada yang menyahuti atau membuka pintu. Biasanya Dira itu akan langsung berlari dan membukakan pintu rumah dengan senyum. Devan mengeluarkan kunci cadangan untuk membuka pintu. "Dira." "Dira." "Dira." Devan berteriak tetapi tidak ada sahutan. Kemana perempuan genit itu? Devan menahan amarahnya dengan menghela nafas kasar. Devan menuju meja makan karena ia sudah sangat lapar sekarang. Dan sialnya tidak ada makanan di dapur. Lainnya halnya dengan Dira yang baru saja sampai di depan rumah, hanya saja ia tidak berani masuk ke dalam rumah setelah melihat ada mobil Devan di depan. "Assalamualaikum." Salam Dira saat sudah berada di dalam rumah. "Waalaikumsalam. Masih tau rumah? Tanya Devan dengan muka yang datar. Dira jadi gelisah sendiri. Apa suaminya tidak melihat catatan yang ia tempel di samping tempat tidur? Ingin mengirim pesan pun Dira tidak tau nomor telepon Devan. Aneh emang mereka sudah menikah tapi tidak mengetahui nomor masing-masing. Dira ingin meminta hanya saja Dira tidak tau harus memulai meminta nomor Devan dengan cara apa. Dira yang sudah mengulurkan tangannya hendak menyalami Devan dengan niat ingin meminta maaf tapi tangannya di tepis. Dira menghela nafasnya gusar, mencoba memegang lengan Devan. Tapi badannya langsung dihempas dengan kasar. Dira terdorong mengenai ujung meja ruang tamu. Dira memegang pinggangnya yang nyeri terkena ujung meja. Dira meringis pelan menahan rasa sakit.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN