Setelah mendapatkan sample kulit Maxi de Luca, John Smith pun memberikannya pada prof. Ligius Arthus.
Dan kini, sang profesor sedang berkutat dengan peralatan ilmiahnya. Dengan hati-hati di bawah sebuah microscope, pria itu memisahkan tiap jaringan kulit. Sang profesor berusaha sebaik mungkin menyayat jaringan dermis untuk menciptakan Cloning dari Maxi de Luca. Sungguh dia berusaha keras agar tidak kembali gagal.
Setelah berhasil memisahkan jaringan dermis, profesor Ligius Arthus kembali menggunakan microscope dengan resolusi terbaik untuk bisa memisahkan sel terbaik menjadi inang. Perhitungan matang terus dia lakukan demi mendapatkan sel yang paling berkualitas.
Peluh membasahi tubuh sang profesor. Padahal kondisi saat ini suhu telah diatur sedemikian rupa hingga 20 derajat Celcius. Semua ini demi kelangsungan proses kloning yang sedang dia jalani. Sungguh melakukan kloning pada manusia adalah hal yang sangat sulit.
Manusia dan primata lebih sulit di kloning jika dibandingkan dengan mamalia lain. Hal ini dikarenakan gelendong protein melekat dekat dengan inti sel. Sehingga saat inti sel diangkat, gelendong protein akan ikut hancur dan menganggu proses pembelahan sel.
Proses pembelahan sel yang terganggu atau tidak terjadi akan menyebabkan klon tidak bisa bertahan hidup dan kemudian mati.
Mungkin inilah yang membuat proses kloning sebelumnya gagal. Dan kali ini, Arthus berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan yang terbaik. Dia tidak boleh gagal kembali.
Di bawah microscope dengan resolusi terbaik, Arthus mulai memisahkan inti sel dari sebuah sel telur yang telah disediakan. Dia berusaha keras agar protein yang melekat pada inti sel telur tidak rusak. Gerakannya begitu perlahan, menggunakan bakteri terbaik yang mampu melepaskan inti sel dari sel inang. Dan beruntung setelah berjam-jam melakukan pekerjaan sulitnya, dia pun berhasil melepaskan inti sel tanpa merusak jaringan protein yang melekat di sana.
Dengan pergerakan penuh perhitungan matang, Arthus kembali memilah DNA unggul dengan memotong benang kromosom.
Di bawah microscope dengan resolusi terbaik, netra hitamnya begitu serius menatap rangkaian benang yang saling bertautan. Rangkaian yang tampak seperti pita-pita terang di antara suatu yang gelap. Begitu indah dan menawan. Tak akan ada yang bisa menyamakan pemandangan indah ini di alam bebas. Semua pemandangan indah ini hanya bisa dilihat di bawah sebuah microscope dengan resolusi terbaik.
Kini dia pun mulai melancarkan aksinya. Dengan berhati-hati pria itu mulai mengambil langkah ilmiah menggunting rangkaian rumit sebuah DNA untuk dia sisipkan ke dalam sel inang. Dan kini waktunya menunggu reaksi apa yang akan terjadi pada sel rekayasanya.
Akhirnya senyum pria itu mengembang, saat menatap pergerakan sel yang mulai menggandakan diri dengan pembelahan secara mitosis. Mitosis adalah peristiwa pembelahan sel yang menghasilkan dua sel anak dengan jumlah kromosom yang sama seperti sel induknya.
Netra hitamnya terus memantau perkembangan sel di bawah microscope electon. Senyumnya semakin mengembang saat menatap perkembangan mulai masuk pada fase Morula. Fase di mana zigot bersel tunggal hasil pembuahan, selnya akan membelah secara mitosis dengan cepat dan membentuk sel-sel baru yang padat disebut dengan blastomer. Zigot terus membelah dari sel yang awalnya satu menjadi 16 sel blastomer. Sel-sel blastomer kemudian berkumpul membentuk bola yang kemudian akan memadat dan membentuk morula. Dinamai morula karena strukturnya mirip dengan buah arbei yang kecil dan tidak berongga.
Setelah berjam-jam duduk menatap perkembangan fase Morula yang cukup lama, pria itu pun bangkit untuk mengambil sebuah botol. Botol berukuran mini yang berisi cairan rahasia. Cairan ini berfungsi untuk meningkatkan hormon pertumbuhan demi mempercepat proses pembelahan sel.
Dengan perhitungan yang tepat, pria itu mulai mengambil cairan dan meneteskannya pada embrio. Semua itu tetap dia lakukan di bawah microscope dengan resolusi terbaik.
Kini senyumnya pun semakin berkembang saat menatap proses fase bastula yang cepat berkembang. Fase di mana morula yang padat akan terus membelah hingga 100 sel sehingga muncul rongga didalam morula dan disebut dengan blastula.
Rongga blastula dinamakan dengan blastosol yang diisi oleh cairan laktat, asam amino, glukosa, dan juga piruvat. Massa sel bagian dalam ini kemudian akan berkembang menjadi embrio manusia.
Sedangkan morula pada fase blastula berubah menjadi lapisan rongga sel disebut dengan blastoderm yang melindungi blastosol didalamnya.
Sel terluar ini kemudian akan berkembang menjadi plasenta yang berfungsi sebagai makanan selama perkembangan embrio.
Jantung Arthus berdegup kencang. Ada rasa bahagia yang membuatnya begitu tak terkontrol. Sungguh dia merasa lega karena berhasil menciptakan embrio terbaik. Dalam hatinya dia berharap embrio kali ini tidak gagal. Sungguh dia tak ingin terjadi hal buruk pada istri dan putrinya.
Kini Arthus pun menyiapkan tabung demi kelangsungan hidup embrio. Pria itu menyediakan tabung dengan nutrisi micro dan macro yang dibutuhkan oleh janin. Dan nantinya akan dia pasangkan selang ke bagian sel terluar yang nantinya akan menjadi placenta. Semuanya demi perkembangan janin yang maksimal.
Setelah memastikan semua perlengkapan tabung kehidupan buatannya sesuai harapan, dengan hati-hati Arthus memindahkan embrio ke dalam tabung. Dan dia berusaha memasangkan selang ke bagian terluar dengan sangat teliti agar tak ada jaringan yang rusak. Tak lupa Arthus mengatur ketepatan nutrisi yang akan disalurkan pada embrio buatannya.
Sungguh Arthus merasa lega sekarang.
Entah apa yang diinginkan oleh John Smith lagi nantinya. Dia harus menyiapkan semuanya. Semua yang terbaik untuk yang terbaik.
Pria itu pun memastikan suhu tabung sesuai dengan kondisi rahim yang normal. Embrio akan berkembang dengan sempurna karena beberapa faktor salah satunya adalah suhu rahim. Jika suhu rahim hangat maka penyerapan nutrisi akan semakin meningkat. Jika suhu rahim terlalu rendah maka penyerapan nutrisi akan bermasalah dan mengakibatkan janin tidak berkembang.
Arthus pun terus memantau suhu dan kadar air dalam rahim tabung buatannya. Pria itu berusaha semaksimal mungkin menjaga janin layaknya seorang ibu yang sedang mengandung. Tak peduli dia harus berjaga selama 24 jam dengan tidur yang tidak beraturan demi memastikan kondisi terbaik bagi embrio Maxi de Luca.
Eksperimen rahim buatan sebenarnya pun bukan sesuatu yang sungguh-sungguh baru dalam imajinasi kebudayaan. Hal ini berbarengan dengan mekarnya eksplorasi atas fungsi organ-organ tubuh manusia dalam Ilmu kedokteran dan biologi, yang pada puncaknya, pada abad 15 di Eropa, menganalogikan organisme hidup seperti mesin yang berproses secara mekanis—termasuk ketika hamil.
Dan kali ini profesor Ligius Arthus benar-benar berusaha melakukannya pada manusia. Bukan hewan yang hampir punah seperti yang biasa dia lakukan. Walau di bawah tekanan seorang John Smith, Profesor Ligius Arthus berusaha untuk konsentrasi demi kelancaran dan kesuksesan penelitian yang terpaksa dia lakukan.