Maxi de Luca perlahan mulai membuka matanya. Sungguh entah apa yang terjadi, saat ini dia merasa seperti seseorang yang kehilangan dirinya. Tubuhnya melayang, padahal nyatanya dia sedang berbaring di atas sebuah ranjang besar. Kepalanya terasa begitu pening bahkan seperti mau pecah. Degup jantungnya menggila.
Pria itu pun memejamkan mata demi menetralkan dirinya yang begitu kacau dan tak bisa dimengerti. Mengumpulkan setiap rangkaian memori yang terpecah seperti puzzle. Dan konsentrasinya hilang sekejap saat mulai merasakan perih di bagian pahanya. Pria itu pun membuka kelopak matanya demi melihat apa yang terjadi di sana.
Dan netra hitamnya berkobar amarah saat melihat balutan kain perban di pahanya. Sungguh Maxi merasakan perih yang teramat sangat. Entah apa yang terjadi. Dan amarahnya semakin berkobar saat menyadari ini adalah sebuah jebakan. Potongan puzzle memori otaknya menggambarkan saat terakhir dia di ruangan ini. Saat dia hendak melakukan hal indah bersama seorang p*****r dan...
"s**t!!!" Geram Maxi de Luca.
Dia baru sadar ini adalah ulah sang p*****r yang telah menipunya. Dia yakin p*****r itu dengan sengaja memberikan obat pada minumannya agar dia pingsan dan melukainya.
Melukai?
Rasanya agak aneh dengan kata melukai. Maxi de Luca yakin ada hal yang akan dilakukan oleh musuh dengan menggunakan bagian tubuhnya. Tapi apa itu? Dia sama sekali tak bisa berpikir jernih karena emosi yang menguasai jiwanya.
"Johnson!!!" Teriak Maxi de Luca menggema ke seluruh sudut ruangan.
Bruno Johnson yang sedang berjalan menuju ruangan Maxi de Luca pun terkejut mendengar teriakan bosnya. Pria itu segera berlari menuju ruangan. Dan benar saja. Maxi de Luca tampak mengerikan dengan wajah yang memerah karena marah.
"Saya, Sir." Johnson menunduk hormat.
"Ke mana wanita sialan itu?" Teriak Maxi de Luca.
"p*****r itu? Maksud anda?"
"Ya, siapa lagi?" Geram Maxi de Luca menyadari kebodohan Bruno Johnson.
"Dia sudah pergi beberapa jam yang lalu," ucap Bruno Johnson menunduk.
"Bastard!!! Bawa mucikari itu ke sini dan bawa minuman ini ke ruang laboratorium. Katakan pada William cek apa kandungan yang ada dalam minuman ini," perintah Maxi de Luca.
Bruno Johnson pun segera meraih botol minuman keras yang ada di atas meja. Pria itu bergerak cepat menuju ruang laboratorium. Langkah tegap dan panjangnya membuat jarak antara ruangan Maxi de Luca dengan ruang laboratorium begitu dekat.
Pria itu pun segera menekan remot kontrol untuk membuka pintu. Dan menghampiri William yang tampak asik dengan senyawa di tangannya.
"Ada perlu apa kau datang kemari, Johnson?" Tanya William tanpa menoleh ke belakang. Pria itu masih sibuk dengan cairan kimia yang bergejolak di dalam tabung reaksi. Keningnya pun berkerut dan tanda pria itu sedang berpikir keras.
"Ada tugas untukmu, William." Johnson pun bergerak mengikis jarak dengan pria berpakaian serba putih yang duduk tekun mengamati reaksi senyawa yang dia ciptakan.
Karena rasa penasaran, William pun menoleh ke belakang. Pria itu menatap Johnson yang meletakkan botol minuman keras di atas meja. Entah apa itu isi di dalamnya, yang jelas pasti ada hal penting yang harus dipecahkan.
"Segera cek apa kandungan yang ada di dalamnya selain alkohol," ucap Johnson mendorong botol agar mendekat ke arah William.
Dengan penuh selidik, William mulai menyentuh botol berwarna bening kehijauan itu dengan tangannya. Pria itu pun menarik penutupnya dan menghirup aroma yang keluar. Pria itu sedikit memejamkan mata demi bisa menelisik aroma apa yang ada di dalamnya. Sungguh jiwanya benar-benar mencintai unsur dan senyawa, membuat hidungnya mampu mengenali senyawa apapun yang diciptakan dari aroma. Sayangnya dia hanya bisa mencium aroma cocktail yang padat.
Dengan gerakan cepat, pria itu mengambil gelas kimia dan menuangkan isi minuman ke dalamnya. Seketika cairan berwarna bening kemerahan itu mengalir dan memenuhi ruang gelas. Dengan menggunakan pipet, William mengambil sampel cairan. Ditelakkannya cairan itu ke atas pan. Kemudian William kembali bergerak menuju lemari utama dan mengambil sebuah cairan rahasia yang dia simpan. Semua gerakannya tak lepas dari pengamatan Johnson. Sungguh Johnson penasaran.
William pun kembali menggunakan pipet yang lain untuk mengambil cairan rahasia berwarna biru keunguan. Pria itu pun meletakkannya di atas pan. Tepat di mana cairan yang akan diuji diteteskan.
Seketika Johnson terkejut melihat asap yang tercipta di sana. Dia juga melihat cairan itu tampak menyatu. Layaknya pelangi yang melebur menjadi gradasi. Johnson juga menyaksikan hal luar biasa yang pertama kali dia lihat. Jika biasanya dia hanya bisa melihat cairan yang meletup jika dipanaskan, saat ini dia justru melihat cairan itu meletup-letup tanpa ada api yang memanaskan. Johnson yakin ini adalah efek reaksi kimia yang sedang terjadi. Dan kini suasana di sekitar pan tampak suram karena dipenuhi asap. Rupanya reaksi pencampuran dua cairan itu menghasilkan asap beraroma menusuk yang membuat hidung dan matanya terasa sangat perih. Sedangkan Johnson menatap wajah serius William. Profesor kepercayaan bosnya tampak biasa saja.
Tak lama kemudian Johnson melihat pemandangan di sekitar pan. Tak ada lagi cairan di sana. Yang tersisa hanya kristal-kristal berwarna hijau terang yang tampak tajam seperti serpihan kaca.
"Ini apa?" Tanya Johnson hendak menyentuh kristal itu. Namun tangannya segera ditepis oleh William.
"Jangan sentuh sebelum satu jam berlalu. Kristal ini sangat panas akibat reaksi kimia yang menghabiskan cairan penguncinya," ucap William.
"Cairan pengunci?" Gumam Johnson bingung.
"Ya. Awalnya kristal ini adalah ion negatif dan positif yang terkunci dalam cairan. Untuk mengetahui unsur apa yang ada di dalamnya, cairan harus dipisahkan terlebih dahulu," ucap William.
"Aku tidak paham," ucap Johnson.
"Jika kau tidak paham. Sebaiknya kau segera pergi agar aku bisa konsentrasi," ucap William santai.
"No. Saya ingin melihat. Saya benar-benar penasaran," ucap Johnson menolak.
"Okay. U can sit and don't disturb me. (Oke. Kau bisa duduk dan jangan ganggu aku.)" Ucap William kemudian kembali fokus pada tugasnya.
"Oke. I don't disturb you. (Saya tidak mengganggu anda.)"
Dengan gerakan yang sangat hati-hati. Kini William tampak menjepit sebuah kristal kecil dengan pinset. Pria itu menatap penampilan kristal di bawah lampu yang terang. Dan dari sudut pandang Johnson, pria itu bisa melihat kilau yang dihasilkan kristal saat membias sinar lampu. Jelas kristal itu tampak seperti berlian mahal.
Dan kini, Johnson kembali menatap pergerakan William. Pria super jenius titisan Einstein itu tampak meng-on kan sebuah alat. Alat berwarna putih dengan ukuran cukup besar dan tinggi. Dan kini William memberikan kaca mata hitam padanya.
"Gunakan ini," ucap William.
"Apa ini?" Tanya Johnson penasaran.
"Kaca mata anti radiasi tinggi. Alat ini memiliki tingkat radiasi yabg cukup bahaya. Jika kau tidak menggunakannya, matamu bisa buta." William memberikan penjelasan singkat. Hal itu membuat Johnson segera menggunakan kaca mata itu tanpa pikir panjang.
Dan ketika William menekan sebuah tombol, sinar segera terbit dari alat tersebut. Sinar yang begitu terang walau dia sudah menggunakan kaca mata anti radiasi. Bahkan sinarnya mampu membuat retinanya berkedut dan membuat kepalanya pusing.
"Sinar apa ini?" Gumam Johnson.
"X-Ray."
"X-Ray?"
"Ya. Sinar ini yang akan bekerja dan memberikan informasi senyawa apa saja yang ada dalam kristal," ucap William misterius dan membuat Johnson semakin penasaran.