4. Belum cukup umur

1422 Kata
Aldo melangkah menuruni tangga. Sekarang pria itu sudah lengkap dengan setelan jas nya berwarna navy dan dasi yang senada, terpasang indah di kerah kemeja putih yang dikenakannya. Pria itu berjalan menuju ruang tamu, tempat dimana Aca berada. Tak lupa membawa sebuah laptop berwarna putih di tangan kanannya. Aldo melongo tak percaya. Pria itu melirik pada jamnya yang menunjukkan pukul setengah delapan pagi, lalu beralih menatap Aca yang tertidur di atas sofa ruang tamu miliknya. Gadis yang masih mengenakan piama itu tertidur dengan posisi setengah berbaring, kaki nya masih menjuntai ke bawah seperti ia duduk sebelumnya. Apa gadis ini tidak sengaja tertidur? Padahal Aldo yakin, ia tak sampai meninggalkan gadis itu selama sepuluh menit. Pria itu meletakkan laptop yang ia bawa di atas meja kaca yang ada di sana. Lalu membantu Aca berbaring dengan benar di atas sofa. Aca menggeliat mencari posisi yang nyaman membuat Aldo membeku di tempat. Pria itu bertahan pada posisi dimana satu tangannya di bawah lutut Aca dan tangan yang lain di bawah punggung gadis itu. Saat Aca berhenti menggeliat barulah Aldo melepaskan tangannya dan mencopot jas yang ia kenakan. Pria itu menutupi bagian lengan dan perut Aca dengan jas yang sebelumnya ia kenakan. "Merepotkan." Gumam Aldo pelan. Pria itu kembali menyambar laptopnya, lalu duduk di singgle sofa yang berhadapan dengan sofa panjang tempat Aca tertidur. Aldo mulai membuka laptopnya, berniat membuat kontrak sesuai atas apa yang ia dan Aca inginkan tanpa niat merugikan pihak manapun. Aldo butuh Aca, begitupun sebaliknya. Menit-menit berikutnya hanya suara ketikan dari laptop yang terdengar. Jari pria itu menari-nari di atas keyboard tanpa lelah. Mengetik kata menjadi kalimat, diiringi dengkuran kecil yang keluar dari mulut Aca. ... Gadis itu mengerjapkan matanya, menyesuaikan penglihatannya dengan pencahayaan yang ada. "Sial! Gue ketiduran!" Aca langsung bangun dari baringnya, menatap sekitar menemukan Aldo yang tengah duduk menatapnya. "Eh! Jas siapa anjir?!" "Sorry, om. Ketiduran." Aca tertawa canggung menatap Aldo. "Makasih, om." Ujar gadis itu lagi menyodorkan jas berwarna navy itu pada Aldo. Jas siapa lagikan? Kalau bukan punya Aldo, punya siapa? Di rumah ini hanya ada mereka berdua. Aldo menerima jas tersebut, lalu memberikan sebuah map berisi beberapa lembar kertas pada Aca. "Ini kontrak sementara kita, kalau ada yang perlu di tambahkan, kita tambahkan nanti setelah menikah. Soal bersih-bersih kita bisa melakukannya bersama di hari saya libur." Aca mengangguk, membaca kontrak tersebut dengan teliti. Gadis itu juga bersyukur, setidaknya ia tidak membersihkan rumah besar itu sendiri. Mereka berdua langsung menandatangani kontrak tersebut. Masing-masing dari mereka memegang satu kontrak. "Kamu boleh pulang, Felix akan mengantar mu. Nanti sore saya jemput untuk menemui orang tua saya. Serta melakukan beberapa hal untuk persiapan pernikahan." Aca menarik nafas dalam dan menghembuaskannya dengan kasar. Apa begini akhir dari masa mudanya? Yah, mau bagaimana lagi. Aca tak punya uang untuk ganti rugi. Aldo melihat wajah pasrah dan menyerah dari gadis itu, entah kenapa dia tidak suka. "Aca, selain karena perbuatan mama kamu. Apa ada alasan lain kamu mau menikah dengan saya?" Tanya Aldo, pria itu menurunkan egonya untuk bertanya hal yang seperti itu pada Aca. Aca mengannguk sebagai jawaban. "Hidup saya sudah hancur, jadi tak masalah membuatnya semakin hancur." Jawab Aca sembari tersenyum. Dia tak berbohong. Berasal dari keluarga yang toxic, orang tua yang bercerai semenjak ia berumur enam tahun, tak sampai sebulan setelah nya papanya meninggal. Kasandra--mamanya sering kali berpindah tempat kerja di siang hari, dan menjadi wanita penghibur di malam hari. Gadis itu selalu sendiri dimasa pertumbuhannya, makan mie instan hampir setiap hari karena mama nya tak bisa membuatkan makanan untuknya akibat sibuk bekerja. Menurut Aca, hidupnya sudah sesusah itu. Jadi, menikah dengan Aldo bukanlah hal yang sulit untuk di lakukan. Seperti yang Aca katakan, hidup gadis itu sudah hancur, jadi memang tak masalah kalau hidupnya lebih hancur lagi. ... "Ca, gimana laprak lo?" Tanya gadis dengan rambut sebahu itu pada teman sekamarnya yang tengah sibuk membaca beberapa lembar kertas. "Kagak usah ditanya rul, gue kena omel b*****t!" "Syukurin!" Aca manyun-manyun sendiri karena kesal. Kesal karena kena omel dosen, kesal karena Nurul menanyakan hal itu, dan kesal karena sesuatu yang ingin ia hapal dari tadi sangat susah tertinggal di kepala. "Lo baca apaan sih Ca? Serius amat dari tadi." "Ada deh, umur lo belum cukup." "Pala lo belum cukup!" Sedari tadi gadis itu sibuk menghapal bio data lengkap milik Aldo. Sebentar lagi gadis dengan rambut di cepol asal itu akan menemui kedua orang tua Aldo. Iya, calon mertua gadis itu. Entah kapan Aldo menyiapkan fake skenario untuk hubungan mereka sebelum menikah. Yang jelas, Felix sudah memberikan kertas-kertas berisi bio data Aldo dan cerita karangan bagaimana mereka kenal itu saat Felix mengantarnya pulang. "Duh...keburu nggak ya? Otak gue kenapa kagak bisa diajak kerja sama sih?! Arrrghhh! Tailah!" Aca sendiri dibuat panik saat jam menunjukan pukul empat sore. Dia khawatir karena belum bisa menghapal semua bagian pada kertas itu. Bagaimana jika ia salah menjawab nanti? "Ca! gue mau masak mie, lo mau?" Aca menggeleng tanpa melihat kearah Nurul. Gadis itu masih berusaha fokus untuk menghapal seluruh bagian pada kertas itu. Nurul yang melihat respon temannya seperti itu juga hanya mengangguk dan berlalu ke dapur untuk memasak mie instan yang diinginkannya, meninggalkan Aca sendirian di kamar mereka. Kurang lebih lima menit, gadis berambut sebahu itu kembali masuk ke dalam kamar dengan membawa semangkok mie rebus dengan toping sebuah telur dan beberapa potongan sosis. "Iiihhhh bagi dong Rul!" teriak Aca berlari kecil ke arah kasur Nurul, tempat gadis itu ingin menyantap mie-nya masih dengan beberapa kertas tergenggam erat di tangannya. "Tadi gue tawarin kagak, sekarang minta! Sialan lo!" Aca hanya tertawa cengengesan menanggapi perkataan Nurul. Gadis itu tadi benar-benar tidak ingin makan. Namun, setelah melihat dan mencium aroma dari mie itu benar-benar membuat Aca tergiur. "Ambil sendok lagi sana kalo pengen! Jijik anjir!" Hardik Nurul saat Aca ingin memakan mie nya. "Idih! Biasanya juga makan sesendok berdua, minum secangkir berdua. Kagak ada tuh jijik-jijikan! Norak lo!" Balas Aca. Sudah dibilangkan, gadis itu tidak mau kalah. "Sekarang jijik! Ah elah! tinggal ngambil sendok ke dapur doang males lo minta ampun Ca!" "Sttttt! Diem lo! Gue pengen makan dengan khidmat sambil ngapal. Lo, mending diem." Ujar Aca dengan jari telunjuk mengacung di depan bibir nya lalu kembali membaca lembaran kertas itu. "Lagian itu apaan sih?! gue jadi penasaran." Gadis dengan rambut sebahu itu hendak mengintip namun Aca dengan sigap menyembunyikan kertas itu di balik punggungnya. "Ishh! Udah dibilangin umur lo belum cukup Rul buat baca beginian! Tunggu setahun atau dua tahun lagi baru bisa." Nurul memutar matanya malas. Apanya yang belum cukup umur? Wanita itu bahkan lebih tua setahun dari pada Aca. Gadis itu saja yang tidak memanggil Nurul dengan Embel-embel kakak. "Gue sirem pake kuah mie baru tau rasa lo Ca!" Ujar Nurul kesal dengan tangan memegangi ujung mangkok seolah benar-benar ingin menyiramkannya pada Aca. "Jangan dong, masih awal bulan ini. Kagak boleh buang-buang makanan. Entar kita kagak makan." "Iya juga ya." Entah apa yang lucu membuat dua wanita itu tertawa sambil menikmati mie instan bikinan Nurul itu. Sesekali mereka menggosip, dan beroverthinking di saat yang bersamaaan. Obrolan terus mengalir tanpa hentinya. Tak ada istilah mati topik diantara mereka berdua. "Eh, mau nggak ntar bantuin gue pilih baju? Mau keluar soalnya." Tanya Aca setelah menyeruput kuah mie nya hingga titik terakhir. "Keluar kemana? Tumben lo mau keluar, biasanya hobi banget mojok di kamar." Balas Nurul yang malah balik bertanya sembari memegangi gelas mengambil ancang-ancang hendak minum. "Mau ketemu camer." Uhuk! Uhuk! Nurul terbatuk saat minum setelah mengendar kalimat itu dengan santainya keluar dari mulut Aca. "Pala lo camer! jomblo dari lahir sok-sokan ketemu camer!" Kesal Nurul tak lupa menoyor kepala teman sekamarnya itu dengan keras. "Gue serius! Lah si babi kagak percaya!" Tring! Sebuah notifikasi memasuki ponsel Aca. Senyum kemenangan menyartai gadis itu saat membuka room chat miliknya. Dengan wajah soknya Aca menunjukkan chat itu sekilas pada Nurul, menunjukkan bahwa dirinya tidaklah bohong tentang menemui calon mertua itu. Om Aldo Althazka Sbntr lg sy jmpt Anda Y Setelah membalas pesan dari Aldo, Aca menatap Nurul dengan menaik turunkan alisnya. "Keren kan gue, rul?" Tanyanya berbangga hati. "Lo nggak jual diri ke Om-om kan Ca?" PLETAK! Aca mengeplak keras kepala Nurul. Teman macam apa yang menuduh mu jual diri?! Tapi omongan dan respon Nurul tak bisa disalahkan juga. Aca memang wanita yang terlalu berjaga jarak dengan pria. Nurul tahu, gadis itu tidak ada niatan untuk pacaran apalagi menikah karena melihat rumah tangga kedua orang tuanya yang karam. Nurul paham betul akan hal itu, jadi dia kaget saja saat Aca mengatakan bahwa dia akan bertemu dengan calon mertuanya. "Si g****k, malah bengong! Buruan bantuin gue pilih baju!" ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN