Bab 16 - Rayuan Manis yang Menggoda

1977 Kata
“Apa kamu tidak mau menyambut tetangga barumu dengan hangat, Helena?” Tristan tersenyum menggoda mantan kekasihnya yang sedang menatapnya dengan nanar. Meskipun wanita itu tidak menjawab, tetapi Tristan dapat melihat kemarahan dari kedua bola mata Helena yang indah. Ia dapat memahami kekesalan wanita itu karena dirinya telah mengambil keputusan tanpa persetujuannya. Akhirnya Tristan memilih untuk mengabaikan kemarahan Helena dan berjalan menuju unit tempat tinggalnya. Menekan kode sandi pintu kediamannya, lalu pintu pun terbuka. Seluruh ruangan masih sangat gelap ketika Tristan melangkah masuk. Pintu sengaja tidak ditutupnya agar masih ada seberkas cahaya dari luar yang masuk ke dalam kediamannya. Tentu saja Tristan sengaja melakukannya. Sesuai dugaannya, wanita itu mengikutinya masuk dengan emosi yang menggebu-gebu. “Mau sampai kapan kamu terus mengikuti, Tristan? Apa kamu sudah beralih menjadi seorang penguntit, hah!” Tepat di saat itu, Tristan langsung menutup pintu di belakang Helena dalam sekali dorongan dan menarik tubuh Helena dalam satu sentakan sehingga punggung wanita itu telah menempel pada dinding ruangan. Suara ringisan kecil terdengar dari bibir wanita itu. Pemberontakan tidak lagi terelakkan. Helena mencoba melepaskan diri dari perangkap Tristan, tetapi usahanya sia-sia karena pria itu menahan kedua pergelangan tangannya dengan erat dan menempelkannya di dinding tersebut. “Tristan! Apa-apaan kamu!” bentak Helena yang mulai gelagapan karena aksi Tristan yang tak terduga. Ia merutuki dirinya yang tanpa berpikir panjang malah masuk ke dalam perangkap yang sengaja dipersiapkan untuk menjerat mangsa empuk seperti dirinya. “Ka-Kamu jangan macam-macam ya. Aku tidak akan tinggal diam asal kamu mau tau!” ancam Helena dengan suara yang terdengar gugup. Namun, ia masih berusaha untuk tetap bersikap tenang meskipun dirinya tidak dapat berbuat apa pun saat ini. Sudut bibir Tristan terangkat miring ketika mendengar kepanikan wanita itu. Namun, Helena tidak dapat melihatnya karena kegelapan yang mengelilingi mereka. “Kamu pikir aku akan membiarkanmu melakukannya, hm?” Tristan sengaja menggoda dengan berbisik pelan di telinga Helena. Membuat bulu kuduk Helena meremang seketika. Debaran jantung Helena pun berpacu dengan cepat. Aroma parfum maskulin yang bercampur peluh tercium di hidungnya yang kini telah mengerut karena berusaha menahan napas dan mengatur degup jantungnya yang mulai berdebar tidak karuan. “Tristan, kamu ….” Suara Helena terhenti ketika merasakan deru napas Tristan yang telah menggelitik kulit wajahnya. Ia dapat merasakan pergerakan pria itu yang semakin mendekat padanya. Kedua pergelangan tangannya masih terpaku di dinding dengan cengkeraman yang perlahan melonggar. Bibir Helena terkatup rapat. Darahnya telah mendesir dan merangkak naik ke wajahnya. Kedua tangannya telah terkepal dengan erat dan telah siap untuk mendorong pria itu jika Tristan memang ingin mengambil kesempatan dalam kesempitan darinya. Namun, selang lima detik kemudian, Helena tidak merasakan adanya sentuhan apa pun hingga seberkas cahaya tiba-tiba saja menyorot langsung ke dalam bola matanya. Ia pun memejamkan matanya sejenak, kemudian perlahan-lahan membuka netranya kembali dan menyesuaikan pencahayaan di sekitarnya yang mulai terang benderang. Cengkeraman Tristan pada kedua pergelangan tangannya juga sudah terlepas. Dengan wajah yang terperangah, Helena melihat sosok Tristan yang sedang berusaha menahan tawanya! “Tristan, kau ….” Helena mengeratkan rahangnya dengan penuh amarah. Sepasang netranya menyipit tajam. Ia telah mengacungkan telunjuknya di depan wajah mantan kekasihnya tersebut. “Kamu benar-benar menyebalkan!” cetusnya. Tristan hanya mengedikkan bahunya dengan acuh tak acuh, kemudian melangkah meninggalkan Helena yang masih tampak kesal dengan keisengannya tadi. Sebenarnya tadi Tristan benar-benar ingin melampiaskan hasrat yang terus menumpuk setiap kali dirinya berhadapan dengan wanita itu. Akan tetapi, Tristan masih saja menahan diri karena tidak ingin Helena semakin membencinya. Saat ini ia sedang mencoba melakukan segala permainan yang dapat dilakukannya untuk mendapatkan perhatian mantan kekasihnya itu. Meskipun adakalanya dirinya harus mendapatkan caci maki seperti yang baru saja dilontarkan wanita itu tadi, tetapi Tristan merasa sangat senang karena hal itu berarti Helena masih mempedulikannya. Saat ini Helena masih mau masuk ke dalam apartemennya saja sudah merupakan sebuah kemajuan bagi Tristan yang menandakan jika kewaspadaan Helena terhadapnya mulai berkurang dibandingkan sebelumnya. Meskipun pada akhirnya Tristan hampir saja memperburuk penilaian dirinya di mata wanita itu, tetapi ia tidak menyesalinya karena Tristan hanya ingin mengujinya saja. Tristan merasa jika Helena masih menyimpan perasaan padanya. Ia sadar jika kesalahannya di masa lalulah yang telah membekukan hati wanita itu untuk menerima dirinya kembali. Sekarang ia hanya perlu mencari cara untuk mendapatkan kembali cinta wanita itu. “Lain kali berhati-hatilah kalau berkunjung ke rumah pria lajang, Helena. Bagaimana kalau kamu malah bertemu dengan buaya darat yang sesungguhnya? Jangan sampai kamu malah menjadi santapan empuk dan menyesalinya,” ucap Tristan memperingatkan wanita itu. Helena memutar bola matanya dengan malas. “Apa kamu lupa kalau kamu juga adalah buaya darat? Rajanya para buaya!” “Oh ya? Aku tidak tahu kalau aku pernah dijuluki seperti itu?” timpal Tristan dengan acuh tak acuh. “Jangan berpura-pura bodoh,” sungut Helena dengan kesal. Sepasang manik mata Helena mengekori Tristan yang sedang melangkah menuju ruang tamu yang hanya terisi oleh satu sofa panjang yang tampak usang. Helena baru menyadari jika kediaman pria itu benar-benar kosong. Hanya ada dua dus yang tergeletak secara asal di dalam ruangan itu. Pantas saja suara mereka sejak tadi bergema karena kekosongan tersebut, pikir wanita itu. “Ternyata ada juga yang menganggapku sebagai buaya darat, hm? Padahal lebih baik mereka memanggilku sebagai cassanova akan terdengar lebih baik,” ucap Tristan yang membuat Helena mencebik bibir mencemoohnya. “Kamu pikir kamu sedang memuji dirimu sendiri, huh?” ledek wanita itu. Tristan menoleh. Ia mendapati Helena yang masih berdiri di dekat pintu masuk kediamannya tersebut. Seulas senyuman smirk terbit di bibir Tristan ketika mengetahui kewaspadaan wanita itu. “Kamu sudah masuk ke dalam kediamanku. Kenapa masih berdiri di sana? Apa kamu takut dilahap raja buaya yang tampan sepertiku?” Embusan napas kasar bergulir dari bibir Helena. Ia tidak menggubris Tristan dan tetap bersikukuh di tempatnya. Netranya mengawasi Tristan yang baru saja meletakkan tas ranselnya di atas sofa usang yang berada di tengah ruangan itu, lalu pria itu mengambil remote kontrol mesin pendingin ruangan dan menyalakannya agar suhu ruangan lebih terasa nyaman. Kekosongan ruangan itu memang membuat Helena cukup sulit untuk mengatur detak jantungnya sendiri. Padahal pria itu tidak mungkin bisa mendengar suara degup yang masih tidak beraturan tersebut. “Jangan kamu pikir aku akan tertipu untuk kedua kalinya, Tristan,” timpal Helena dengan tegas. Tidak ingin Tristan tahu jika dirinya masih berada dalam kecanggungan karena ulahnya tadi. “Kalau begitu, kenapa kamu tidak langsung keluar saja? Apa kamu menunggu sesuatu dariku atau kamu memang ingin …,” Tristan sengaja menjeda kalimatnya dan menatap Helena yang masih menjaga jarak darinya, lalu lanjut berkata, “ingin kita melanjutkan yang tadi?” Suara kekehan kecil pun terlontar dari bibir Tristan karena Helena langsung mendelik tajam ke arahnya. Tentu saja ia tahu jika Helena tidak mungkin mengharapkan sentuhan apa pun darinya. Ucapannya tadi hanyalah sekedar untuk mencairkan suasana ketegangan di antara mereka saja. “Jangan bercanda.” Helena memutar bola matanya sekali lagi dan lanjut berkata, “Aku hanya ingin bertanya beberapa hal padamu.” Satu alis Tristan terangkat ke atas. Ia menghempaskan bokongnya di atas sofa di mana ia merasa sangat tidak nyaman dengan suara deritan pada pegas usang sofa tersebut. Ingin rasanya Tristan membuang sofa yang ditinggalkan pemilik apartemen itu, tetapi ia harus mengurungkan niatnya tersebut jika tidak ingin berakhir tidur di atas lantai malam ini. “Apa yang ingin kamu tanyakan? Aku akan menjawabnya dengan senang hati meskipun kamu ingin bertanya tentang ukuran celana dalamku,” seloroh Tristan yang masih saja mencoba menggoda Helena dengan candaan mesumnya. Helena hanya bisa menghela napas lelah dalam menghadapi mantan kekasihnya tersebut. Sebenarnya ia tidak ingin berlama-lama di dalam ruangan itu, tetapi melihat sikap Tristan yang dinilai cukup gentle meskipun terkesan menyebalkan, ia berpikir jika Tristan hanya mempermainkannya saja tadi. “Sama sekali tidak penting untukku,” cetus Helena dengan kesal, lalu langsung bertanya dengan penuh selidik, “Sebenarnya mau sampai kapan kamu terus mengikutiku seperti ini, Tristan?” “Sampai kamu bersedia memberikan hatimu untukku lagi, Helena. Aku ingin merajut kembali hubungan kita dan menebus kesalahanku di masa lalu.” Ucapan yang dilontarkan Tristan tidak lagi terdengar seperti sebuah candaan. Masih dengan posisi duduk di sofa bututnya, Tristan menatap Helena lurus-lurus untuk menunjukkan keseriusannya. Kedua jemarinya saling bertaut yang menunjukkan kekhawatiran yang timbul di dalam dirinya. Jarak yang terbentang di antara mereka serta keheningan yang tiba-tiba mengisi kekosongan tersebut juga menimbulkan kekhawatiran di dalam hati Helena. Khawatir jika hatinya terlalu lemah dan termakan bujuk rayu pria itu lagi. Tiga detik sebelumnya, Helena sadar jika dirinya hampir saja terbuai dengan ucapan yang terdengar sangat menyentuh dari bibir Tristan. Akan tetapi, rasa sakit yang pernah dilaluinya dulu kembali membekukan hati wanita itu. Dengan memperbaiki ekspresinya menjadi datar kembali, Helena kembali berkata, “Sebaiknya kamu tidak menyia-nyiakan waktumu seperti ini. Apalagi sampai menghamburkan uangmu demi membeli ataupun menyewa apartemen ini agar bisa berdampingan tempat tinggal denganku. Hubungan kita sudah berakhir, Tristan. Aku tidak pernah meminta pertanggungjawaban apa pun darimu. Jadi … kamu juga tidak perlu melakukan penebusan apa pun.” Tristan beranjak dari tempat duduknya. Masih dengan jarak yang tidak terlalu dekat dengan wanita itu. Ia kembali bertanya dengan ekspresi sendu yang kini menghiasi wajahnya, “Apa kamu sungguh tidak bisa memberikan kesempatan satu kali pun untukku, Helena?” Perlahan wajah Helena tertunduk dalam. Ia tidak berani menatap langsung wajah pria itu. Khawatir jika dirinya akan menjadi lemah karena terlena dengan kesungguhan mantan kekasihnya ini. “Pulanglah ke rumah orang tuamu, Tristan. Jalanilah kehidupanmu sebagai Tuan Muda keluarga Rahardian. Jangan pernah berpaling lagi demi rasa bersalahmu dan mengusik kehidupanku,” ucap Helena yang berniat mengakhiri percakapan mereka. Helena pun berbalik badan. Berniat keluar dari kediaman Tristan sebelum dirinya benar-benar terperangkap dalam pesona berbahaya yang dimiliki pria itu. Akan tetapi, langkahnya terurung karena tiba-tiba saja tangan Tristan telah meraih lengannya, lalu memutar tubuhnya kembali dengan cepat. Kedua bola mata Helena membulat besar. Ia tidak menyangka Tristan akan mengejarnya secara tiba-tiba seperti ini. Ia menyentakkan tangan yang sedang dicekal pria itu dengan kuat, tetapi tubuhnya terdorong hingga punggungnya membentur daun pintu kediaman Tristan. Kali ini Tristan benar-benar tidak berniat melepaskan wanita itu. Ia tidak bisa menerima begitu saja keputusan sepihak dari Helena terhadap pernyataannya tadi. “Lepaskan aku, Tris ….” Sebelum Helena menyelesaikan ucapannya, bibir Tristan telah memagut kasar bibirnya. Meskipun Helena berniat menghindar, tetapi salah satu tangan pria itu telah mencengkeram dagunya dengan kuat. Membuat Helena tidak dapat berkutik dan menerima ciuman memburu yang ingin meruntuhkan pertahanannya! Kedua tangan Helena terkepal erat. Ia berusaha mendorong kuat d**a pria itu dengan segenap kekuatannya hingga ia merasa seluruh kekuatannya lenyap tak berbekas karena serangan bibir Tristan yang terus mendesaknya untuk menyerah padanya. Deru napas Helena terasa semakin berat hingga ia merasa dirinya semakin tak berdaya untuk melawan lagi. Ciuman kasar yang perlahan berubah menjadi lembut tersebut perlahan-lahan berhenti. Tristan melepaskan tautan bibir mereka. Ia sangat terkejut ketika melihat buliran bening yang telah menggenang pada pelupuk mata wanita itu. "Helena, aku ...." Plak! Satu tamparan keras langsung melayang dan mengenai pipi Tristan dengan telak. Membuat Tristan tercengang dan menyadari jika tindakannya memang pantas mendapatkan ganjaran dari mantan kekasihnya itu. Helena menggigit bibirnya dengan kuat. Ia menatap pria itu dengan perasaan campur aduk yang tidak dapat diungkapkannya dengan jelas. Tanpa banyak kata, Helena langsung memungut tas tangannya yang tergeletak di lantai karena perlawanannya tadi. Dua bungkus bakso yang telah tercerai berai tidak lagi dihiraukannya. Dibukanya pintu kediaman pria itu, kemudian pergi dari unit apartemen Tristan dengan perasaan yang kocar-kacir. Walau bagaimanapun, Helena bukanlah seorang wanita yang berhati besi, tetapi ia dipaksa untuk tetap kuat dengan segala tempaan yang membentuk dirinya saat ini. Kini Tristan terus mendobrak benteng pertahanannya dan membuat Helena menjadi semakin kelimpungan. Helena tahu jika tidak sepatutnya ia menyalahkan Tristan karena semua adalah kelengahannya sendiri. Tidak seharusnya ia mempercayai pria itu lagi, tetapi hatinya terlalu lemah hingga masih saja tergoda pada rayuan manis mantan kekasihnya itu. 'Dasar bodoh! Dia adalah Tristan Rahardian! Apa tidak cukup terluka satu kali saja?!' jerit Helena di dalam hati dengan derai air mata yang kini telah mengalir deras dari pelupuk matanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN