Liana Grebill merasa heran. Untuk apa John Smith memanggilnya. Selama ini dia hanya sebagai pemain belakang, sebagai pengatur strategi. Biasanya ketika akan ada suatu misi, John Smith hanya akan menyampaikan misi itu melaluI Bruno Johnson. Oleh karenanya Liana Grebill merasa misi kali ini tidak seperti biasanya.
Namun wanita cantik berwajah lembut itu tetap melangkahkan kakinya menuju ruang laboratorium. Walau sejujurnya dia sangat heran, misi apa yang membuat sang bos besar memintanya untuk berdiskusi di ruang laboratorium?
Sesampainya di depan pintu laboratorium, wanita cantik itu berdiri dengan tenang menunggu pintu dibuka. Dan rupanya, tanpa menunggu lama pintu langsung terbuka secara otomatis. Dengan tegap dan cepat, langkah kaki jenjangnya memasuki ruang laboratorium. Aroma anyir dan menyengat dari cairan kimia segera menusuk hidungnya. Membuat dia merasa ingin muntah namun berusaha untuk ditahan.
Netra birunya yang indah seperti safir, menatap kekacauan yang ada di ruang laboratorium. Berbagai peralatan laboratorium tampak berserakan di lantai. Cairan-cairan kimia berbagai warna tampak berceceran. Bahkan serpihan kaca juga mengotori lantai yang biasanya tampak bersih. Dia juga melihat sosok profesor yang sedang disandera belum lama ini. Namun penampilan yang biasanya tampak rapi kini berubah begitu kacau. Tubuh dan wajahnya penuh lebam juga darah yang sudah mengering. Entah apa yang terjadi, namun Liana Grebill tetap mempertahankan ekspresi tenangnya. Dia pun menghentikan langkahnya saat melihat bos besarnya tampak duduk angkuh di sebuah kursi. Liana bisa menilai ada kobaran amarah dalam netra hitam kelam milik John Smith, Sang penguasa.
"Ada kepentingan apa anda memanggil saya, Tuan." Liana Grebill menunduk hormat kepada raja mafia dunia hitam yang angkuh.
"Kau saya percayakan untuk mengemban tugas penting. Apa kau bersedia?" Tanya John Smith menatap netra biru safir yang sangat cantik di hadapannya. Netra yang tampak dingin namun tetap menawan. Seperti psikopat wanita yang tangguh namun menyimpan kecantikan luar biasa di dalamnya.
"Saya ingin kau menjadi p*****r Maxi de Luca demi mendapatkan sayatan kulit pria itu," ucap John Smith kembali membakar cerutunya dan menghisap aroma tembakau dari asap yang tercipta. Dan dia pun menghembuskan nafasnya. Seketika asap putih mengepul. Menciptakan aroma tembakau yang kuat dan candu.
Liana Grebill tersentak. Jantungnya bergemuruh amarah. Sungguh dia tak pernah berpikir akan menjadi wanita malam yang menjajakan tubuhnya, walau itu untuk suatu misi. Sungguh ini penghinaan baginya. Namun Liana tetap berusaha untuk tenang. Melawan John Smith harus dengan cara yang elegan. Tidak bisa langsung menentang. Karena nyawanya akan berada di atas tanduk.
Sebuah senyuman terbit di wajah cantiknya. Senyuman yang tampak seperti matahari terbit namun panas menyesakkan. Ada amarah menggebu yang tersimpan dalam dadanya.
"Anda tentu tahu saya bukan wanita yang gila akan sentuhan pria. Mengapa anda tidak membayar seorang wanita untuk melakukan hal itu?" Tanya Liana menahan amarah dengan cara yang sangat elegan. Wanita itu tetap tenang. Hatinya benar-benar seperti samudera yang tidak bisa diselami siapapun.
"Saya tentu akan membayar mahal. Kau tenang saja," ucap John Smith angkuh mengangkat sebelah alisnya dengan wajah kaku yang berkharisma.
Sungguh ini adalah lelucon bagi seorang Liana. Dia dibayar untuk melakukan suatu misi yang menjatuhkan harga diri. Liana memang berhati batu. Dia tak pernah menginginkan cinta. Tapi bukan berarti dia akan menyerahkan tubuhnya tanpa cinta ataupun demi harta.
"Jadi maksud anda, anda akan membayar tubuh saya?" Geram Liana Grebill. Telapak tangan wanita itu mengepal.
"Including your virginity. (Termasuk keperawan mu.)
"It's crazy. (Ini gila.)"
"Just foreplay. No s*x. (Hanya pemanasan. Tidak hubungan badan.) Saya yakin dia akan pingsan sebelum menyentuh tubuh mu. Apalagi memperawani dirimu. Dan saat itu kau gunakan waktumu untuk mengambil sayatan kulitnya. Hanya itu. Dan itu bukanlah tugas yang sulit. Kau ingin berapa? Katakan saja nilainya. Saya akan membayarnya," ucap John Smith memberikan penawaran.
"Apa anda yakin?" Tanya Liana geram. Sungguh jantungnya berdegup kencang. Dia benar-benar dikuasai amarah. Tapi dia tak mampu berbuat apa-apa. Nyatanya kehidupan keluarganya yang dulu miskin sudah dijamin dari uang penghasilan pekerjaan haram ini.
"Ya... Johnson, siapkan segala keperluan Liana termasuk obat biusnya," ucap John Smith memberikan perintah. Bruno Johnson pun segera menunduk hormat dan segera pergi. Sedangkan Liana hanya bisa berdiri tegap menatap kepergian Bruno Johnson.
Tak lama kemudian John Smith mematikan cerutunya dan bangkit dari kursi yang didudukinya. Pria itu menatap Liana Grebill sebelum akhirnya keluar dari ruangan.
"Kau masih ada urusan di sini?" Tanya John Smith.
"Tidak," ucap Liana singkat.
"Kalau begitu pergilah bersiap-siap," ucap John Smith kemudian pergi meninggalkan Liana yang mematung.
Perintah mutlak itu hanya bisa membuat Liana mendesah pasrah.
Sebelum meninggalkan ruang laboratorium, wanita itu menatap tajam sang profesor yang masih tak berdaya di atas marmer putih laboratorium. Semua ini akibat kegagalan sang profesor, membuat dirinya harus terjun menjadi seorang p*****r.
"Kau tidak boleh gagal kali ini," ancam Liana dengan wajah evil-nya kemudian pergi kembali ke ruang kerjanya.
Wanita itu menggebrak pintu saat menutupnya. Sungguh kasar hingga menciptakan suara menggema. Hal itu sukses membuat Prof. Ligius Arthus tersentak karena dentuman pintu yang menggema. Sedangkan wanita itu bergerak cepat menuju ruang pribadinya.
Liana membuka pintu ruangannya dengan kasar. Dia pun melempar dirinya untuk duduk di kursi kebanggaannya. Pikirannya berkecamuk. Sungguh dia benar-benar marah.
"s**t!!!" Wanita itu terus mengumpat karena kesal. Namun sesaat kemudian pintu ruangannya terbuka. Menampilkan sosok pria yang membuatnya muak.
"Ini pakaian dan peralatan untuk pergi ke rumah bordil," ucap Bruno Johnson.
Pria itu masuk tanpa memberi salam dan segera meletakkan benda lembut berwarna merah menyala di atas meja. Tanpa pamit, Bruno Johnson segera pergi meninggalkan Liana dengan pikiran yang berkecamuk. Liana benar-benar marah. Sikap Bruno Johnson layaknya hantu yang datang dan pergi sesuka hati. Dan sikap John Smith layaknya ibl*s yang bisa sesuka hati memerintah tanpa dosa.
Liana menatap punggung lebar Bruno Johnson yang menjauh dan akhirnya hilang di balik pintu. Dan kini pandangannya mulai menatap benda berwarna merah menyala di atas meja. Jemarinya mulai terulur untuk menyentuhnya.
Matanya terbelalak. Sungguh tak menyangka pakaian seksi yang berwana merah menyala itu begitu halus saat bersentuhan dengan kulit. Bahkan terasa begitu sejuk dan dingin. Dia pun menariknya dan mulai melihat pakaian itu dengan detail.
Pakaian ini tampak sangat indah dengan bahan sutera merah kualitas terbaik yang berkilau. Bahkan pakaian ini menggunakan tali spaghetti yang disulam dengan benang emas. Melihat penampakan pakaian seksi itu, Liana yakin panjangnya tak akan mampu menutup pahanya. Hanya setengahnya saja, itu pun kalau sampai. Sungguh Liana tak bisa membayangkan bagaimana penampilannya menggunakan pakaian ini.
"It's crazy. I will look like a b***h. ( Ini gila. Aku akan tampak seperti pelacur.)" Gumam Liana kesal.
Wanita itu pun segera melempar pakaian itu ke sembarang arah. Membuatnya melilit ke sebuah vas dan terjatuh bersama vas bunga itu. Suaranya terdengar menggema dan berakhir dengan mengenaskan. sampah berserakan menjadi benda tajam dan tak berguna.
"Sh*t!!! (sialan)" teriak Liana emosi.