8. Takut Rabies katanya?!

1305 Kata
Dari banyaknya drama Korea, Cina, Jepang, ataupun series Thailand serta film Hollywood dan Bollywood yang pernah ditonton oleh Aca, adegan seperti saat inilah yang paling mendebarkan hatinya. Adegan dimana pemeran utama wanita digendong dengan romantisnya oleh pemeran utama pria. Adegan yang selalu berhasil mendatangkan banyak kupu-kupu pada perutnya. Adegan yang membuatnya berteriak uring-uringan di atas tempat tidur karena saking baper nya. Namun, entah karena memang realita yang tak sebaik ekspetasi, atau karena pria yang menggendongnya bukanlah orang yang disukainya, atau bahkan karena mungkin ia bukan pemeran utama di semesta yang luas ini, entah kenapa alih-alih merasa senang Aca malah merasa jengkel dan malu saat ini. "Tai! Turunin nggak, om!" "Coba saja kalau bisa." Aldo menyunggingkan senyumnya. Gadis dalam gendongannya meronta-ronta hendak melepaskan diri. Tapi bukan Aldo namanya kalau melepaskan Aca begitu saja. Semakin Aca berusaha kabur, semakin erat gendongannya. Aca yang tenaganya sudah terkuras habis memilih diam dalam gendongan Aldo sejenak. Berusaha mencari akal untuk terlepas dari pria licik bak serigala yang masih setia menggendongnya. "Menyerah juga, hmm?" Batin Aldo berujar puas saat melihat Aca diam saja dalam gendongannya. Aldo terus melangkahkan kakinya menuju dimana Felix berada. Tadi Aldo sudah mengirim pesan pada sekretarisnya itu tentang dimana lokasi ia dan Aca berada. Bulu kuduk Aldo seketika meremang saat gadis itu mengalungkan kedua tangannya di leher Aldo. Tak cukup sampai disitu, Aca bahkan sedikit memajukan wajahnya membuat jarak diantara wajah mereka semakin menipis. Apa wanita gila itu akan melecehkannya?! Apa keperjakaan Aldo akan direnggut ditempat yang ramai ini?! Ayolah, Aca tidak cukup waras dan bisa saja melakukan hal gila itu kan?! Felix, pria bekaca mata itu membuka kaca mata miliknya, menggosok lensanya dengan kain lalu kembali memastikan penglihatannya. Apa pria yang tengah menggendong wanita itu benar-benar Aldo Althazka yang tak lain adalah bosnya? Mata pria berkaca mata itu membulat sempurna kala melihat Aca menggigit bahu Aldo, membuat bosnya itu refleks menurunkan Aca dan mengaduh kesakitan. Felix kontan berlari secepatnya ketempat Aldo berada. "Gapapa, tuan?" Tanyanya panik menatap Aldo yang memegangi bahu kanannya. Dia juga menatap pada Aca tak percaya atas apa yang gadis itu lakukan. Apa Aca hewan yang menggigit pemiliknya? "Ck! Nantangin gue sih!" Ujar Aca dalam hati sembari membenahi dress dan rambut panjangnya yang terurai. "Kamu gila?!" Tanya Aldo menatap Aca garang dan sedikit menaikkan intonasi bicaranya. Aldo benar-benar tak habis pikir pada gadis dihadapannya saat ini. Gigitan Aca benar-benar membuat bahunya sakit. Gadis itu seolah menggigit bahu Aldo bersama semua dendam dan kekesalan yang gadis itu punya. "Dih! Baru sadar om? Lagian nantangin sih!" Aldo memijit puncak hidungnya. Kembali berusaha menetralkan emosi. Dia harus sabar jika tidak ingin banyak kerutan muncul di wajahnya, hanya karena berdebat dengan Aca. "Felix, ke rumah sakit sekarang." Ujar Aldo lagi dengan suasana hati yang lebih tenang. Sekretarisnya itu langsung mengangguk dan berjalan terlebih dahulu menuju mobil. Meninggalkan Aldo dan Aca di belakangnya. "Ga usah om. Lutut nya nggak nyeri banget kok. Ntar aja di kos ngobatinnya, nggak perlu ke rumah sakit." Ucap Aca yang berpikir bahwa Aldo ingin ke rumah sakit hendak mengobati lututnya yang terluka. Mungkin pria itu merasa khawatir padanya, pikir Aca seenak jidat. "Lutut? Saya mengkhawatirkan bahu saya. Bukan lutut kamu. Lagian lutut kamu terluka karena kamu yang ceroboh. Beda cerita dengan bahu saya." "b*****t! Lebay banget! Digigit gitu doang langsung ke rumah sakit. Mentang-mentang banyak duit!" Tentu saja Aca kesal, sedikit merasa malu juga karena kepedean. Tapi apakah Aldo harus seberlebihan itu? Aca tahu pasti bahu Aldo terasa sakit karena gigitannya yang dia sendiri tak tahu seberapa kuat ia menggigit bahu luas milik Aldo itu. But, kagak perlu ke rumah sakit juga kali! "Sekedar antisipasi. Siapa tahu saya terkena Rabies." Ujar Aldo mulai melangkah menyusul Felix yang sudah menyalakan mobil miliknya. "Kenapa diam saja di situ? Setelah menggigit orang lain tidak ada niat untuk tanggung jawab, hmm?" Tanya Aldo menoleh kebelakang, menatap Aca yang masih diam ditempat. Tak bergerak sedikitpun. Aca kembali tersenyum membalas tatapan Aldo yang mengarah padanya. "Gemes deh, pengen bunuh." Gumamnya pelan masih setia dengan senyuman yang lebar. ... Aca sekarang tahu betapa plin-plannya Aldo. Bukankah tadi dia ingin kerumah sakit? Tapi kenapa Aldo malah memboyongnya kembali pada rumah mewah pria itu? Pamer? Mentang-mengtang punya rumah gitu? "Heh, Felix! Bos lo plin-plan banget gila! Tadi katanya ke rumah sakitkan? Sekarang kenapa di seret kerumah dia dah?" Tanya Aca pada Felix yang baru saja memarkirkan mobil di bagasi. Tadi bosnya itu memang meminta ke rumah sakit, tapi di pertengahan jalan malah meminta memanggil dokter yang biasa merawatnya saat sakit saja saja ke rumah. Mungkin bosnya masih membenci dan tidak suka berada di rumah sakit. "Maaf nona, sebaiknya nona menyusul tuan ke dalam. Saya akan menunggu dokter di depan." Ujar Felix sebelum berlalu meninggalkan Aca sendirian. "Hilih kintil!" Aca juga memilih melangkah masuk ke dalam rumah Aldo. Sedikit mengumpat dapat meredam kekesalannya pada Felix yang kaku dan tidak asik saat diajak menggosip. Aca terus melangkahkan kakinya dan berhenti di sebuah ruangan. Ruangan dimana ia dan Aldo menandatangani kontrak. Aca melirik sekitarnya, tak menemukan keberadaan Aldo di sana. Gadis itu mendudukan tubuhnya di singgle sofa yang ada di ruangan itu. Helaan nafas melelahkan keluar dari mlutnya. Harinya memang selalu buruk, namun saat ada Aldo keburukan dan kesialan yang menimpa Aca bertambah berkali-kali lipat. Suasana yang sunyi membuat Aca sedikit mengantuk, matanyapun mulai terpejam dengan keadaan kepala yang tersandar di sandaran sofa. Namun, suara ketukan langkah kaki itu sedikit berhasil mengusir kantuknya. Mata Aca kembali terbuka, menemukan Felix dan pria berjas putih dengan stetoskop mengalung di lehernya mengikuti langkah Felix dari belakang. "Tuan ada di mana nona?" Tanya Felix saat mereka memasuki ruang tamu. Aca mengangkat acuh kedua bahunya, menandakan bahwa ia tak tahu. Malas sekali berbicara, masih berusaha mengumpulkan sisa nyawa yang masih bertebaran. Felix mengangguk paham lalu pergi dari sana melangkah menuju sebuah ruangan di lantai dua, masih di ikuti oleh sang dokter yang sejak tadi menatap Aca seolah penasaran siapa gadis itu. Aca yang sebenarnya tak di ajak pun ikut mengikuti langkah Felix. Aneh, dia malah merasa takut sendirian di ruang tamu saat sore begini. Menyeramkan. Itulah kalimat yang terpikirkan oleh Aca saat menginjakkan kaki di lantai dua rumah Aldo. Di lantai satu bisa di bilang cukup keren pikir Aca karena di d******i oleh warna putih. Namun berbanding terbalik dengan laintai dua. Hampir semua interior dan cat dinding yang ada di sana berwarna hitam. Bulu kuduk gadis itu di buat meremang melihatnya. Apa Aldo terobsesi pada warna hitam? Tok! Tok! Tok! Lamunan liar Aca terhenti saat Felix mengetuk salah satu pintu yang ada di sana. Apa itu kamar Aldo? Benar saja tebakan Aca, suara pria itu terdengar dari dalam menyuruh mereka masuk, lebih tepatnya menyuruh Felix dan sang dokter masuk. Aca melangkahkan kakinya masuk saat Felix sudah melangkah terlebih dahulu. Sama saja, suasana suram dan seram menyelimuti kamar Aldo. Penyebabnya tentu saja warna hitam itu. Karena sibuk melirik sekitar mata Aca membulat sempurna saat matanya melihat Aldo duduk di atas ranjangnya dengan punggung menyandar pada kepala ranjang dan kaki yang ditutupi oleh selimut lagi-lagi berwarna hitam. Jangan lupa bahwa pria itu tengah bertelanjang d**a sekarang. "Alhamdulillah, rezeki anak yatim." Gumamnya dalam hati. Alih-alih menutup mata Aca semakin melebarkan matanya tak ingin melewatkan kesempatan yang tak datang dua kali ini. Tubuh yang selalu tertutup jas itu ternyata menyembunyikan banyak otot, dan enam kotak yang berjejer di perutnya. "Tuhkan, apa gue bilang! Ada roti sobeknya Anjir! Astaga pengen nyomot! Nikmat mana yang kau dustakan wahai manusia!" Aldo yang merasa was-was langsung manaikkan selimutnya. Menutupi seluruh bagian perutnya hingga bahu. Saat mandi di kolam berenang atau liburan di pantai, Aldo juga suka memamerkan otot-otot yang dimilikinya. Tentu banyak gadis yang mencuri-curi pandang pada otot-ototnya itu. Namun, tak ada yang dengan beraninya melihat enam kotak di perutnya itu secara terang-terangan seperti yang dilakukan oleh Aca. Tatapan haus gadis itu sedikit membuat Aldo takut, ngeri juga kalau tiba-tiba diterkam oleh Aca. Hah, bukankah ini terbalik?! ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN