Di kedai bakso kini terlihat Lucy dan Rio menunggu pesanan mereka dan nampaknya Rio memikirkan cara bagaimana bisa mendapatkan handphone Lucy dari genggamannya. Lucy tak membiarkan siapapun menyentuh handphonenya bahkan Rio sekalipun yang merupakan teman dekatnya tetapi, di sana Rio mengurungkan niatnya karena Lucy tiba-tiba bercerita tentang kehidupannya yang ia rasa tidak begitu menyenangkan.
"Gimana caranya, ya? Lucy bukan tipikal orang yang mudah memberikan apapun pada orang lain bahkan aku sendiri jarang ia perlakuan dengan spesial," ucap Rio yang terkadang melirik untuk melihat handphonenya.
Di hadapan mereka seorang ayah sedang bermain dengan anak perempuan yang berusia sekitar empat tahunan. Hal itu membuat Lucy malah mengingat sikap ayahnya kepada dirinya sehingga saat ini mata Lucy tertuju pada dua orang yang sedang bermain itu dengan polosnya. Lucy mengingat saat-saat ayahnya menghukum dirinya dan saat ini ekspresi Lucy cukup gelisah.
Lucy cukup gelisah nampaknya kali ini ia harus bercerita tentang kehidupannya karena beberapa hari yang lalu ia mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan dari ayahnya. Dalam pikiran Lucy ia mengingat siang di mana ayahnya ada di rumah dan ibunya masih di pantai untuk menjaga warung mereka.
Lucy masuk ke dalam rumah dan mendapati ayahnya sedang berada di ruang tamu nampak memikirkan sesuatu, itu terlihat jelas karena saat ini Sultan menyandarkan punggungnya ke sofa dan meletakkan kepalanya di atas pinggiran sofa itu lalu tangannya memijat lembut keningnya.
"Ayah?" ucap Lucy nampak terkejut karena biasanya ketika ia pulang tidak ada siapapun di rumah.
"Sudah pulang, ya? hei buatkan aku teh, aku pusing sekali," ucap Sultan nampak menyadari kedatangan Lucy dan melirik ke arahnya.
"Iya ayah, aku buatin dulu, ya."
"Gausah panggil ayah, kamu itu bukan anak saya," ucap sultan yang membuat Lucy sedikit tersentak.
Sekali lagi hatinya hancur, benar setiap kali ia mendengar ucapan itu seketika ia merasa seakan tubuhnya sedang di tekan oleh benda berat dan hatinya seakan tersayat oleh silet, perih, sakit dan tidak berdarah.
"Iya," ucap Lucy menundukkan kepalanya menahan air mata terjatuh ke lantai merah motif bunga yang ia pijak.
Setelah apa yang ia rasakan selama ini bahkan sultan tak bisa menerimanya sampai saat ini, malah ia ingin Lucy cepat meninggalkan dirinya bersama Lina. Sejak kecil ia tak pernah mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari Sultan, walaupun begitu Lucy selalu berdoa agar Sultan mau menerimanya walaupun ia bukan anak kandungnya.
"Aku gatau kenapa aku kayak gini, orang-orang selalu membicarakan ayahnya yang hebat dan mau berjuang untuk keluarganya sedangkan aku? ini seperti tidak adil, aku bahkan seakan tidak diinginkan di sini tetapi, aku tak dapat melakukan apapun. Ayah selalu memukuliku sejak aku kecil walaupun aku tak melakukan kesalahan apapun, hal itu bahkan mempengaruhi kehidupan ku, aku terlalu takut menyapanya walaupun dari lubuk hati yang terdalam aku ingin dia berubah dan mau menerima aku di sini," gumam Lucy menyeka air mata sembari mengaduk teh yang baru saja ia buat.
Lucy mengantarkan teh itu dan menaruhnya di meja depan ayahnya. Sekali lagi, apapun yang Lucy lakukan tidak pernah benar di mata Sultan dan ia hanya seperti orang yang ingin marah-marah setiap waktu pada Lucy.
"Yang bener dong, yang sopan sama orang tu. Gitu caranya naro minuman? sini maju deketan," ucap Sultan dengan tatapan mata terbuka membuat Lucy ketakutan.
"Malah diem, punya telinga gak? sini dibilang!" sentak Sultan yang membuat Lucy akhirnya mendekat.
Sultan menjambak rambut Lucy dan mengatakan sesuatu yang membuat ia meneteskan air mata.
"Dengerin, sama orang tua itu harus sopan! lu itu udah kayak mereka, orang-orang luar yang gak ada adab, harusnya dulu gua tuh bunuh lu aja pas lagi bayi, gak bisa diandelin sama sekali, lu!" bentak Sultan yang membuang kepala Lucy dengan cukup kuat sampai Lucy hampir terjatuh.
"Maaf, aku emang gak berguna di sini," ucap Lucy menangis meneteskan air mata.
"Malah nangis, berisik lu ah sana pergi bikin gua tambah pusing aja," ucap Sultan.
Setidaknya itulah yang Lucy pikirkan saat ini ketika ia berada di samping Rio menanti pesanannya.
"Kok Lucy kayak lagi gelisah gitu, ya? matanya juga berkaca-kaca, dia kenapa?" gumam Rio yang kali ini mengurungkan niatnya untuk mengambil handphone Lucy.
"Kamu kenapa?" tanya Rio yang membuat Lucy kemudian tersadar dari lamunannya.
"Eh iya kenapa, Rio? maaf aku bengong," ucap Lucy tersenyum.
"Kamu kenapa? kok tiba-tiba bengong?" tanya Rio melihat Lucy yang ternyata ia melihat ke arah anak kecil yang bermain dengan ayahnya.
Rio faham dengan keadaan itu karena sejak kecil ia menyaksikan sendiri bagaimana ayah Lucy memperlakukan dirinya dengan tidak semestinya. Dengan situasi seperti itu tak mungkin Rio berniat untuk memeriksa handphone Lucy dan yang terjadi ia malah merasa menyesal karena telah mengajak Lucy ke tempat tersebut.
"Lucy pasti lagi mikirin ayahnya, sejak kecil ia selalu dimarahi bahkan dipukuli oleh ayahnya. Walaupun terkadang ibunya membela tetapi, kejadian itu terus berulang sampai-sampai saat itu Lucy ingin pergi dari sini dan nekat menaiki kapal nelayan untuk menyeberang tapi, ibunya saat itu mencari sehingga niat Lucy gagal," gumam Rio mengingat momen saat Lucy hendak meninggalkan rumah.
"Rio, bungkus aja, ya? kita ke pantai aja yuk," ucap Lucy mengajaknya pergi dari sana.
Rio cukup mengerti apalagi Lucy sangat serius memintanya.
"Yaudah ayo, tapi gimana makan baksonya? ini udah jadi loh," ucap Rio bingung.
"Minta pakai sterofoam aja tempatnya, di sini kan ada," ucap Lucy.
"Sampah yang bisa merusak laut itu masih digunakan, ya?" ucap Rio.
"Cuma sekali gapapa kali," ucap Lucy.
Akhirnya mereka meninggalkan tempat itu dan menuju pantai. Di sana Lucy dapat mengeluarkan semua penat dan pikiran negatifnya karena pantai merupakan sarana yang tepat untuk menghilangkan stres.
"Aaaaa! aku ingin pergi ke Jakarta!" teriak Lucy yang membuat Rio terkejut.
Untung saja saat itu sedang sepi pengunjung dan suara Lucy tidak terlalu diperhatikan oleh orang di sekitarnya.
"Eh, ya ampun kamu kenapa sih? untung sepi ya ampun bikin kaget," ucap Rio yang saat ini sedang memakan baksonya di sebuah tempat peristirahatan yang tersedia di area pantai.
"Hahaha, ih kamu pasti suka begitu kalo ku teriak-teriak, lucu banget sih Rio," ucap Lucy dengan ekspresi menggemaskan.
"Hih, apa-apaan ekspresinya, bikin pengen nabok aja rasanya," ucap Rio jaim menjaga gengsinya.
"Yaelah, mau nabok apa mau nyubit? hahaha," balas Lucy tertawa.
Lucy mengecek handphonenya dan sepertinya Arya masih belum membalasnya.
"Tadi, kamu kenapa kok tiba-tiba murung pas di warung bakso? lagi mikirin apa?" tanya Rio memberanikan diri bertanya walaupun ia tak tahu apakah Lucy suka dengan pertanyaan itu atau tidak.
Lucy tersenyum dan ia malah bercerita tentang masa kecilnya dengan Rio dulu dan sedikit menyinggung kehidupannya.
"Enak ya kalo kita dapat perhatian dari ayah? dulu waktu kecil aku suka iri sama kamu soalnya ayah kamu benar-benar protektif jagain kamu, gak kayak aku dibiarkan begitu aja," ucap Lucy yang saat ini duduk sembari memandang ke arah pantai.
"Aku sudah menduga jika ia memikirkan ayahnya," gumam Rio memandang wajah Lucy yang nampaknya memang terbebani dengan pikiran semacam itu.
"Kamu tau kan Rio kalo ayahku selalu berkata jika aku bukan anaknya?" tanya Lucy sembari menaikkan rambutnya ke atas telinga.
"Ah iya, mungkin itu karena ayahmu sering marah, ibuku juga kayak gitu kalo aku nakal atau gak nurut tiba-tiba nanti dia bilang gini 'ayo kita balikin Rio ke ibu kandungnya, dulu ibu nemu Rio di tempat sampah udah bersemut-semut' nah gitu ibu selalu bilang walaupun sebenarnya aku juga tahu jika itu hanyalah sebuah lelucon agar aku mau menuruti kata-katanya," ucap Rio menjawab pertanyaan Lucy.
Lucy menatap Rio, entah kenapa saat ini tatapan itu membuat Rio tertegun. Sudah lama ia tak menatapnya dengan pandangan mata seperti itu dan biasanya ia sangat serius ketika melakukannya.
"Engga, dia emang bukan ayah aku. Aku denger sendiri sama kuping aku, dia bilang di depan ibu dan saat itu aku juga mendengar ibuku menangis. Dari sana aku faham kenapa ayah tidak menerima ku walaupun aku belum begitu mengetahui dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi," ucap Lucy yang matanya mulai berkaca-kaca.
Rio dengan refleks memeluk Lucy di sana dan mencoba untuk menenangkan Lucy.
"Udah, gausah cerita lagi kalo kamu gamau cerita, aku gamau liat kamu nangis," ucap Rio sembari memeluk Lucy.
"Aku gatau Rio, aku benar-benar pengen ngerasain kasih sayang dari seorang ayah, walaupun dia bukan ayah aku, walaupun dia sering memukulku tetapi, aku selalu berdoa agar dia berubah dan mau menerima ku," ucap Lucy yang tak kuasa menahan air matanya yang kini terjatuh membasahi bahu Rio.
"Aku belum pernah mendapati Lucy seperti ini sebelumnya, sepertinya dia benar-benar merindukan sosok ayah karena selama ini dia sama seperti seorang wanita yang tak memiliki ayah. Bagi seorang wanita, cinta pertama dalam hidupnya adalah ayah, ketika mereka tak memiliki kasih sayang itu aku rasa patah hati mereka dimulai saat itu juga dan aku tak bisa berbuat apapun dengan keadaan Lucy yang seperti ini, aku hanya bisa selalu ada disampingnya apapun yang terjadi," gumam Rio yang masih memeluk Lucy dan berusaha menenangkan Lucy.
"Seakan aku tidak ditakdirkan untuk bahagia, semua kehidupan yang aku jalani seakan untuk merasakan sebuah kepahitan," sambung Lucy yang merasa jika saat ini dirinya merasakan ketidakadilan dalam hidup.
"Apa yang kamu bicarakan Lucy? kau beruntung, kau jauh lebih beruntung dibandingkan jutaan orang yang ada di dunia, tuhan tidak pernah salah memberikan kehidupan, karena itulah yang dinamakan sebuah takdir," ucap Rio nampak serius yang membuat Lucy sedikit tersentak dengan ucapan Rio.
Baru kali ini ia mendengar ucapan dari Rio yang terdengar dewasa.
"Tumben, kok kata-kata kamu jadi dewasa? terus kamu juga ngapain peluk-peluk aku?" ucap Lucy yang masih terisak yang membuat Rio sedikit panik.
"Weh! maaf-maaf Lucy aku terbawa suasana," ucap Rio yang wajahnya nampak memerah.
"Ceroboh," ucap Lucy lagi.